Sabtu, 18 Maret 2017

H-4 25 y.o.

Ketika kau memutuskan untuk tidak berpacaran, berarti kau memutuskan untuk "menanti" orang baru datang. Sebuah penantian hanya akan berakhir pada dua hal, bahagia atau kecewa.
Jika penantianmu berakhir bahagia, tersenyumlah. Itu artinya penantianmu tidak sia-sia dan Allah mengabulkan doamu. Tapi jika penantianmu berakhir dengan kekecewaan, tetaplah tersenyum. Mungkin itu berarti bahwa keadilan sedang menjalankan perannya atas kekecewaan orang terdahulu yang pernah kau bikin kecewa.
.
Menanti, berarti kau harus siap untuk hal terburuk. Jangan hanya berangan-angan yang indah-indah.
.
Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan sosok yang sedang dinanti. Semoga malam minggu itu akan indah seperti impian. Akan ada kelanjutan setelahnya, bukan berhenti sampai disitu.
-AM-

Senin, 25 Januari 2016

Skripsi Aris Muttaqin

PENGARUSUTAMAAN ISLAM NUSANTARA MELALUI
PAI DALAM PERSPEKTIF DOSEN PAI UNJ

Aris Muttaqin
4715111554




Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Agama (S.Ag.)


PROGRAM STUDI ILMU AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2016





LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta


Dr. Muhammad Zid, M.Si.
NIP. 19630412.199403.1.002

Tim Penguji
Jabatan              Nama                                                 Tanda Tangan             Tanggal
Ketua                Rihlah Nur Aulia, S.Ag., MA.         
                          NIP.19790912.200801.2.018           ………………            ………….

Sekretaris          Sari Narulita, Lc., M.Si.                   
                          NIP.19800228.200604.2.002           ………………            ………….

Penguji Ahli      Firdaus Wajdi, MA.                         
                          NIP.19810718.200801.1.016           ………………            ………….

Pembimbing I   Dr. Andy Hadiyanto, MA.              
                          NIP.19741021.200112.1.001           ………………            ………….

Pembimbing II  Dr. Izzatul Mardhiah, S.Ag., MA.   
                          NIP.19780306.200912.2.002           ………………            ………….


Tanggal lulus :  29 Januari 2016


SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama               : Aris Muttaqin
No. Reg.          : 4715111554
Judul Skripsi   : Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Dalam                                      Perspektif Dosen PAI UNJ
Menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa skripsi yang saya tulis adalah murni karya orisinil saya. Semua teori dan konsep yang saya ambil dari penulis lain baik langsung maupun tidak langsung ditulis sebagai kutipan.
Saya bersedia menanggung segala konsekuensi hukum apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini adalah jiplakan atau terjemahan karya orang lain.
Jakarta, 4 Januari 2016
Pembuat Pernyataan


Aris Muttaqin


LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta, Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah. Yang selalu mendoakan anak pertamanya ini dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang yang abadi.
Kemudian juga saya persembahkan untuk ketiga adikku Mar’atus Sholikhah, Iin Fitriyani, Muhammad Aly Imron. Kalian bertiga begitu berharga dan selalu membuatku semangat dalam mencari ilmu dan rezeki.


MOTTO

BERIKAN MANFAAT WALAU SEDIKIT UNTUK ORANG-ORANG DI SEKELILINGMU
TERLEBIH UNTUK MEREKA YANG KAU SAYANGI DAN KAU CINTAI.
خَيْرٌ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN”













ABSTRAK

Aris Muttaqin, Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ, Skripsi.
Jakarta: Program Studi Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, 2015.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian ini menggunakan teori Islam Nusantara perspektif Fiqh yaitu Pribumisasi Islam gagasannya Gus Dur dan Fikih Indonesia gagasannya Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie. Kemudian teori Islam Nusantara dalam dimensi Tasawuf yaitu Hubungan antara Budaya dengan Agama karya Dr. Haidar Baghir dan Mistisme Islam karya KH. Mustofa Bisri.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: Pertama, konsep Islam Nusantara menurut dosen PAI yaitu corak Islam di Indonesia yang bercampur dengan budaya yang sudah ada. Kedua, metode pengarusutamaan Islam Nusantara menurut dosen PAI yaitu dengan melakukan pembelajaran di kelas melalui diskusi-diskusi pada materi Seni dan Budaya Islam, Ekonomi Islam, Teknologi dan Islam, serta Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Ketiga, melalui pembelajaran PAI, Islam Nusantara sudah diarusutamakan meskipun ada beberapa catatan mengenai cara pengarusutamaannya. Ada dosen yang mengatakan belum mengarusutamakan, sudah mengarusutamakan walaupun sedikit, dan jelas mengarusutamakan Islam Nusantara. Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI menurut para informan disampaikan melalui materi kuliah PAI seperti Seni dan Budaya dalam Islam, Ekonomi Islam, Kerukunan dan Toleransi, serta Kearifan Lokal (Local Wisdom).

Kata Kunci: Pengarusutamaan, Islam Nusantara, dan Dosen PAI UNJ







ABSTRACT
 
Aris Muttaqin, Mainstreaming Islam Nusantara Through Islamic Education in Perspective Lecturer PAI UNJ, Thesis.
 
Jakarta: Study Program of Islamic Studies, Faculty of Social Sciences, State University of Jakarta, in 2015.
The purpose of this study is to describe and analyze the mainstreaming Islam Nusantara through Islamic Education in Perspective Lecturer PAI UNJ. The method used in this research is descriptive analysis using qualitative research approaches
This study uses the theory of Islam Nusantara perspective of Islamic jurisprudence that indigenization ideas of Gus Dur and Jurisprudence Indonesia ideas Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie. Then theoretical Sufism Islam Nusantara in dimension, namely the relationship between culture Religion by Dr. Haidar Baghir and Islamic Mysticism works of KH. Mustafa Bisri.
Based on the research findings can be summarized: First, the concept of Islam Nusantara according to the lecturer of Islamic education in Indonesia, namely Islam shades mixed with the existing culture. Secondly, the method according to the lecturer Mainstreaming Islam Nusantara Islamic Education is conducting classroom learning through discussions on the matter of Arts and Culture of Islam, Islamic Economics, Technology and Islam, as well as Islamic law and Islamic economics. Third, through the learning of Islamic Education, Islamic archipelago has been mainstreamed although there are some notes on how mainstreaming. There are professors who said it is not mainstream, mainstreaming albeit slightly, and obvious mainstream Islam Nusantara. Mainstreaming Islam Nusantara through the learning of Islamic Education according to the informant delivered through lecture material Islamic education such as Arts and Culture in Islam, Islamic Economics, Harmony and Tolerance, as well as Local Wisdom (Local Wisdom)

Keywords: Mainstreaming, Islam Nusantara, and Lecturer PAI UNJ







الملخص

أريس المتقين ، تعميم الإسلام نوسانتارا من خلال التربية الإسلامية في منظور التربية والتعليم محاضري الجامعات الإسلامية جاكرتا الدولة ، رسالة .

جاكرتا: برنامج دراسة الدراسات الإسلامية ، كلية العلوم الاجتماعية ، جامعة ولاية جاكرتا ، في عام 2015.

               والغرض من هذه الدراسة هو وصف وتحليل وتعميم الإسلام نوسانتارا من خلال التربية الإسلامية في منظور التربية والتعليم محاضر جامعة الدولة الإسلامية في جاكرتا. الطريقة المستخدمة في هذا البحث هو التحليل الوصفي باستخدام أساليب البحث النوعي.

               تستخدم هذه الدراسة نظرية منظور الإسلام نوسانتارا للفقه الإسلامي أن التأصيل أفكار غوس دور والفقه اندونيسيا الأستاذ الأفكار حسبي الصديقي . ثم التصوف النظري الإسلام نوسانتارا في البعد، وهي العلاقة بين الثقافة الدين من قبل الدكتور حيدر الباقر والتصوف الإسلامي يعمل كياي حاجي مصطفى بسري .

               وبناء على نتائج البحوث ويمكن تلخيص: أولا، مفهوم الإسلام نوسانتارا فقا لمحاضر التربية الإسلامية في إندونيسيا، وهي ظلال الإسلام مختلطة مع الثقافة القائمة. ثانيا، الأسلوب وفقا لمحاضر تعميم الإسلام نوسانتارا التربية الإسلامية تجري الفصول الدراسية التعلم من خلال المناقشات بشأن هذه المسألة للفنون والثقافة في الإسلام، الاقتصاد الإسلامي، التكنولوجيا والإسلام، فضلا عن الشريعة الإسلامية والاقتصاد الإسلامي. ثالثا، من خلال التعلم التربية الإسلامية، وقد تم تعميم الأرخبيل الإسلامي على الرغم من أن هناك بعض الملاحظات حول كيفية تعميم. هناك أساتذة الذين قالوا انه ليس في التيار، وتعميم وإن كان قليلا، وتعميم واضح الإسلام نوسانتارا. تعميم الإسلام نوسانتارا من خلال التعلم التربية الإسلامية وفقا للمخبر تسليمها خلال محاضرة التربية الإسلامية مادة مثل الفنون والثقافة في الإسلام، الاقتصاد الإسلامي، الوئام والتسامح، فضلا عن الحكمة المحلية (الحكمة المحلية)


كلمات البحث: تعميم الإسلام نوسانتارا، و محاضر التربية الإسلامية، جامعة ولاية جاكرتا.




KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur Alhamdulillahirabbil’alamiin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah serta inayahNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ”.
Shalawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Salam yang selalu penulis sampaikan kepada pemimpin yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang indah ini. Semoga kita kelak termasuk umat yang mendapatkan syafa’at beliau di Yaumul Qiyamah.
Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi dorongan motivasi serta semangat kepada penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Tentunya dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan saran yang sangat berharga dari semua pihak, maka dari itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Bapak Dr. Andy Hadiyanto, MA., selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing I skripsi dan Dosen Pembimbing Akademik saya atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan perhatiannya dalam bentuk apapun baik akademik, non akademik maupun dalam organisasi, dan bahkan kehidupan pribadi.
2.      Ibu Rihlah Nur Aulia, S.Ag., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Agama Islam yang sering memacu saya untuk segera menyelesaikan skripsi dan terimakasih atas segala bimbingan serta arahannya sehingga skripsi ini bisa selesai dengan baik.
3.      Ibu Dr. Izzatul Mardhiah, MA., selaku Dosen Pembimbing II skripsi saya atas segala bimbingan, arahan, perhatian, saran, waktu, motivasi dan semangatnya sehingga skripsi saya bisa selesai dengan baik.
4.      Seluruh dosen dan staff Prodi Ilmu Agama Islam, terutama Bapak Noor Rachmat, (Alm.) Bapak Syamsul Arifin, Ibu Sari Narulita, Bapak Abdul Fadhil, Bapak Firdaus Wajdi, Bapak Yusuf Ismail yang sudah meninggalkan kesan tersendiri di hati saya selama penulisan skripsi maupun selama perkuliahan. Tak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Chudlori Umar, Bapak Khairil Ikhsan Siregar, Bapak Zaghlul Yusuf, Bapak Zulkifli Lubis, Bapak Ahmad Hakam, Ibu Amaliyah, Bapak Hendrawanto, Mbak Dewi Anggraeni, Mas Indra, Mas Fauzan, dan Mbak Lina atas ilmunya, motivsinya, teladannya, kasih sayangnya, dan perhatiannya selama ini yang sangat bermanfaat buat saya.
5.      Bapak Abdul Rahman Hamid, selaku Kepala UPT MKU UNJ yang telah memberikan izin dan arahan kepada saya untuk mendapatkan informasi terkait skripsi ini. Juga untuk Ibu Zakiya Darajat selaku Dosen PAI dari UIN Jakarta yang bertugas di UNJ.
6.      Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah yang selalu mendoakan anaknya di perantauan. Terimakasih tak terhingga atas pendidikan terbaiknya, kasih sayangnya, teladannya, dorongan, semangat, dan semuanya yang sudah bapak ibu berikan kepada saya. Tak lupa untuk adik-adikku tersayang, Mar’atus Sholikhah, Iin Fitriyani, dan Muhammad Aly Imron yang selalu menjadi semangat saya untuk menyelesaikan studi ini. Juga untuk anggota keluarga baru, suami dari adik pertama (Hanafi).
7.      Orang-orang yang saya anggap orang tua di perantauan; Mas Fultoni, Pak Uli Parulian Sihombing, Mbak Siti Aminah Tardi, Ibu Evi Yuliawaty dan juga Mas Mujahid. Terimakasih atas semua bantuan dan supportnya selama kuliah dan kerja.
8.      Seluruh teman-teman Ilmu Agama Islam FIS UNJ angkatan 2011 yang sudah berjuang bersama-sama selama 8-9 semester ini. Terlebih untuk sahabat-sahabatku Ferri Mardini, Shendy Puspitasari, Anjar Ginanjar Saputra, Tia Aulia Budiarti, Fairuz Nadiah, Hanisah, Atiyah, serta seluruh BPH BEMJ IAI periode tahun 2013 yang sudah meninggalkan kesan indah selama masa perkuliahan sampai akhir ini. Tak lupa teman-teman seperjuangan ‘Basis Tebet’; Dwi Maulana, M. Rizki Hardireza, Doni Adhitia, Nur Ainiyyah Arfi, Rostiana, Muh. Firmansyah, dan M. Nico Rafdy.
9.      Seluruh teman-teman BEM FIS UNJ periode tahun 2014 kepemimpinan sahabat saya Syahril Sidik atas segala pengalaman organisasi yang sangat berkesan bagi diri saya. Terutama untuk pengurus angkatan 2011 yang selalu memberikan motivasi dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.  Adik-adik Program Studi Ilmu Agama Islam terutama anggota penerus BEMJ IAI angkatan 2012 pimpinan Dian Bagus, 2013 pimpinan Fachrureza Novario, maupun 2014 pimpinan Akbar yang sering memberikan support untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terlebih untuk adik Syifa Khairunnisa, Aida Fitria, Nani Fitriani, Fikriyyah Lathifah, dll. yang sering memberikan semangat, dorongan serta motivasinya dengan penuh pengertian dan perhatian.
11.  Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungannya dalam penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis dari awal penyusunan sampai akhir skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari baik, maka dari itu penulis berharap mendapatkan masukan dan saran yang bersifat membangun agar penelitian ini lebih baik. Semoga pula karya ini mempunyai manfaat dan memberikan manfaat.
Jakarta, 28 Desember 2015
Penulis

        Aris Muttaqin


KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur Alhamdulillahirabbil’alamiin penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah serta inayahNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ”.
Shalawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Salam yang selalu penulis sampaikan kepada pemimpin yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang indah ini. Semoga kita kelak termasuk umat yang mendapatkan syafa’at beliau di Yaumul Qiyamah.
Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi dorongan motivasi serta semangat kepada penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Tentunya dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan saran yang sangat berharga dari semua pihak, maka dari itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Bapak Dr. Andy Hadiyanto, MA., selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing I skripsi dan Dosen Pembimbing Akademik saya atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan perhatiannya dalam bentuk apapun baik akademik, non akademik maupun dalam organisasi, dan bahkan kehidupan pribadi.
2.      Ibu Rihlah Nur Aulia, S.Ag., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Agama Islam yang sering memacu saya untuk segera menyelesaikan skripsi dan terimakasih atas segala bimbingan serta arahannya sehingga skripsi ini bisa selesai dengan baik.
3.      Ibu Dr. Izzatul Mardhiah, MA., selaku Dosen Pembimbing II skripsi saya atas segala bimbingan, arahan, perhatian, saran, waktu, motivasi dan semangatnya sehingga skripsi saya bisa selesai dengan baik.
4.      Seluruh dosen dan staff Prodi Ilmu Agama Islam, terutama Bapak Noor Rachmat, (Alm.) Bapak Syamsul Arifin, Ibu Sari Narulita, Bapak Abdul Fadhil, Bapak Firdaus Wajdi, Bapak Yusuf Ismail yang sudah meninggalkan kesan tersendiri di hati saya selama penulisan skripsi maupun selama perkuliahan. Tak lupa juga saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Chudlori Umar, Bapak Khairil Ikhsan Siregar, Bapak Zaghlul Yusuf, Bapak Zulkifli Lubis, Bapak Ahmad Hakam, Ibu Amaliyah, Bapak Hendrawanto, Mbak Dewi Anggraeni, Mas Indra, Mas Fauzan, dan Mbak Lina atas ilmunya, motivsinya, teladannya, kasih sayangnya, dan perhatiannya selama ini yang sangat bermanfaat buat saya.
5.      Bapak Abdul Rahman Hamid, selaku Kepala UPT MKU UNJ yang telah memberikan izin dan arahan kepada saya untuk mendapatkan informasi terkait skripsi ini. Juga untuk Ibu Zakiya Darajat selaku Dosen PAI dari UIN Jakarta yang bertugas di UNJ.
6.      Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah yang selalu mendoakan anaknya di perantauan. Terimakasih tak terhingga atas pendidikan terbaiknya, kasih sayangnya, teladannya, dorongan, semangat, dan semuanya yang sudah bapak ibu berikan kepada saya. Tak lupa untuk adik-adikku tersayang, Mar’atus Sholikhah, Iin Fitriyani, dan Muhammad Aly Imron yang selalu menjadi semangat saya untuk menyelesaikan studi ini. Juga untuk anggota keluarga baru, suami dari adik pertama (Hanafi).
7.      Orang-orang yang saya anggap orang tua di perantauan; Mas Fultoni, Pak Uli Parulian Sihombing, Mbak Siti Aminah Tardi, Ibu Evi Yuliawaty dan juga Mas Mujahid. Terimakasih atas semua bantuan dan supportnya selama kuliah dan kerja.
8.      Seluruh teman-teman Ilmu Agama Islam FIS UNJ angkatan 2011 yang sudah berjuang bersama-sama selama 8-9 semester ini. Terlebih untuk sahabat-sahabatku Ferri Mardini, Shendy Puspitasari, Anjar Ginanjar Saputra, Tia Aulia Budiarti, Fairuz Nadiah, Hanisah, Atiyah, serta seluruh BPH BEMJ IAI periode tahun 2013 yang sudah meninggalkan kesan indah selama masa perkuliahan sampai akhir ini. Tak lupa teman-teman seperjuangan ‘Basis Tebet’; Dwi Maulana, M. Rizki Hardireza, Doni Adhitia, Nur Ainiyyah Arfi, Rostiana, Muh. Firmansyah, dan M. Nico Rafdy.
9.      Seluruh teman-teman BEM FIS UNJ periode tahun 2014 kepemimpinan sahabat saya Syahril Sidik atas segala pengalaman organisasi yang sangat berkesan bagi diri saya. Terutama untuk pengurus angkatan 2011 yang selalu memberikan motivasi dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.  Adik-adik Program Studi Ilmu Agama Islam terutama anggota penerus BEMJ IAI angkatan 2012 pimpinan Dian Bagus, 2013 pimpinan Fachrureza Novario, maupun 2014 pimpinan Akbar yang sering memberikan support untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terlebih untuk adik Syifa Khairunnisa, Aida Fitria, Nani Fitriani, Fikriyyah Lathifah, dll. yang sering memberikan semangat, dorongan serta motivasinya dengan penuh pengertian dan perhatian.
11.  Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungannya dalam penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis dari awal penyusunan sampai akhir skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari baik, maka dari itu penulis berharap mendapatkan masukan dan saran yang bersifat membangun agar penelitian ini lebih baik. Semoga pula karya ini mempunyai manfaat dan memberikan manfaat.
Jakarta, 28 Desember 2015
Penulis

        Aris Muttaqin


 DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ……………...……………………………. ii
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………………...  iii
LEMBAR PERSEMBAHAN & MOTTO ……………………………………….   iv
ABSTRAK ………………………………………………………………………..  v
ABSTRACT ………………………………………………………………………  vi
الملخص …………………………………………………………………………….    vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………....  viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...  xii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………...  xv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………... xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ………………………………………………...... 1
B.     Identifikasi Masalah ………………………………………………………. 7
C.     Pembatasan Masalah ………………………………………………………  8
D.    Perumusan Masalah ……………………………………………………….  8
E.     Tujuan Penelitian ………………………………………………………….  8
F.      Manfaat Penelitian ………………………………………………………...  9
G.    Metode Penelitian …………………………………………………………  10
H.    Teknik Pengumpulan Data ......……………………………………………   11
I.       Teknik Analisis Data …………..………………………………………….   11
J.       Teknik Pengolahan Data …………..……………………………………....  12
K.    Sistematika Penulisan …………………………………………………….   12
BAB II: KAJIAN TEORITIS
A.    PAI dalam Perspektif Filosofis dan Pedagogik …………………………..   14
B.     Definisi Pengarusutamaan ………………………………………………..   21
C.     Islam Nusantara : Antara Konsep dan Realita ……………………………   22
1.      Islam Nusantara Perspektif Fiqh ……………………………………...   22
2.      Islam Nusantara dalam Dimensi Tasawuf …………………………….  24
3.      Aswaja dan Islam Nusantara ………………………………………….  27
a)      Aswaja …………………………………………………………….  27
b)      Islam Nusantara Perspektif Nahdhatul Ulama (NU) ……………...  28
c)      Hubungan antara Aswaja dan Islam Nusantara …………………...  32
BAB III: HASIL PENELITIAN
A.    Deskripsi Data …………………………………………………………….  34
1.      PAI di UPT MKU UNJ ……………………………………………….  34
2.      Profil Informan ………………………………………………………..  37
B.     Konsep Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ …………………….. 39
C.     Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam Pembelajaran PAI ……  59
D.    Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen PAI UNJ ……………................................................................................................... 71
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan ………………………………………………………..............  81
B.     Saran ………………………………………………………………………. 84
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….            86
LAMPIRAN
TENTANG PENULIS


DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.       Pengelompokan Konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ... 39
Table 3.2.       Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara ………………………… 59
Table 3.3.       Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen ......  71





 DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1           Pedoman Wawancara Penelitian Skripsi
LAMPIRAN 2           Data Demografi Informan
LAMPIRAN 3           Dokumentasi
LAMPIRAN 4           Surat Permohonan Izin Mengadakan Penelitian untuk Penulisan                              Skripsi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Saat ini istilah Islam Nusantara telah menimbulkan polemik pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia. Polemik ini muncul setelah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) meresmikan tema Muktamar Nahdhatul Ulama (NU) ke-33 yang akan dilaksanakan di Jombang, Jawa Timur beberapa bulan lalu.
Bagi kalangan NU yang pro, Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahwa Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya. Dari pijakan sejarah itulah, NU akan bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka dan toleran. Presiden Jokowi juga telah menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara, yaitu Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata karma dan penuh toleransi.[1] Pernyatan dari Presiden Jokowi tentang Islam Nusantara itu dilontarkannya dalam acara pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Ulama Pengurus Besar Nahdhatul Ulama yang diselenggarakan di Masjid Istiqlal pada hari Minggu tanggal 26 Juni 2015.
Menurutnya, Islam Nusantara yang sudah mengakar dalam jiwa Muslim di Indonesia sangat berpengaruh besar dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurutnya pula, Islam Nusantara akan menjadi kekuatan untuk melawan berbagai pengaruh ekstrim yang coba ditularkan oleh kelompok-kelompok militan.[2] Dalam wawancara dengan BBC Indonesia seusai acara, Jokowi mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, tidak radikal, inklusif dan toleran. Jokowi juga menekankan bahwa Islam di Nusantara menyebar dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Menurutnya, Islam Nusantara ini didakwahkan dengan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya.
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. Kiai yang akrab disapa Gus Mus itu merasa bingung karena kondisi Islam di Timur-Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia. Untuk itulah, lanjut Gus Mus, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara.[3]
Masyarakat di Indonesia saat ini tidak sedikit yang sudah meninggalkan budaya-budaya Islam yang dibawa oleh Ulama Indonesia terdahulu pada saat mengajarkan Islam, seperti yang dilakukan oleh Walisongo. Walisongo memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. “Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam”.[4] Yang terjadi pada masyarakat Muslim Indonesia sekarang adalah marakanya budaya ‘Arabisasi’ Islam yang semakin marak ditengah-tengah kita.
Arabisasi yang dimaksud di sini tidaklah merujuk pada bangsa atau ras Arab. Yang dibicarakan di sini adalah propaganda penunggalan budaya Islam untuk tunduk pada kebudayaan serba tertutup yang berlaku di Arab Saudi. Banyak orang salah kaprah menganggap budaya Islam adalah sama dengan masyarakat Arab di Arab Saudi. Padahal, siapapun yang belajar sejarah Islam sebenarnya akan tahu bahwa kejayaan peradaban Islam itu tidak berpusat di Arab Saudi. Islam memang diturunkan di tanah Arab, tapi kemudian yang menentukan adalah perkembangannya di luar Arab Saudi: di Persia, Turki dan Mesir.[5]
Sedangkan bagi yang kontra, Islam Nusantara dianggap sebagai bermuatan primordial, mengkotak-kotakkan Islam, anti Arab, bahkan dituduh sebagai strategi baru dari JIL, Barat, Zionis, dan semacamnya. Islam ya Islam, begitu diantara tanggapan para penentang.[6] Pernyataan seperti tersebut memang sering penulis dengar dari oknum kalangan non-Nahdhatul Ulama dan juga dari oknum yang anti pemerintah.
Bukan hanya oknum kalangan non-NU saja yang kontra dengan munculnya Islam Nusantara. Di kalangan NU sendiri pun ada beberapa Tokoh dan Kiai yang menolak serta menentang munculnya istilah Islam Nusantara tersebut. Mereka tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, mereka lebih cenderung dengan istilah Islam Rahmatan lila’alamin.
Menurut kalangan NU yang menolak, istilah Islam Nusantara mempersempit ruang lingkup Islam dan cenderung eksklusif.[7] Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jember Jawa Timur, KH Misbahussalam mengatakan bahwa NU sendiri tidak hanya di Indonesia tapi juga berkembang di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Misbahussalam, ada dugaan disosialisasikannya istilah Islam Nusantara adalah untuk mengakomodasi ajaran Syiah, Islam Liberal, Wahabi, dan ideologi lain yang bertentangan dengan Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja).
KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Jember juga berpendapat bahwa istilah Islam Nusantara tidak punya sumber baik dalam Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, maupun Qiyas. Justru banyak pihak baik di internal maupun eksternal NU menyerang NU karena persoalan istilah Islam Nusantara tersebut. KH. A. Muhith Muzadi juga mengaku tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara. Alasannya, Islam itu satu. Yaitu Islam yang sudah jelas ajarannya.[8]
Dari beberapa pernyataan dari para Ulama, Kiai, artikel dan juga pernyataan dari Presiden Republik Indonesia tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa Islam Nusantara yang digaungkan oleh Nahdhatul Ulama (NU) ini bukanlah sebuah ajaran, madzhab ataupun paham baru dalam Islam. Akan tetapi Islam Nusantara yang di maksud adalah sebuah keberagaman yang sudah sejak lama menjadi model dakwahnya para Kiai di Jawa, terlebih oleh Walisongo.
Terjadinya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia saat ini yang berkaitan dengan Islam Nusantara tidak terlepas dari adanya media dan oknum-oknum yang sebagian besar salah memahami makna dari Islam Nusantara yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Muslim di Indonesia masih awam dan mudah menerima informasi yang datang dari sumber yang belum jelas keabsahannya. Perdebatan seperti ini tidak seharusnya terjadi di tengah masyarakat awam, karena bisa menimbulkan banyak kontroversi yang kemudian menjalar ke umat Muslim secara luas. Agar kontroversi seperti ini tidak menjalar semakin luas, sudah seharusnya perguruan tinggi, baik perguruan tinggi umum maupun pergutuan tinggi yang memiliki latar belakang ke-Islaman berperan aktif dalam menghilangkan kontroversi tersebut supaya istilah Islam Nusantara ini menjadi tidak asing lagi di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia. Karena perguruan tinggi pasti mempunyai forum-forum diskusi mendalam, terutama mata kuliah tertentu yang mempunyai hubungan terkait isu yang sedang berkembang di masyarakat dan diskusi-diskusi disana berpegang pada referensi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Melihat kondisi seperti ini, maka peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam tentang kontribusi perguruan tinggi dalam menyampaikan istilah Islam Nusantara menjadi tidak asing di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia. Perguruan tinggi yang menurut penulis bisa dijadikan rujukan terkait permasalahan tersebut adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang notabene adalah kampus pendidikan yang terkenal dengan banyaknya diskusi-diskusi ilmiah yang dilakukan oleh civitas akademiknya. Meskipun bukan kampus yang berlatar belakang ke-Islaman, akan tetapi di UNJ terdapat satu mata kuliah wajib yang sangat terkait dengan Islam yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Mata kuliah PAI ini wajib diambil oleh seluruh mahasiswa Muslim UNJ.
Mata kuliah PAI ini sebagian besar dosen pengampunya merupakan dosen dari Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI). Jurusan tersebut juga memiliki jargon yang sejalan dengan isu terkait Islam Nusantara yaitu Lebih Moderat Makin Indonesia. Menurut penulis, mata kuliah PAI merupakan forum diskusi terbaik akademisi kampus dalam menyampaikan atau mendiskusikan isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat.
Berdasarkan uraian dari latar belakang dan fakta itulah penulis ingin meneliti lebih dalam terkait pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI dalam perspektif Dosen PAI supaya istilah Islam Nusantara ini menjadi hal yang tidak asing lagi dalam berbagai diskusi maupun perbincangan di kalangan masyarakat dan civitas kampus. Dengan kata lain penulis ingin meneliti pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI dalam perspektif Dosen PAI UNJ.
B.     Identifikasi Masalah
Dari uraian diatas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1.      Apakah mata kuliah PAI di UNJ sudah mengarusutamakan Islam Nusantara?
2.      Problematika apa yang muncul di tengah masyarakat dengan dilontarkannya Islam Nusantara oleh Nahdhatul Ulama (NU)?
3.      Mengapa terjadi kontroversi di sebagian masyarakat dengan munculnya Islam Nusantara?
4.      Mengapa Islam Nusantara harus diarusutamakan bagi kehidupan umat Islam di Indonesia?
5.      Apa saja pandangan dosen PAI UNJ terkait munculnya Islam Nusantara?





C.    Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan memperoleh gambaran yang jelas, maka penelitian ini perlu dibatasi pada Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ.
D.    Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penelitian ini secara umum dapat dirumuskan kedalam pertanyaan umum yaitu “Bagaimana Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ?”.
Pertanyaan umum tersebut kemudian dirinci kedalam beberapa pertanyaan khusus, sebagai berikut;
1.      Bagaimana konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ?
2.      Bagaimana metode Pengarusutamaan Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ?
3.      Bagaimana pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen PAI UNJ?
E.     Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ. Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan pencapaian tujuan-tujuan antara lain sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan dan menganalisis konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ
2.      Mendeskripsikan dan menganalisis metode pengarusutamaan Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ
3.      Mendeskripsikan dan menganalisis pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen PAI UNJ
F.     Manfaat Penelitian
            Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoritis dan praktis bagi masyarakat akademik dan umum. Secara teoritis penelitian ini sebagai bahan kajian akademis dalam memahami pengarusutamaan Islam Nusantara yang dapat dijadikan arah pengembangan moderatisme Islam.
Sedangkan pada tingkat praktis diharapkan memberikan manfaat bagi :
1.      Pemerintah, yaitu sebagai penguat sekaligus memberikan tambahan referensi terhadap pemikiran dan konsep Islam Nusantara yang diluncurkan oleh Nahdhatul Ulama serta mendapat dukungan dari Pemerintah melalui Presiden Republik Indonesia.
2.      Perguruan Tinggi. Akan mendorong terjadinya feedback and policy redesign bagi Universitas Negeri Jakarta yang memiliki kepentingan sebagai wadah Pendidikan dan terlebih mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memiliki peran dalam menyampaikan isu-isu nasional terkait Agama baik melalui diskusi-diskusi di kelas maupun di masyarakat.
3.      Dosen PAI UNJ. Bisa dijadikan rujukan dalam menyampaikan isu terkait Islam Nusantara menurut pandangannya di kalangan akademisi kampus maupun masyarakat umum melalui mata kuliah PAI. Supaya istilah Islam Nusantara ini tidak lagi menjadi bahan perdebatan dan perbincangan di kalangan masyarakat, baik didalam kampus maupun diluar kampus.
G.     Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan oleh penulis yaitu metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang diarahkan untuk memecahkan masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan apa adanya hasil penelitian, kemudian di analisis dengan cara memilah sumber data yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan memutuskan apa yang menjadi tujuan penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif disebabkan karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI dalam pandangan Dosen PAI UNJ. Dalam penelitian ini, aspek-aspek yang berhubungan dengan pemahaman Islam Nusantara para tokoh Islam, Sejarahwan dan Budayawan dideskripsikan dengan tujuan menarik generalisasi, karena memang dalam penelitian deskriptif ini tidak menggunakan dan tidak melakukan pengujian hipotesis.[9] Tetapi lebih banyak mendeskripsikan makna-makna dari aspek-aspek yang terkait sehingga membentuk satu penjelasan yang utuh mengenai suatu kasus.
H.    Teknik Pengumpulan Data
            Teknik pengumpulan data merupakan cara bagaimana data-data yang berkaitan dengan pemahaman Islam Nusantara. Teknik pengumpulannya dilakukan dengan tiga cara, yaitu pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan dokumentasi. Pengamatan yang dilakukan peneliti adalah pengamatan dengan mengkaji serta meninjau kinerja dosen PAI UNJ.
            Wawancara dilakukan terhadap dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) secara purposive, dengan pertimbangan bahwa informan tersebut memiliki pandangan yang actual tentang Islam Nusantara dan kontribusinya dalam mengarusutamakan Islam Nusantara melalui mata kuliah PAI. Informan tersebut dianggap dapat memberi pandangan yang mendalam tentang tema yang diusung dalam penelitian ini.
I.       Teknik analisis data
            Hasil pengamatan, wawancara, dan dokumentasi dituangkan ke dalam bentuk catatan lapangan. Data-data ini merupakan data-data yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan tiga langkah.[10] Pertama, melakukan reduksi data. Dalam hal ini data-data yang telah terekam dalam catatan lapangan (field research), masing-masing akan dirangkum, diikhtisarkan atau disimpulkan, kemudian dimasukkan ke dalam suatu kategori tertentu. Kedua, melakukan display data, yaitu data akan disajikan ke dalam sejumlah matriks yang sesuai. Matriks-matriks display data tersebut akan digunakan: (a) untuk mencermati dan mengelaborasi data yang telah direduksi, (b) untuk memudahkan pengkonstruksian dalam rangka menuturkan, menyimpulkan, dan menginterpretasikan data, (c) sebagai daftar, yang secara ringkas dan cepat menunjukkan cakupan data yang telah dikumpulkan, sehingga bila dianggap masih kurang atau belum lengkap, dapat segera “diburu” datanya pada sumber-sumber yang relevan. Ketiga, mengambil kesimpulan-kesimpulan tertentu dari hasil pemahaman dan pengertian.
J.      Teknik pengolahan data
            Data-data yang sudah terkumpul melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi akan direduksi, yaitu data-data tersebut dipilah-pilah menjadi berbagai macam kategori sehingga akan mempermudah menganalisisnya sesuai yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Setelah itu kategori-kategori tersebut akan didisplay, yaitu diberi komentar-komentar, diikhtisarkan, dan disimpulkan. Jika ternyata dalam proses display ini ada data-data yang perlu “dikejar” lagi ke lapangan maka peneliti akan melaksanakannya hingga data tersebut terkumpul secara lengkap. Dengan demikian penelitian ini dapat mendeskripsikan dan menganalisis data secara benar.
K.    Sistematika Penulisan
Tulisan ini di awali dengan abstrak, kata pengantar, daftar isi, dan daftar lampiran.
Sedangkan bagian inti terdiri dari:
BAB I adalah Pendahuluan. Berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II adalah Kajian Teoritis. Berisi PAI dalam perspektif Filosofis dan Pedagogik. Kemudian landasan teori tentang Konsep dan Realita Islam Nusantara mengenai Islam Nusantara perspektif Fiqh, Islam Nusantara dalam Dimensi Tasawuf, serta Islam dan Aswaja.
BAB III adalah Hasil Penelitian. Berisi tentang deskripsi data yang dijelaskan menurut tujuan penelitian yaitu konsep Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ, Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam pembelajaran PAI, serta Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen PAI UNJ.
BAB IV adalah Penutup. Berisi kesimpulan dan saran.


[1] Zainul Milal Bizawie. Meneguhkan Islam Nusantara, http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara/, diakses pada 30 September 2015  
[2] Ade Armando. Jokowi, Islam Nusantara dan Perang Melawan Keterbelakangan ala Saudi,  http://www.madinaonline.id/c907-editorial/jokowi-islam-nusantara-dan-perang-melawan-keterbelakangan-ala-saudi/ diakses pada 30 September 2015
[3] Zidni Nafi’ dan Fathoni. Gus Mus: Kaget Soal Islam NusantaraBerarti Tidak Pernah Ngaji, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60914-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Kaget+Soal+Islam+Nusantara+Berarti+Tidak+Pernah+Ngaji-.phpx, diakses pada 1 Oktober 2015
[4] Zidni Nafi’ dan Fathoni. Gus Mus: Kaget Soal Islam NusantaraBerarti Tidak Pernah Ngaji, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60914-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Kaget+Soal+Islam+Nusantara+Berarti+Tidak+Pernah+Ngaji-.phpx, diakses pada 1 Oktober 2015
[5] Ade Armando. Jokowi, Islam Nusantara dan Perang Melawan Keterbelakangan ala Saudihttp://www.madinaonline.id/c907-editorial/jokowi-islam-nusantara-dan-perang-melawan-keterbelakangan-ala-saudi/ diakses pada 30 September 2015
[6] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 17
[7] Abu Faza. Sejumlah Kyai NU Tolak Islam Nusantara Jadi Tema Muktamar NU ke-33. http://www.suara-islam.com/read/index/14840/-Sejumlah-Kyai-NU-Tolak-Islam-Nusantara-Jadi-Tema-Muktamar-NU-ke-33, diakses pada 9 Oktober 2015
[8] NU Garis Lurus. Para Tokoh dan Kiai NU Ini Menentang Islam Nusantara Jadi Tema Muktamar. http://www.nugarislurus.com/2015/07/para-tokoh-dan-kiai-nu-ini-menentang-islam-nusantara-jadi-tema-muktamar.html#axzz3oVIUS1L6, diakses pada 9 Oktober 2015
[9] Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 20
[10] Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 255





BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.      PAI dalam Perspektif Filosofis dan Pedagogik
Pendidikan merupakan suatu proses yang memperkenalkan dan menginternalisasikan niai-nilai budaya kepada peserta didik. Budaya diartikan sebagai pandangan dan sikap hidup. Pandangan adalah pola pikir mengenai segala aspek kehidupan, baik yang terikat dengan diri setiap pribadi maupun dengan masyarakat. Sedangkan sikap hidup merupakan keseluruhan perilaku dan tindakan seseorang berdasarkan pada kesadarannya. Pandangan dan sikap hidup ini menjadi kepribadian seseorang.[1]
Pandangan dan sikap hidup peserta didik diharapkan seperti dikehendaki materi ajar. Artinya, jika materi ajarnya haq, maka peserta didik cenderung menjadi manusia yang pandangan dan sikap hidupnya haq dan begitu pula sebaliknya. Mata kuliah PAI terkait erat dengan soal pandangan dan sikap hidup, karena mata kuliah ini termasuk kelompok Matakuliah Penegembangan Kepribadian (MPK). Sehubungan dengan PAI merupakan MPK, maka perlu dijelaskan hal penting yaitu kedudukan MPK PAI dalam Kurikulum Perguruan Tinggi.[2]
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, menurut Keputusan Direktur Jenderal Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/Kep/2002 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, merupakan salah satu mata kuliah kelompok pengembangan kepribadian (MPK). Visi mata kuliah ini ini menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan peserta didik megembangkan kepribadiannya. Sedangkan misinya adalah membantu peserta didik agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.[3]
Dalam SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 pasal 5 dikemukakan mengenai metodologi pembelajaran MPK, yang meliputi pendekatan, metode, bentuk aktivitas, dan motivasi. Dalam SK tersebut dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran, dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara. Sedangkan metode yang digunakan adalah membahas masalah secara kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif melalui kreatif yang bersifat partisipatoris untuk meyakini kebenaran substansi dasar kajian. Sementara itu bentuk aktivitas dalam proses pembelajaran adalah kuliah tatap muka secara bervariasi, ceramah, dialog kreatif, diskusi interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil dan lainnya yang lebih menekankan pada pengalaman belajar secara bermakna.[4]
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif.[5] Pertama, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Kedua, pendidikan Islam dapat berwujud segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari. Serta segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
Ketiga, pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generai ke generasi sepanjang sejarahnya. Dari beberapa definisi tersebut intinya dapat dirumsukan sebagai berikut: pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya.
Dalam konteks kajian atau penelitian untuk mengembangkan pendidikan Islam tersebut, Azra mengemukakan bahwa pola kajian kependidikan Islam di Indonesia sebagaimana terdapat dalam beberapa literatur yang tersedia. Salah satunya yaitu kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam. Pengertian inilah yang menurut Tafsir disebut sebagai pendidikan agama Islam, sebagaimana uraian di atas.[6]
Secara substansial tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[7]
Rumusan tujuan berkenaan dengan apa yang hendak dicapai. Muhammad al-Munir menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan agama Islam adalah:[8]
1.      Tercapainya manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 yang artinya; “…. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agama bagimu”.
2.      Tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan tujuan yang seimbang, seperti disebutkan dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201 yang artinya; “Di antara mereka ada yang berkata, Ya Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari siksa api neraka”.
3.      Menumbuhkan kesadaran manusia mengabdi, dan takut kepada Allah SWT sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an surat Adh-Dhariyat ayat 56 yang artinya; “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku”.
Tujuan pendidikan merupakan hal yang dominan dalam pendidikan, rasanya penulis perlu mengutip ungkapan Breiter yang mengatakan bahwa “Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus. Mendidik anak berarti bertindak dengan tujuan agar mempengaruhi perkembangan anak sebagai seseorang secara utuh. Apa yang dapat Anda lakukan bermacam-macam cara, Anda kemungkinan dapat dengan cara mengajar dia, Anda dapat bermain dengannya, Anda dapat menyensor nonton TV, atau Anda dapat memberlakukan hukuman agar dia jauh dari penjara”.
Apa yang kita saksikan selama ini, entah karena kegagalan pembentukan individu atau karena yang lain, nilai-nilai yang mempunyai implikasi sosial dalam istilah Qodry Azizy disebut dengan moralitas sosial atau etika sosisal atau AA. Gym menyebutnya dengan krisis akhlak hampir tidak pernah mendapat perhatian serius. Padahal penekanan terpenting dari ajaran Islam pada dasarnya adalah hubungan antar sesama manusia (mu’amalah bayina al-nas) yang sarat dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan moralitas sosial itu. Bahkan filsafat Barat pun mengarah pada pembentukan kepribadian itu sangat serius. Nampaknya ungkapan Theodore Roosevelt menarik untuk direnungkan: “to educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (mendidik seseorang [menekankan] pada otak/pikiran tidak pada moral adalah sama artinya dengan mendidik atau menebarkan ancaman pada masyarakat).[9]
Sejalan dengan hal tersebut, arah pelajaran etika terdapat di dalam Al-Qur’an dan secara tegas dijelaskan dalam hadits yaitu “Innama bu’itstu li utammima shoolihal akhlak”.[10] Hadits tersebut mengenai tugas Nabi Muhammad SAW diutus yaitu untuk memperbaiki moralitas bangsa Arab pada waktu itu. Oleh karena itu berbicara mengenai pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai keberhasilan hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.
Beberapa rumusan di atas menunjukkan bahwa PAI memiliki tujuan yang luas, dalam, dan kompleks. Keluasan, kedalaman, dan kompleksitas tujuan PAI ini ternyata telah memunculkan sejumlah masalah dalam pelaksanaan dan pencapaiannya. Menurut Komaruddin Hidayat, pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya.
Dari uraian diatas bisa diartikan bahwa pendidikan agama Islam masih banyak kekurangan yang perlu di evaluasi bersama. Salah satu hal yang harus di evaluasi dari PAI adalah para pendidiknya. Berdasarkan fakta, banyak anak didik sekarang yang tidak paham dengan nilai-nilai ajaran agamanya sendiri. Hal itu disebabkan oleh faktor pendidik yang kurang concern terhadap pemahaman anak didik.
Sebagai pendidik khusunya di bidang agama, para pendidik diharuskan memiliki beberapa kompetensi dalam mendidik, salah satunya ialah kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan pendidik dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.[11]
Mulyasa mengemukakan bahwa secara operasional, kemampuan mengelola pembelajaran menyangkut tiga fungsi manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.[12] Agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, serta mencapai hasil yang diharapkan, maka diperlukan manajemen sistem pembelajaran.
B.     Definisi Pengarusutamaan
Kata pengarusutamaan berasal dari kata dasar arus (stream) dan utama (main). Arus utama jika lebih disederhanakan memiliki makna kebiasaan utama, kebiasaan umum, perilaku umum, hal yang biasa, hal yang lumrah, dan sesuatu yang memang sudah nampak wajar dan tidak aneh. Pengarusutamaan merupakan sebuah penggabungan kata yang ditambah dengan tambahan pe- dan –an. Dalam bahasa Inggris, kata pengarusutamaan biasa dikenal dengan kata “mainstream”.[13]
Pengertian mainstream ini kadang juga bisa dikondisikan sesuai penggunaannya. Artinya, sesuatu yang sebelumnya tidak menjadi mainstream bisa menjadi mainstream.    Munculnya istilah ini dipengaruhi karena kata tersebut memiliki antiesis atau lawan katanya, yakni anti mainstream. Istilah ini selalu merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan kebalikan dari kata yang diikutinya. Hal ini berarti bahwa anti mainstream merupakan sesuatu hal yang tidak biasa, perilaku yang tidak umum, sifat yang tidak biasa. Atau hal-hal lainnya yang kadang tidak wajar dan sering mengarah pada pengertian sesuatu yang unik, kreatif, dan beda.
Dalam teknologi, istilah mainstream juga bisa digunakan. Contohnya dalam hal penggunaan ponsel atau handphone. Pada saat dulu orang banyak menggunakan handphone merek Nokia, maka setiap orang yang menggunakan handphone Nokia adalah orang-orang yang mainstream. Soal lain misalnya, ketika prosesor AMD belum dikenal banyak orang, maka tentu saja pengguna prosesor Intel adalah pengguna mainstream karena banyak orang yang menggunakannya.
Begitupun dalam bahasa Ilmiah, kata mainstream atau arus utama seringkali digunakan dalam penulisan sebuah artikel, skripsi, dan lain sebagainya. Salah satu penggunaan kata pengarusutamaan yang sering ditemui yaitu kata pengarusutamaan gender atau PUG. Jadi maksud dari kata pengarusutamaan disini ialah menjadikan istilah yang tidak populer di telinga masyarakat menjadi sesuatu yang populer atau biasa didengar di kalangan masyarakat. Dalam hal ini istilah yang dimaksud yakni istilah Islam Nusantara yang masih asing terdengar di masyarakat menjadi lebih populer di kalangan umat Islam di Indonesia (Nusantara).

C.    Islam Nusantara : Antara Konsep dan Realita
1.      Islam Nusantara Perspektif Fiqh
Istilah Islam Nusantara terdengar ganjil di telinga masyarakat Indonesia, sama halnya dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan seterusnya, karena pada dasarnya Islam itu hanya satu dan memiliki landasan yang satu yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-quran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqashid syariah (tujuan syariah). Maqashid syari’ah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqra’ (penelitian induktif).[14]
Islam Nusantara sejatinya bukanlah gagasan yang tiba-tiba tercipta belakangan ini saja, melainkan sudah diwacanakan sejak lama di Indonesia, meski tidak memakai label “Islam Nusantara”. Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam pidatonya pada Dies Natalis pertama IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 1961 sudah melontarkan ide tentang perlunya “Fikih Indonesia”, yakni fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia.
Sementara itu, pada dekade 80-an, Abdurrahman Wahid tampil dengan idenya “pribumisasi Islam”. Di sini Gusdur dengan tegas menyatakan bahwa pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam”. Selain itu, “pribumisasi Islam” tidak lantas menempatkan Islam dalam subordinasi budaya dan tradisi, tidak pula melakukan “jawanisasi” atau sinkretisme. Tujuannya adalah bagaimana agar Islam dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan ras keadilannya, dan bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.[15]
Apa yang dilontarkan Hasbi tentang “fikih Indonesia” dan Gus Dur tentang “pribumisasi Islam” pada dasarnya menekankan pentingnya menjadikan ‘urf (adat, budaya) dan kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam. Dan tidak diragukan lagi, ini merupakan salah satu elemen utama dalam konsepsi Islam Nusantara. Asumsi utama gagasan Islam Nusantara adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan atau kemudharatan. Kemaslahatan dan kemafsadatan tersebut mesti mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat. Dengan kata lain, perubahan hukum sangat mungkin terjadi manakala terjadi perubahan situasi dan kondisi masyarakatnya.[16]
2.    Islam Nusantara dalam Dimensi Tasawuf
            Pada era globalisasi seperti sekarang, semakin banyak budaya-budaya dari luar yang masuk ke Indonesia dengan mudah. Hal ini bisa berdampak pada memudarnya nasionalisme generasi muda kita. Karena itu, penting revitalisasi wacana agama dan budaya demi memperbarui keyakinan kita mengenai kongruensi agama dan budaya. Kedua hal ini memiliki keterkaitan satu sama lain yang tidak bisa dipisahkan. Budaya bisa muncul di tengah masyarakat karena didalamnya ada unsur agama yang mempengaruhi salah satunya. Keberagaman suatu kaum bisa juga memunculkan sebuah kebudayaan baru ditengah kaum tersebut.
            Menurut Dr. Haidar Baghir, ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan budaya maupun hubungan antara kebudayaan dan keberagaman. Pertama, melihat agama dan menghargai budaya sebagai sumber kearifan. Kedua, melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat Nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat Manusia. Dengan demikian, bukan saja budaya boleh dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate), kalau tidak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.[17]
            Dalam Tasawuf teoritis (‘Irfan), Tuhan dipercayai sebagai Wujud Transenden, yang pada saat yang sama, bermanifestasi atau mengejawantah dalam ciptaan-ciptaan-Nya. Dengan kata lain, setiap makhluk membawa dalam dirinya nama sifat/ayat (tanda) Allah SWT. Sehingga, dalam konteks ini, Tuhan memiliki 2 sifat –paradoksal sekaligus, yaitu sifat transenden (tanzih) dan sifat imanen (tasybih) terhadap ciptaan-Nya. Dalam kaitan ini, setiap ciptaan, sesuai dengan sifat-sifat bawaannya merupakan wadah pengejawantahan Tuhan. Inilah ajaran utama dalam paham tauhid wujudi (kesatuan wujudi/eksistensial) atau wahdah al-wujud (kesatuan wujud).[18]
            Paham panteisme (tauhid wujudi) ini merupakan paham yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh para anggota Walisongo dan juga Syaikh Siti Jenar, mereka inilah para guru dari paham Panteisme tersebut. Paham ini mempunyai pengaruh yang cukup besar di Nusantara, tidak hanya di tanah Jawa, akan tetapi juga kuat pengaruhnya di luar Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya budaya yang terbentuk di bawah pengaruh agama-agama asli Indonesia seperti Kapitayan, Sunda Wiwitan, dan Kaharingan.
            Dengan mempromosikan budaya lokal Indonesia dengan keakraban Islam, tidak berarti kita kehilangan penglihatan akan adanya kemungkinan inkongruensi ajaran qath’i dengan unsur-unsur budaya lokal dalam perkembangannya sampai sekarang. Budaya lokal bisa merupakan bagian dari tajalliy Allah SWT, atau warisan keagamaan Nabi-Nabi terdahulu. Maka di sini sikap kritis-dialogis perlu dikembangkan agar keakraban agama Islam dengan budaya lokal Indonesia. Sebaliknya dari mendistorsi ajaran Islam, malah bisa jadi memperkuat akarnya dalam masyarakat.[19]
Ulama Nusantara secara tradisional menerapkan prinsip strategis untuk melaksanakan hal otentitas ajaran Islam. Mereka memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritual Islam (tasawuf), agar semangat utama agama, sebagai sumber dari cinta dan kasih sayang universal, tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa) yang berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam. Ulama Nusantara memperkenalkan mistisisme (tasawuf) dan berbagai jenis persaudaraan spiritual (tarekat) yang didirikan oleh para ulama pendahulu di Timur Tengah kepada komunitas lokal di seluruh kepulauan Hindia Timur. Ajaran mistisme Islam ini mendapatkan respons yang hangat dari penduduk lokal dan kemudian menjadi wajah yang mencirikan Islam Nusantara.[20]
            Faktanya, mistisme Islam menjadi penarik utama bagi komunitas lokal Nusantara, karena ajaran ini sejalan dengan tradisi mistik yang mendominasi kawasan ini. Dalam sebuah artikel di Strategic Review yang berjudul “Ide Besar dari Indonesia: Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” K.H. A. Mustofa Bisri dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisme Islam yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi spiritual atau warisan budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar Nusantara.

3.    Aswaja dan Islam Nusantara
     a). Aswaja
            Aswaja merupakan singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Aswaja adalah paham keagamaan yang dianut dan diajarkan oleh mayoritas ulama di dunia Islam. Aswaja merupakan paham keislaman yang sudah diajarkan oleh para ulama salaf generasi sahabat dan tabi’in, yang dikenal moderat (tawasuth, tawazun, i’tidal), dan menghindari anarki atau kekacauan dalam masyarakat.[21] Mereka ini tetap konsisten menjaga Sunnah Rasulullah dan para sahabat hingga bisa kita warisi sekarang ini. Mereka juga mendahulukan konsensus (musyawarah) dan kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam.
            Pilar pertama adalah sebutan Ahlusunnah, pilar ini membantu menjaga cara Beragama dan Islam kita tetap otentik (asli), istiqamah dan tidak melenceng kemana-mana. Pilar ini menjadi penjaga dan pengawal agar kita tetap konsisten di jalur yang benar atau dalam rel yang hakiki. Kata sunnah atau hadist menunjukan bahwa kita berdiri di atas garis-garis ajaran yang disampaikan Rasullah SAW.[22] Salah satu instrument utama yang menjaga Islam kita tetap otentik dan istiqamah adalah adanya garis sanad atau kesinambungan tak terputus dalam periwayatan hadits dan ilmu-ilmu agama hingga ke Rasulullah SAW. Para ulama kita begitu ketat dalam menjaga kesinambungan garis sanad keilmuan maupun amalan keagamaan kala mengajarkan Islam kepada para santri maupun umat.
            Pilar kedua adalah Waljama’ah, kolektifitas atau kelompok mayoritas. Ini berartikan Aswaja itu tidak cukup Sunnah. Harus ada komponen jama’ah atau umatnya. Umat Islam harus juga berjama’ah, jangan menyendiri alias egois. Karena tidak ada arti Sunnah kalau tidak ada yang mengamalkan. Yang membuat arti Sunnah dan hadits itu menjadi Sunnah adalah karena ada orang banyak yang mengamalkannya. Itulah Sunnah Rasulullah SAW, Sunnah para sahabat, dan Sunnah para tabi’in.[23] Kedua generasi terakhir ini disebut sebagai generasi ulama Salaf. Sunnah mereka merupakan penjelasan, pengamalan dan penjabaran langsung Sunnah Rasulullah. Karena generasi sahabatlah yang melihat dan bertemu langsung dengan Rasulullah.
     b). Islam Nusantara Perspektif Nahdhatul Ulama (NU)
Islam merupakan agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta, sesuai yang tercantum dalam Q.S. al-Anbiya’ ayat 107. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah SWT sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam Q.S. Thaha ayat 2, “Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar kamu menjadi susah”.[24] Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk al-Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat.[25]
Kata “Nusantara” sendiri adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuno: nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca--seorang penulis sekaligus pendeta Budhha--menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat).[26]
Pendiri Nahdhatul Ulama KH Hasyim Asyari pernah menyinggung sebuah negeri kepulauan di Asia Tenggara dengan menggunakan diksi “Negeri Jawa”. Diksi ini muncul dalam kitabnya yang berjudul Risalat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Penggunaan diksi “negeri Jawa” tersebut bukanlah ekspresi politik sektarian di tengah masyarakat Nusantara yang multikultural dan multietnis. Diksi ini hanya mengikuti kebiasaan para ulama Timur Tengah, Jazirah Arab, dan Afrika pada saat itu. Merujuk pada maksud diksi “negeri Jawa” tersebut yang mencakup wilayah Asia Tenggara, dalam sejarah kepulauan tersebut juga dikenal dengan diksi “Nusantara”.
Hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di Nusantara melalui proses yang “difusif” dan “adaptif”, dan sebagian besar sangat menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhisme sebelumnya, Islam “menyatu” dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal yang unggul di Nusantara. Islam datang sebagai tamu yang pada gilirannya menjadi bagian dari keluarga. Karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia Muslim lainnya.[27]
Di Timur Tengah misalnya, Islam secara umum dipandang sebagai sistem sosio-religio-politik yang “lengkap”, “final” dan otoritatif, yang tidak memberikan pilihan lain selain menaati aturan konstruksi final tersebut. Di sisi lain, Islam di Nusantara selalu dalam kondisi belajar terus menerus. Lebih dari 600 tahun, para pemuka agama Nusantara secara berhati-hati mempelajari realitas sosial demi memastikan cara paling elegan untuk mencapai tujuan mereka sembari menjaga harmoni dalam masyarakat yang amat pluralistik di sini.
Meskipun Islam Nusantara berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, ini bukan berarti ia membuat semacam bid’ah. Ulama kenamaan dan para pemimpin Islam di Hindia Timur pun sangat berhati-hati dan waspada dalam memastikan bahwa cara mereka mempraktikkan dan menyebarkan Islam segaris dengan ajaran fundamental dalam Islam. Dengan kata lain, model Islam Nusantara adalah turunan otentik dari Islam Ahlussunah wal Jama’ah, yang dijaga dan diajarkan oleh para ulama otoritatif.[28]
Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal (Local Wisdom) di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Para ulama telah mencoba mengadopsi kebudayaan lokal secara selektif, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.[29]
Kehadiran Islam tidak untuk menentang dan merusak tradisi yang sudah ada. Akan tetapi Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang sudah ada secara bertahap. Pertemuan antara Islam, adat, dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (pesantren), serta sistem kesultanan. Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan istilah Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara.
Islam Nusantara itu bukan “agama baru” sebagaimana yang dikhawatirkan beberapa kalangan yang sudah jenuh dengan konflik Syiah-Wahabi. Islam Nusantara juga bukan “aliran baru” seperti ketakutan beberapa orang yang telah masuk dalam pusaran pertentangan JIL-Anti JIL. Islam Nusantara merupakan wajah keislaman yang ada di kawasan Asia Tenggara, termasuk didalamnya adalah Indonesia. Ajaran Islam yang terimplementasi di tengah masyarakat yang mental dan karakternya dipengaruhi oleh struktur wilayah kepulauan. Praktik keislaman tersebut tercermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh).[30]
Banyak naskah yang sudah menunjukkan rekam jejak Islam Nusantara sebagai potret kehidupan masyarakat Muslim Nusantara. Potret masyarakat tersebut tercermin dari pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah perspektif NU yang memiliki karakter moderat, menjaga keseimbangan, dan toleran (tawassuth, tawazzun, dan tasamuh). Tiga karakter tersebut dapat dirasakan kehadirannya didalam kehidupan sehari-hari baik itu kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik.
     c) Hubungan antara Aswaja dan Islam Nusantara
            Islam Nusantara itu berpatokan pada Aswaja dalam dua pilarnya. Pertama, ada disiplin ketat mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Kedua, ada dukungan mayoritas masyarakat. Karena Islam Nusantara tidak akan mungkin hidup tanpa dukungan masyarakat yang mengamalkannya, yakni jama’ah.[31] Maka dari itu keduanya memiliki keterkaitan yang signifikan.
            Islam sebagai ajaran normatif dari sumber Al-quran dan Sunnah sebagaimana sudah diterangkan, harus diamalkan dalam bahasa Nusantara. Islam Nusantara memberikan arahan tentang cara berekonomi dan berperadaban yang spesifik dalam konteks negeri laut dan kepulauan ini. Seperti halnya penduduk padang pasir atau penduduk kutub utara punya cara sendiri pula berekonomi dan beperadaban menyiasati lingkungan alam sekitarnya yang berbeda-beda itu.
            Aswaja dan Islam Nusantara ini adalah hasil ijma ulama, bukan karangan kelompok-kelompok yang tidak jelas garis keilmuannya ke Sunnah maupun jama’ah. Ijma’ atau kesepakatan ulama itu sendiri adalah dalil ketiga dalam kerangka berpikir mazhab Syafi’i.   


[1] Djaelan Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 2
[2] Djaelan Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 2
[3] Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah, dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 41
[4] Djaelan Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 5
[5] Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah, dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 7
[6] Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah, dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 9
[7] Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 135
[8] Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 74
[9] Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 136
[10] Kitab Ahmad, Hadits nomor 8595.
[11] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Jakarta: 2006), h. 230
[12] E. Mulyasa. Standar Kompetensi Sertifikasi Guru. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007). h. 77
[13] Plimbi Editor. Apa Arti Mainstream dan Penggunaannya di Kehidupan Sehari-hari dan Teknologi?, http://www.plimbi.com/news/158536/arti-mainstream-dan-penggunaannya, diakses pada 24 Januari 2016
[14] Dikutip dari pengantar KH. Afifuddin Muhajir dalam buku Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia. Karya Ahmad Baso, 2015.
[15] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 17
[16] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 18
[17] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 176
[18] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 177
[19] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 180
[20] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 196
[21] Ahmad Baso. Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 26
[22] Ahmad Baso. Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 27
[23] Ahmad Baso. Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 28
[24] Kementerian Agama RI, Syaamil AL-Qur’an Tajwid, (Bandung: 2010), h. 312
[25] Djaelan Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 206
[26] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 191
[27] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 195
[28] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 196
[29] Djaelan Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h.219
[30] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 235
[31] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 30




BAB III
HASIL PENELITIAN
A.    Deskripsi Data
1.      PAI di UPT MKU UNJ
UPT MKU UNJ adalah Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum di kampus Universitas Negeri Jakarta. UPT MKU di serahi tugas untuk mengkoordinir Mata Kuliah Umum di tingkat Universitas. Ada beberapa mata kuliah yang dikoordinir oleh UPT MKU di UNJ.[1] Diantaranya yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Agama Non Islam (3 SKS), Pendidikan Kewarganegaraan (2 SKS), Pendidikan Pancasila (2 SKS), Bahasa Indonesia (2 SKS), Bahasa Inggris (2 SKS), Ilmu Sosial Budaya Dasar (2 SKS), Ilmu Kealaman Dasar ( 2 SKS).
UPT MKU Universitas Negeri Jakarta mempunyai Visi dan Misi dalam melaksanakan tugasnya sebagai Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum.[2] UPT MKU mempunyai dua Visi yaitu sebagai berikut :
a.       Menjadikan unit kerja yang berkualitas dan berintegritas dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran mata kuliah umum.
b.      Menjadi Unit percontohan dalam tata kelola administrasi pembelajaran pengembangan kepribadian bangsa.
Sedangkan Misi UPT MKU ada enam yaitu sebagai berikut :
a.       Melaksanakan pendidikan dan pembelajaran mata kuliah umum sesuai dengan aturan dan/atau prosedur yang berlaku dan tuntutan kemajuan jaman.
b.      Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan melalui pelatihan dosen dan pengayaan bahan ajar.
c.       Melaksanakan pelayanan administrasi pendidikan dan pembelajaran kepada civitas akademika dan unit kerja terkait dengan santun melalui pemanfaatan Teknologi.
d.      Melaksanakan pembinaan dan pelatihan staf pengajar mata kuliah umum untuk menopang pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang jujur dan profesional.
e.       Menjalin kerjasama operasional dengan pihak lain yang relevan untuk menopang pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas dan berintegritas.
f.       Mengembangkan Nilai-nilai kepribadian bangsa melalui penerbitan e-jurnal Kajian Nilai.
Itulah Visi dan Misi dari UPT MKU UNJ. Dengan Visi dan Misi tersebut diharapkan UPT MKU bisa menjalankan perannya dengan baik. Untuk menjalankan Visi dan Misi dengan baik, tentunya harus disertai manajemen yang bagus pula. Agar tercapai Visi dan Misi yang sesuai dengan keinginan, maka dibentuklah struktur organisasi UPT MKU.
Untuk menjalankan kegiatan pembelajaran, UPT MKU dibantu oleh dosen-dosen dari berbagai Jurusan/Prodi yang ada di UNJ. Dosen UPT MKU terdapat dua kategori yaitu Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap. Dosen Tetap UPT MKU berjumlah 55 orang,[3] sedangkan Dosen Tidak Tetap berjumlah 42 orang.[4] Jadi keseluruhan Dosen MKU berjumlah 97 orang. Latar belakang para dosen tersebut tentunya berbeda-beda, ada yang bergelar Magister dan juga bergelar Doktor yang semuanya masih aktif sebagai Dosen di kampus UNJ.
Pembelajaran PAI di kampus UNJ menurut UPT MKU memiliki dasar tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/U/2000. Dari Kepurusan Mendiknas tersebut lahir Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Matakuliah Perkembangan Kepbribadian (MPK) di Perguruan Tinggi. Setelah itu disusul dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 3698/D/T/2002 tentang Pelaksanaan Keputusan Dirjen Dikti diatas bagi dosen MPK dan akhirnya lahir Modul Acuan Proses Pembelajaran (MAPP).[5]
PAI dalam Kurikulum Perguruan Tinggi mempunyai kedudukan yang sama dengan matakuliah lain yang termasuk MPK inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi. Tujuan dari Pendidikan Agam Islam (PAI) dalam matakuliah di Perguruan Tinggi adalah “Mengantarkan mahasiswa sebagai modal (kapital) intelektual dalam melaksanakan proses belajar sepanjang hayat, untuk menjadi ilmuwan yang berkepribadian dewasa dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan kehidupan”.
Sedangkan tujuan pendidikan agama menurut Said Muhammad Qutub adalah untuk menyiapkan manusia yang saleh, yaitu manusia yang bertaqwa, mengabdi kepada Allah dan selalu mengikuti petunjuk-Nya. Sementara Mahmud Yunus merumuskan tujuan PAI adalah untuk menciptakan anak-anak supaya pada waktu dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan-amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan dunia akhirat. Sedangkan Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam ialah terbentuknya kepribadian Muslim.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan PAI adalah untuk membentuk manusia mulia sejati serta cakap dalam melaksanakan pekerjaan duniawi dan ukhrawi. Membentuk manusia yang berkepribadian Muslim sejati, yang berarti membentuk manusia melalui pendidikan Islam. Maka kepribadian tersebut akan menjadi ciri tertentu yang membedakan dengan kepribadian di luar orang Muslim.[6]
2.      Profil Informan
Penelitian ini dilakukan dengan wawancara intensif dikampus UNJ dengan beberapa dosen pengampu matakuliah Pendidikan Agama Islam (PAI). Dosen PAI di UNJ menurut informasi yang penulis peroleh berjumlah 20 orang. Dari 20 orang tersebut, penulis hanya memilih 6 dosen saja (30%) untuk dijadikan informan. Penulis memilih 6 dosen tersebut atas arahan dari kepala UPT MKU dan atas ketersediaan waktu dari para informan untuk dimintai wawancara.
Selain itu, alasan penulis memilih dosen-dosen tersebut dikarenakan oleh latar belakang pendidikan para informan yang konsen pendidikannya memiliki keterkaitan dengan tema dari judul penelitian ini. Penulis berpendapat bahwa dosen-dosen tersebut memiliki kualitas untuk dijadikan informan dan mempunyai pemahaman yang cukup luas terkait dengan judul penelitian. Maka dari itu, penulis memilih 6 dosen tersebut untuk dijadikan informan. 
Dosen PAI yang menjadi informan dalam penelitian ini terdiri dari 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan dengan rincian 2 orang bergelar Doktor, dan 4 orang bergelar Magister. Dosen-dosen tersebut yaitu pertama, Dr. Zakiya Darajat, M.A. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang Sejarah Pendidikan Islam. Kedua, Dr. Noor Rachmat, M.Ag. dengan latar pendidikan nya adalah dalam bidang Teologi dan Studi-studi Agama. Ketiga, Firdaus Wajdi, MA. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang Hadits. Keempat, Drs Yusuf Ismail, M.A. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang Pemikiran Islam. Kelima, Sari Narulita, Lc. M.Si. dengan latar pendidikannya adalah dalam bidang Fiqih. Dan Keenam, Abdul Fadhil, M.A. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang Sejarah Peradaban Islam.


B.     Konsep Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ
Tabel 3.1.
Pengelompokan Konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI.
NO.
NAMA DOSEN
KONSEP ISLAM NUSANTARA
TEORI
KATEGORI
1.
Zakiya Darajat
Islam Nusantara merupakan istilah baru dari “Pribumisasi Islam’ yang di gagas oleh Gusdur pada tahun 1980an. Islam Nusantara pada hakikatnya ingin menyegarkan kembali atau me“recycle” kalangan umat Islam yang menganggap bahwa ajaran Islam yang otentik hanyalah Islam yang berasal dari Arab saja. Maka Islam-Islam di Indonesia yang didalamnya ada tradisi-tradisi nenek moyang bukanlah Islam yang otentik menurut kalangan tersebut. Bisa disebut hal itu merupakan kalangan Islam yang fundamentalis
Pribumisasi Islam yang digagas oleh Gusdur
Fiqh
2.
Noor Rachmat
Islam Nusantara yaitu Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul akan tetapi berwawasan Nusantara. Berwawasan Nusantara memiliki arti bahwa Islam yang berdasarkan latar belakang dan budaya Indonesia, bukan berdasarkan budaya India, budaya Arab, dan lain-lain. Sehingga dalam pengembangan dakwah Islam di Indonesia berbeda dengan pengembangan dakwah di negara Islam lainnya. Latar belakang Islam di Indonesia berbeda dengan latar belakang Islam di negara-negara Eropa maupun di Timur Tengah.
Dr. Haidar Baghir tentang hubungan antara budaya dengan agama.
Tasawuf
3.
Firdaus Wajdi
Islam Nusantara bisa dipahami seperti kaidah bahasa Arab, dalam hal ini dipahami secara Idhofah. Islam Nusantara kalau dalam bahasa Arab strukturnya seperti Islam fii Nusantara, hanya fii nya tersebut tidak kelihatan. Jadi Islam Nusantara ini maksudnya adalah aktivitas atau aplikasi pengamalan Islam oleh orang-orang Muslim di Nusantara. Tetapi kalau ajaran Islam nya sendiri sama dengan ajaran Islam yang lain.
KH. Mustofa Bisri tentang Mistisme Islam.
Tasawuf
4.
Sari Narulita
Islam Nusantara adalah Islam dengan aplikasi penerapannya sesuai dengan budaya (Indonesia) Nusantara. Aplikasi nilai Islam menyesuaikan diri dengan budaya muslim setempat, yaitu Islam yang mudah diterima oleh siapapun dan darimanapun.
Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie tentang Fikih Indonesia
Fiqh
5.
Yusuf Ismail
Islam Nusantara yaitu Islam yang bercorak Nusantara, Islam yang bercorak budaya lokal Indonesia. Dalam hal ini budaya lokal di Indonesia berasimilasi dengan ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud disini ialah budaya lokal yang positif dan yang tidak bertentangan dengan Islam. Meskipun istilah Islam Nusantara bisa menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Karena di Indonesia (Nusantara) ini ada dua jenis budaya yaitu budaya yang disesuaikan dan ada budaya yang ditolak.
Pribumisasi Islam gagasan Gusdur
Fiqh
6.
Abdul Fadhil
Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Indonesia yang sudah bercampur dengan budaya setempat. Budaya dan Islam di Indonesia merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena keduanya sudah melebur menjadi satu menjadi sebuah tradisi. Tradisi yang dimaksud disini yaitu tradisi-tradisi Islam yang dicampuri dengan budaya seperti tahlilan dan ziarah kubur.
Pribumisasi Islam gagasan Gusdur
Fiqh

Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal (Local Wisdom) di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Para ulama telah mencoba mengadopsi kebudayaan lokal secara selektif, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Menurut Zakiya Darajat,[7] Islam Nusantara merupakan istilah baru dari “Pribumisasi Islam’ yang di gagas oleh Gusdur pada tahun 1980an. Menurut beliau, Islam Nusantara pada hakikatnya ingin menyegarkan kembali atau me“recycle” kalangan umat Islam yang menganggap bahwa ajaran Islam yang otentik hanyalah Islam yang berasal dari Arab saja. Maka Islam-Islam di Indonesia yang didalamnya ada tradisi-tradisi nenek moyang bukanlah Islam yang otentik menurut kalangan tersebut. Bisa disebut hal itu merupakan kalangan Islam yang fundamentalis.[8]
Komentar dari Zakiya Darajat tersebut sejalan dengan gagasannya Gus Dur tentang Pribumisasi Islam. Gusdur menyatakan bahwa pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam”. Tujuannya adalah bagaimana agar Islam dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan ras keadilannya, dan bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.[9]
Maka dari itu Islam Nusantara muncul untuk meluruskan polemik yang terjadi dengan menggagas Pribumisasi Islam. Bahwa adanya Islam di Indonesia dengan segala pernak-perniknya tersebut merupakan Islam. Tidak ada klaim bahwa Islam yang otentik hanyalah Islam yang berasal dari Arab.
Sedangkan menurut Sari Narulita,[10] istilah Islam Nusantara baru terkenal reputasinya akhir-akhir ini, tetapi terjadi pro kontra (menolak) dalam pemahaman dalam memaknai istilah tersebut. Pihak kontra memahaminya bagaimana Islam disesuaikan dengan budaya setempat sehingga Islam terkesan lebih rendah dibandingkan budaya, hingga hal ini berdampak pada haramnya istilah ini. Islam adalah Islam yang tidak bisa dikotak-kotakkan dengan beragam jenis dan aliran.
Sedangkan pihak yang pro (setuju) memahaminya bagaimana aplikasi nilai Islam menyesuaikan diri dengan budaya muslim setempat. Dengan pemahaman yang terakhir inilah, dipahami bahwa Islam mudah diterima oleh siapapun dan darimanapun. Bila aplikasi nilainya bisa disesuaikan dengan budaya setempat, tidak harus mengikuti budaya Arab, tempat dimana Islam pertama kali muncul. Dengan demikian, maka Islam Nusantara adalah Islam dengan aplikasi penerapannya sesuai dengan budaya (Indonesia) Nusantara.[11]
Pendapat tersebut sejalan dengan gagasan yang dilontarkan oleh Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie yaitu tentang fikih Indonesia. Yang didalamnya menyatakan bahwa fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian, tabiat, dan watak orang Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa Islam di Indonesia merupakan Islam penerapannya sesuai dengan adat dan budaya yang sudah ada di Indonesia sebelum Islam itu sendiri datang.
Selanjutnya menurut Firdaus Wajdi,[12] istilah Islam Nusantara ini muncul kembali dalam tema Muktamar NU di Jombang pada bulan Mei 2015 lalu. Istilah ini sempat menjadi perdebatan karena ada sebagian orang yang salah memahami konsep Islam Nusantara. Diantaranya ada yang memahami bahwa seakan-akan orang-orang yang ada di Indonesia dan sekitarnya yang terkenal dengan kawasan Nusantara ini ingin membuat warna Islam tersendiri yaitu Islam Nusantara.
Islam Nusantara bisa dipahami seperti kaidah bahasa Arab, dalam hal ini dipahami secara Idhofah. Islam Nusantara kalau dalam bahasa Arab strukturnya seperti Islam fii Nusantara, hanya fii nya tersebut tidak kelihatan. Jadi Islam Nusantara ini maksudnya adalah aktivitas atau aplikasi pengamalan Islam oleh orang-orang Muslim di Nusantara. Tetapi kalau ajaran Islam nya sendiri sama dengan ajaran Islam yang lain.[13]
Pendapat tersebut sesuai dengan pendapatnya KH. A. Mustofa Bisri dalam sebuah artikel tentang Mistisme (Tasawuf) yang berjudul “Ide Besar dari Indonesia: Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” K.H. A. Mustofa Bisri dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisme Islam yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi spiritual atau warisan budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar Nusantara.
Jadi Islam Nusantara ini hanyalah sebuah konsep yang menggabungkan antara ajaran Islam dengan budaya lokal di Indonesia. Budaya dan agama yang telah bercampur tersebut menjadikan sebuah tradisi yang khas yaitu tradisi Islam di bumi Nusantara atau Indonesia. Islam Nusantara ini bukan merupakan ajaran baru atau agama baru, akan tetapi Islam Nusantara ini adalah sebuah aplikasi pengamalan Islam di Indonesia.
Kemudian menurut Noor Rachmat,[14] Islam Nusantara yaitu Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul akan tetapi berwawasan Nusantara. Berwawasan Nusantara memiliki arti bahwa Islam yang berdasarkan latar belakang dan budaya Indonesia, bukan berdasarkan budaya India, budaya Arab, dan lain-lain. Sehingga dalam pengembangan dakwah Islam di Indonesia berbeda dengan pengembangan dakwah di negara Islam lainnya. Latar belakang Islam di Indonesia berbeda dengan latar belakang Islam di negara-negara Eropa maupun di Timur Tengah.
Corak Islam di Indonesia yaitu masyarakat penganut animisme, budhisme, hinduisme. Corak masyarakat yang berbeda inilah yang pada akhirnya didakwahi oleh Walisongo untuk menyebarkan Islam secara bijaksana. Makanya tidak heran kalau Islam di Indonesia sepertinya bercampur dengan budaya Budha, Hindu, ataupun Animisme. Hal tersebut merupakan bagian dari konsekuensi bercampurnya budaya dengan Islam. Sehingga Islam di Indonesia yaitu Islam yang berbasis budaya Indonesia. Sedangkan Islam di Arab berbasis Arab, Islam Eropa berbasis Eropa dan sebagainya. Jadi Islam Nusantara adalah Islam yang berbasis budaya Indonesia dan Islam Nusantara sudah ada sejak lama atau semenjak Islam masuk ke Indonesia.[15]
Islam adalah suatu nilai dan aplikasinya bisa beradaptasi selama nilai yang ditujunya masih tetap ada. Salah satu contoh aplikasi Islam Nusantara adalah tahlilan dan tujuh bulanan. Bila merunut kepada asal usul budaya, maka bisa dikatakan budaya tahlilan dan budaya tujuh bulanan adalah budaya khas Indonesia. Sebelumnya, budaya ini sarat dengan ritual religi agama tertentu, namun ketika Islam datang, budaya ini tetap ada namun tentunya dengan nilai Islami, yakni doa dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan merubah suatu budaya haruslah berproses. Perubahan terpenting adalah dari sisi substansinya, dan bukan hanya sekedar simbolnya.[16]
Pendapat tersebut sejalan dengan cara pandang Dr. Haidar Baghir tentang bagaimana memandang hubungan antara agama dengan budaya serta hubungan antara kebudayaan dan keberagaman. Menurutnya ada tiga cara yang dapat dipakai dalam memandang hal tersebut. Pertama, melihat agama dan menghargai budaya sebagai sumber kearifan. Kedua, melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat Nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat Manusia. Dengan demikian, bukan saja budaya boleh dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate), kalau tidak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.[17]
Jadi Islam Nusantara tidak bisa terlepas dari budaya dan kebudayaan yang sudah ada lebih dahulu di Indonesia. Islam datang ke Nusantara bukan untuk merubah budaya, akan tetapi Islam datang ke Nusantara untuk mengIslamkan kebudayaan tersebut. Sehingga budaya di Nusantara yang masih primitif tersebut secara perlahan-lahan dicampuri dengan ajaran Islam. Itulah wajah Islam Nusantara yang ada di Indonesia.
Sedangkan menurut Yusuf Ismail,[18] Islam Nusantara yaitu Islam yang bercorak Nusantara, Islam yang bercorak budaya lokal Indonesia. Dalam hal ini budaya lokal di Indonesia berasimilasi dengan ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud disini ialah budaya lokal yang positif dan yang tidak bertentangan dengan Islam. Meskipun istilah Islam Nusantara bisa menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Karena di Indonesia (Nusantara) ini ada dua jenis budaya yaitu budaya yang disesuaikan dan ada budaya yang ditolak.
Budaya yang ditolak tersebut berarti budaya yang berasimilasi dengan Islam. Sedangkan yang sesuai dengan budaya berarti cocok dengan Islam. Budaya yang ditolak menyangkut tentang budaya-budaya yang ada sisi akidahnya. Muatan akidahnya seperti budaya-budaya sesaji yang masih memiliki spirit lokal. Budaya praktek spiritual yang masih ada sisi mistisnya. Terutama disini dari kacamata kajian keimanan dan kajian ibadah ada yang mempunyai budaya berbeda.[19]
Meskipun begitu, beliau menyatakan bahwa Islam ya Islam. Islam yang di sifati dengan Nusantara. Jika seperti ini, dikhawatirkan kedepannya akan muncul Islam Timur Tengah dan lain-lain. Islam yang disifati dengan istilah Nusantara harus dimaknai positif. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa Islam Nusantara disini dimaknai dengan positif, meskipun ada beberapa catatan yang harus disesuaikan.[20]
Pandangan yang disampaikan oleh Yusuf Ismail tersebut hampir mirip dengan pandangannya Zakiya Darajat terkait Islam Nusantara. Pandangan mereka itu sejalan dengan ide Pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Gus Dur. Yakni Islam yang masuk tidak serta merta merubah budaya lokal masyarakat Indonesia. Tetapi menempatkan budaya sebagai cara untuk memasukkan ajaran Islam di Indonesia. Dengan begitu, Islam bisa berjalan berdampingan dengan budaya lokal yang sudah ada di masyarakat Indonesia (Nusantara).
Terakhir menurut Abdul Fadhil,[21] Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Indonesia yang sudah bercampur dengan budaya setempat. Budaya dan Islam di Indonesia merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena keduanya sudah melebur menjadi satu menjadi sebuah tradisi. Tradisi yang dimaksud disini yaitu tradisi-tradisi Islam yang dicampuri dengan budaya seperti tahlilan dan ziarah kubur.
Tradisi-tradisi seperti tahlilan dan ziarah kubur yang sudah menjadi ciri khas budaya Islam terutama di tanah Jawa tersebut tidak lepas dari pengaruh para Wali sebagai pembawa Islam ke Indonesia. Para wali tersebut menjadikan budaya yang sudah ada di masyarakat Indonesia sebagai sarana untuk menyebarkan Islam. Sehingga budaya-budaya yang ada dimasuki ajaran Islam dan kemudian hal itulah yang disebut dengan istilah Islam Nusantara.[22]
Sama halnya dengan pandangan Zakiya Darajat dan Yusuf Ismail, pandangan Abdul Fadhil tentang Islam Nusantara tersebut sejalan dengan idenya Gus Dur yaitu Pribumisasi Islam. Masuknya Islam ke Indonesia tidak lepas dari kebudayaan lokal (local wisdom) yang sudah dahulu ada. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena budaya memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan Islam di Indonesia.
Dari berbagai perspektif dosen-dosen diatas terkait Islam Nusantara, maka penulis menyimpulkan bahwa antara Islam dan Nusantara memiliki makna yang berbeda. Islam yaitu sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dirubah apalagi terkait dengan akidahnya. Sedangkan Nusantara adalah wilayah-wilayah di Indonesia yang menjadi objek pengajaran Islam meskipun terdapat banyak budaya yang sudah ada sejak dahulu.
Jadi Islam Nusantara adalah corak Islam di Indonesia yang bercampur dengan budaya yang sudah ada. Dengan kata lain, budaya-budaya yang sudah ada terlebih dahulu sebelum Islam masuk tersebut dijadikan objek para ulama yang membawa Islam dari luar untuk dicampuri dengan ajaran Islam. Bisa juga diartikan bahwa para ulama tersebut mengislamkan budaya Indonesia. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Nusantara.
Islam Nusantara ini menjadi signifikan karena pada zaman dahulu juga ada istilah Islam peri-peri dan juga Islam Central (Sentral). Islam Sentral ini maksudnya adalah Islam yang berasal dari area dimana dia bermula yaitu Timur Tengah khususnya Arab Saudi. Sebenarnya hal ini merupakan isu tentang orisinalitas dan otentisitas Islam, yakni bagaimana Islam itu dipandang sebagai sesuatu yang otentik.[23]
Ada anggapan bahwa Islam yang otentik itu adalah Islam yang berasal dari sumbernya yaitu Timur Tengah (Arab). Sehingga semua yang berasal dari Timur Tengah (Arab) itu dianggap otentik. Akibatnya semua yang bukan berasal dari Timur Tengah (Arab) dianggap kurang otentik. Ada semacam kesan peminggiran, bahwa Islam yang berasal dari non-Timur Tengah (Arab) dianggap sebagai Islam yang kurang otentik, kurang original, kurang bagus, dan seterusnya.
Islam adalah suatu nilai dan aplikasinya bisa beradaptasi selama nilai yang ditujunya masih tetap ada. Salah satu contoh aplikasi Islam Nusantara adalah tahlilan dan tujuh bulanan. Bila merunut kepada asal usul budaya, maka bisa dikatakan budaya tahlilan dan budaya tujuh bulanan adalah budaya khas Indonesia. Sebelumnya, budaya ini sarat dengan ritual religi agama tertentu, namun ketika Islam datang, budaya ini tetap ada namun tentunya dengan nilai Islami, yakni doa dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan merubah suatu budaya haruslah berproses. Perubahan terpenting adalah dari sisi substansinya, dan bukan hanya sekedar simbolnya.[24]
Islam di Indonesia yang mempunyai ritual seperti tahlilan, maulid dan lain-lain merupakan bagian dari wajah Islam yang ada di Indonesia (Nusantara). Ritual-ritual seperti itu merupakan bagian dari pelestarian tradisi nenek moyang terdahulu. Jika kalangan yang lain menganggap bahwa sesuatu yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Hadits adalah bid’ah. Sedangkan bagi kalangan Nahdiyyin, tradisi-tradisi seperti yang disebutkan diatas bisa diterima asalkan sesuai dengan syariat Islam.[25]
Sebenarnya hal tersebut akan membuat masyarakat Islam bertengkar dan terpecah. Ketika ada gagasan baru yang menurut sebagian kelompok tertentu menurutnya tidak bagus, maka gagasan tersebut dikatan bid’ah. Padahal budaya seperti tahlilan, maulidan, tujuh bulanan bayi dan lain sebagainya itu merupakan budaya Islam yang memiliki makna tertentu menurut ulama-ulama yang mencetuskannya.
Filosofinya adalah bahwa ajaran-ajaran Islam banyak mengadopsi tradisi-tradisi pra-Islam. Salah satu contohnya yaitu tentang praktek poligami. Pada zaman dulu sebelum Islam datang, seorang laki-laki dibolehkan menikah dengan banyak perempuan. Akan tetapi setelah Islam datang hanya diperbolehkan menikahi empat orang perempuan. Sama juga dengan ritual dalam pelaksanaan haji yaitu Thawaf, Sa’I, dan lain-lain.[26]
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa masuknya Islam ke Indonesia (Nusantara) yang dilakukan dengan cara mengislamkan budaya setempat bisa diterima dan diperbolehkan. Budaya yang sudah ada tidak dihapus begitu saja. Akan tetapi budaya yang ada diadopsi dengan cara Islam dan pada akhirnya terciptanya sebuah budaya baru yaitu budaya Islam.
Hal semacam itu bisa dilihat dari konsepnya Nahdhatul Ulama (NU) yaitu “Almukhaafadhotu ‘alal qodiimissholih wal ‘akhdu biljadiidil aslaah”. Konsep tersebut merupakan kaidah yang berkaitan dengan munculnya Islam Nusantara. Maksud dari kaidah tersebut yaitu mengambil hal-hal lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang bagus juga. Maka para tokoh setempat yang menggabungkan budaya setempat (lokal wisdom) bisa jadi merupakan pembawa tradisi.[27]
Islam ini merupakan agama yang universal (global). Ketika ada kelompok-kelompok yang mengkotak-kotakkan seperti munculnya Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, dan lain-lain, maka dikhawatirkan orang akan menolaknya. Narasumber sebenarnya tidak menerima keseluruhan konsep Islam Nusantara, ada beberapa hal yang masih dipertimbangkan didalamnya. Hal-hal yang disetujui oleh narasumber yakni konsep seperti kearifan lokal (local wisdom) dan pribumisasi Islam. Akan tetapi terkait visi Islam Nusantara yang ingin menduniakan Islam Nusantara, beliau tidak setuju.[28]
Menurut perspektif Zakiya Darajat, konsep yang diterapkan dalam gagasan Islam Nusantara tidak semuanya ia terima. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dari gagasan tersebut. Salah satunya yaitu terkait visi dari gagasan Islam Nusantara yang menurutnya terkesan ingin memaksa semua masyarakat Islam di dunia setuju dengan gagasan Islam Nusantara. Padahal Islam Nusantara ini seharusnya hanya diperuntukkan oleh masyarakat Islam di Indonesia yang merupakan wilayah Nusantara.
Kemudian terkait munculnya gagasan Islam Nusantara, Zakiya Darajat mengatakan bahwa istilah tersebut muncul untuk meluruskan pemikiran tentang Islam otentik yang berasal dari Arab. Jadi terhadap kalangan yang menggunakan istilah-istilah Arab, mereka merasa lebih Islami. Padahal itu merupakan ekspresi keberagamaan yang terjadi di kalangan sebagian umat Islam di Indonesia.[29]
Sedangkan Noor Rachmat mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan saat ini terdapat macam-macam model Islam di Indonesia. Ada Islam Syi’ah, Wahabi, Salafi, dan lain-lain. Islam yang seperti itu merupakan Islam yang masuk dari luar (Impor) dan model Islam yang seperti itu pasti mempunyai pengaruh terhadap budaya. Padahal hal itu bisa disebut dengan Islam Arab, bukan Islam Indonesia (Nusantara) yang semestinya ada. Jadi berbeda cara dan metodenya.[30]
Kedua pandangan tersebut menurut penulis mempunyai kesamaan dari segi latar belakang munculnya gagasan istilah Islam Nusantara. Keduanya sama-sama menyatakan bahwa Islam nya orang Arab tidak mesti menjadi patokan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena Islam orang Arab dengan Indonesia mempunyai perbedaan dari segi karakter masyarakatnya. Jadi orang Islam di Indonesia tidak harus mengikuti semua pengaruh budaya dari Arab atau Arabisasi dan juga model-model Islam dari Arab.
Jika ditinjau dari segi Teologis, Islam Nusantara merupakan Islam seperti Asy’ariyah yang berkaitan dengan Islam yang banyak toleran. Jadi Islam Nusantara secara Teologis adalah Islamnya Asy’ariyah, tetapi secara fiqh adalah Islam yang mengikuti madzhab Syafi’iyah. Maka yang paling cocok di Indonesia adalah Islam yang teologisnya mengikuti Asy’ariyah dan kemudian secara fiqh mengikuti madzhab Syafi’iyah.[31]
Meskipun sudah menjadi masa lalu, akan tetapi sekarang hal tersebut bisa saja sudah meningkat menjadi teologi Mu’tazilah setelah melihat Islam Syafi’I atau Islam Asy’ariyah di Indonesia tidak pernah berkembang dan cenderung semakin mundur. Boleh juga umat Islam mulai dikenalkan dengan teologi Mu’tazilah atau teologi Qodariyah.[32]
Kalau hal itu memang bisa menggugah orang Indonesia untuk maju, maka pemikirannya Noor Rachmat tersebut diperlukan. Karena orang Indonesia dari zaman merdeka sampai saat ini belum bisa apa-apa. Jangankan mau membuat teknologi, mau memberi makanan kepada masyarakatnya sendiri saja belum bisa. Sebagian besar bahan  makanan pokok Indonesia merupakan Impor dari luar. Hal tersebut merupakan salah satu contoh terkait makanan, belum tentang hal yang lainnya.
Sedangkan menurut Firdaus Wajdi, berkaitan dengan dasar teologis Islam Nusantara, beliau mengatakan bahwa hal tersebut bisa dilihat dari sebuah kisah sahabat Rasul. Yaitu kisah tentang seorang sahabat yang diutus ke sebuah daerah tertentu untuk dijadikan khalifah disana. Sahabat ini kemudian ditanya oleh Rasulullah SAW dengan pertanyaan “Jika kamu nanti menemukan masalah, bagaimana kamu menyelesaikannya?”. Lalu sahabat tadi menjawab, “Saya akan mencari jawabannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits”. Rasul bertanya kembali, “Kalau misalnya tidak ada bagaimana?”. Sahabat tersebut menjawab, “Saya akan berijtihad”.[33]
Dari kisah diatas bisa diartikan bahwa Islam melihat dari segi konteks. Jadi Islam yang berkembang, Islam yang diterapkan oleh komunitas Muslim di wilayah yang berbeda dengan kasus-kasus yang berbeda itu akan dijadikan konteks yang bisa mendasari bagaimana hukum Islam bisa berjalan. Jadi Islam itu melihat keadaan atau suatu kasus yang terjadi dalam wilayah tertentu
Kemudian secara sosiologis, Indonesia memiliki sejarah panjang. Muslim di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Jika dilihat dari Ustadz-Ustadznya memang mereka dulu belajar dari Mekah. Tetapi kemudian mengajar di komunitas Muslim yang dulunya memiliki latar belakang Hindu-Budha. Jadi tentu ada penyesuaian-penyesuaian dan juga ada pembauran.[34]
Dalam bahasa sosiologi agama, ada yang namanya Sinkretisme atau irisan antara konteks budaya yang sudah berkembang di Indonesia dengan konteks agama Islam yang dibawa dari Arab Saudi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang kaya. Islam dengan pengaruh sosiologi yang sudah ada di Indonesia sebelum Islam itu sendiri datang.

C.    Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam Pembelajaran PAI
Tabel 3.2.
Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara.
NO
NAMA DOSEN
METODE
1.
Zakiya Darajat
Diskusi dengan cara memasukkan gagasan Islam Nusantara kedalam pembahasan materi kuliah BAB Seni dan Budaya, yang didalamnya membahas tentang kearifan lokal (local wisdom) dan juga menyinggung tentang Pribumisasi Islam.
2.
Sari Narulita
Dengan cara memasukkan sejarah-sejarah Islam di Indonesia tentang bagaimana awal masuknya Islam dan sebagainya kedalam silabus mata kuliah PAI. Salah satu materi yang bisa menerangkan konsep Islam Nusantara yaitu Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Selain itu juga bisa disisipkan dalam materi Seni dan Budaya dalam Islam.
3.
Firdaus Wajdi
Dengan cara melakukan diskusi-diskusi akademik didalam kelas maupun dalam kegiatan-kegiatan seminar. Diskusi di kelas bisa dilakukan dalam pembahasan materi Seni dan Budaya dalam Islam yang didalamnya membahas Pribumisasi Islam dan Kearifan Lokal. Sedangkan dalam kegiatan seminar bisa dilakukan dengan cara memilih tema seminar yang berkaitan dengan Islam Nusantara.
4.
Noor Rachmat
Pembahasan kearifan lokal (local wisdom) yang membahas kehidupan masyarakat Indonesia sejak sebelum Islam masuk dengan segala penerapan berkehidupan lokalnya. Kemudian juga dengan menyampaikan materi Seni dan Budaya yang didalamnya menjelaskan tentang bagaimana Islam dibawa masuk oleh Walisongo dengan menggunakan kesenian Jawa. Selain itu juga menjelaskan tentang beragamnya budaya Islam yang ada di Indonesia.
5.
Yusuf Ismail
Dengan menyinggung materi-materi yang berkaitan dengan Islam Nusantara didalam pembelajaran di kelas seperti materi Seni dan Budaya, Teknologi dan Islam, dan materi lainnya.
6.
Abdul Fadhil
Melakukan pembelajaran dikelas dengan cara memasukkan ide atau gagasan Islam Nusantara kedalam materi kuliah pada BAB Seni dan Budaya yang didalamnya menjelaskan bahwa di Indonesia banyak budaya masyarakat yang bercampur dengan Islam.

Munculnya istilah Islam Nusantara di Indonesia bisa memberikan dampak untuk pembelajaran PAI. Salah satu dampaknya yaitu dalam diskusi perkuliahan PAI di kelas terkait pemikiran-pemikiran. Biar bagaimanapun, tidak boleh mengidentikkan Arab dengan Islam. Kalau ada ungkapan Islam itu dari Arab, hal itu bisa dibenarkan. Akan tetapi harus juga mengapresiasi pemikiran tentang kearifan lokal (local wisdom) dan pribumisasi Islam yang ada di Indonesia.[35]
Zakiya Darajat berpendapat bahwa mata kuliah PAI secara tidak langsung akan terkena dampak dari munculnya istilah Islam Nusantara. Karena gagasan tentang Islam Nusantara tersebut bisa dijadikan bahan diskusi dalam perkuliahan. Salah satu caranya yaitu dengan memberikan penjelasan terhadap mahasiswa terkait pro dan kontra nya Islam Nusantara yang sedang menjadi polemik di tengah umat Islam khususnya di Indonesia. Perdebatan mengenai polemik tersebut bisa dilakukan dalam diskusi saat perkuliahan berlangsung.
Metode diatas merupakan salah satu cara untuk mengintegrasikan Islam Nusantara terhadap pembelajaran PAI, Zakiya Darajat menyatakan bahwa hal tersebut tidak harus dipaksakan. Akan tetapi sebenarnya gagasan Islam Nusantara tersebut bagus. Meskipun begitu harus dijelaskan dalam pembelajaran mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk diterapkan.[36]
Diskusi atau pembahasan mengenai Islam Nusantara tersebut bisa dimasukkan kedalam pembahasan materi seni dan budaya, yang didalamnya membahas tentang kearifan lokal (local wisdom) dan juga menyinggung tentang pribumisasi Islam. Dua hal tersebut mempunyai keterkaitan dengan Islam Nusantara. Kearifan lokal (local wisdom) dan pribumisasi Islam merupakan bagian dari unsur-unsur yang terdapat dalam gagasan Islam Nusantara.
Sedangkan menurut Sari Narulita, integrasi Islam Nusantara dalam pembelajaran PAI dimulai dengan analisis kritis akan budaya yang selama ini dijalankan, apakah sesuai dengan Islam ataukah justru bertentangan. Bahkan, untuk menelaah lebih dalam, terkadang perlu dipelajari tentang sejarah dan kronologi suatu budaya, hingga bisa diyakini mana budaya yang baik dijalankan karena selaras dengan ajaran Islam dan budaya mana yang tampaknya sangat bertolakbelakang dengan nilai-nilai Islam.[37]
Dengan kekritisan inilah, maka mahasiswa tidak hanya sekedar menjalankan suatu budaya sebagai suatu kebiasaan yang turun menurun tanpa dipahami filosofinya. Namun menjalannya dengan penuh kesadaran bahwa dengan berbudaya, sekaligus menjalankan perintah Allah, Sang Pencipta. Hal tersebut akan membuat kita sadar bahwa budaya yang dilakukan tersebut merupakan budaya yang sudah bercampur dengan Islam.
Mengenai munculnya gagasan Islam Nusantara oleh NU, hal tersebut dikarenakan aplikasi Islam yang dilakukan oleh orang-orang di Indonesia dan sekitarnya memiliki kontribusi yang perlu dipelajari dan menjadi contoh untuk melihat bagaimana Islam diterapkan di masyarakat Muslim. Tidak selalu yang menjadi contoh adalah masyarakat Muslim yang ada di Saudi Arabia. Akan tetapi juga bisa masyarakat Muslim di luar area Saudi Arabia.[38]
Salah satu contohnya adalah di Indonesia atau bisa disebut dengan area Nusantara. Masayarakat Muslim di Indonesia menerapkan nilai-nilai Islam yang lembut, toleran, dan gotong royong. Toleransi antar umat beragama yang terjadi di Indonesia berjalan dengan baik tanpa adanya konflik yang besar. Itu merupakan beberapa contoh aplikasi Islam oleh orang-orang Muslim di daerah Indonesia (Nusantara).
Hal ini menjadi penting karena daerah Nusantara memiliki latar belakang secara konteks sosial yang berbeda, kemudian bisa memberikan warna yang berbeda seperti penerapan demokrasi. Selain itu juga ada penerapan hukum Islam yang bersanding dengan hukum Negara. Jadi sebenarnya banyak contoh yang bisa dijadikan pelajaran.[39]
Maka dari itu, konsep Islam Nusantara tidak bisa begitu saja dimasukkan kedalam pembelajaran PAI. Akan tetapi bisa dilakukan dengan cara memasukkan sejarah-sejarah Islam di Indonesia tentang bagaimana awal masuknya Islam dan sebagainya kedalam silabus mata kuliah PAI. Salah satu materi yang bisa menerangkan konsep Islam Nusantara yaitu Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Selain itu juga bisa disisipkan dalam materi Seni dan Budaya dalam Islam.[40]
Dalam materi tersebut, dosen bisa menjelaskan tentang penerapan hukum Islam yang dilegalkan oleh Negara. Contoh kasusnya adalah penerapan hukum Islam di daerah Aceh. Kemudian tentang Lembaga Ekonomi Islam yang bisa berdiri secara legal dan diakui serta memberikan kontribusi yang signifikan. Beberapa contohnya yaitu Lembaga Badan Amil Zakat, Perbankan Islam (Syariah) yang bisa duduk bersanding dengan sistem perekonomian konvensional.
Penerapan hukum-hukum Islam seperti itulah yang bisa dilakukan dan dimasukkan dalam konsep pembelajaran PAI. Karena saat ini dalam kurikulum PAI yang sedang diterapkan tidak ada materi khusus yang menjelaskan tentang konsep Islam Nusantara. Maka dari itu tidak serta merta konsep Islam Nusantara dimasukkan kedalam kurikulum pembelajaran PAI di UNJ. Meskipun mahasiswa Muslim di kampus perlu melakukan diskusi terkait isu yang sedang berkembang di masyarakat, salah satunya yaitu Islam Nusantara.
Mahasiswa Muslim Indonesia hendaknya sadar serta memahami keterkaitan antara Islam sebagai substansi dan budaya sebagai simbolis. Dengan demikian, maka bisa dipahami secara kritis hubungan keduanya. Kemudian mahasiswa tidak mudah mengkafirkan orang yang mencoba menerapkan nilai Islam sesuai dengan budayanya ataupun hanya memahami Islam sebagai budaya Arab semata.[41]
Saat ini kita bisa melihat dikampus sendiripun sudah banyak mahasiswa yang mengikuti budaya berpakaian Arab seperti memakai celana diatas mata kaki. Selain itu juga tidak sedikit pula mahasiswa yang mengikuti budaya berpakaian Indonesia seperti batik. Akan tetapi dari pengamatan penulis, mereka belum bisa saling menerima adanya perbedaan tersebut. Mereka memiliki keyakinan yang kuat dengan argumennya masing-masing. Hal semacam inilah yang harus dipahami secara bersama bahwa ada keterkaitan antara Islam dan budaya.
Terkait dengan cara mengintegrasikan antara Islam Nusantara dengan PAI, Firdaus Wajdi berpendapat hal itu bisa dilakukan dengan cara diskusi-diskusi dalam pembelajaran di kelas. Dalam diskusi tersebut mahasiswa bisa mengkaji terkait masalah-masalah kontemporer yang terjadi dan tentang masyarakat Islam di Indonesia yang menjadi rujukan. Sekali-kali juga bisa dilakukan dengan turun langsung ke masyarakat untuk melihat aplikasi Muslim di Indonesia dalam merespon dan menunjukkan karakteristik Islam Nusantara.[42]
Beliau juga berpendapat bahwa walaupun secara kuantitas atau jumlah, Muslim di Indonesia lebih banyak daripada jumlah Muslim di Jazirah Arab dan sekitarnya, akan tetapi Islam di Indonesia dianggap kurang relevan. Sehingga melalui wacana Islam Nusantara mencoba mengangkat bahwa aplikasi yang dilakukan oleh orang-orang Muslim di Indonesia banyak memiliki kelebihan dan elemen-elemen yang bisa menjadi pelajaran buat semuanya.[43]
Misalnya tentang bagaimana orang Islam melaksanakan demokrasi. Kalau dahulu ada anggapan bahwa nilai-nilai Islam bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau demokrasi bertentangan dengan Islam. Ternyata kenyataannya tidak harus seperti itu. Buktinya di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim, penerapan demokrasinya berjalan dengan baik. Di Indonesia demokrasi yang terjadi tidak seperti demokrasi yang ada di negara-negara Muslim lainnya yang lebih banyak berkonflik.
Kemudian berkaitan dengan metode pengarusutamaan Islam Nusantara dalam pembelajaran PAI di UNJ, beliau berpendapat bahwa hal tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan diskusi-diskusi akademik didalam kelas maupun dalam kegiatan-kegiatan seminar. Diskusi di kelas bisa dilakukan dalam pembahasan materi Seni dan Budaya dalam Islam yang didalamnya membahas Pribumisasi Islam dan Kearifan Lokal. Sedangkan dalam kegiatan seminar bisa dilakukan dengan cara memilih tema seminar yang berkaitan dengan Islam Nusantara.
Selanjutnya menurut Noor Rachmat, munculnya Islam Nusantara berarti mata kuliah PAI harus memiliki kepentingan. Buku pedoman mata kuliah PAI yang lama harus diperbaiki, harus merujuk kepada Islam yang Rahmatan Lil’alamin. Islam yang ramah lingkungan, Islam yang tidak mencela orang lain, Islam yang toleran bukan hanya kepada orang lain tetapi juga kepada kelompok-kelompok dan aliran-aliran lain.[44]
Saat ini umat Islam terjebak dengan istilah Takfir atau mudah mentakfirkan kelompok yang tidak sama dengan kelompok tertentu. Padahal itu bukan tradisi Indonesia (Nusantara), sedangkan tradisi Nusantara yaitu toleran. Saling menghormati dan menerima tradisi Islam yang dilakukan oleh kelompok Islam selain kelompoknya. Tidak mudah mengeluarkan pendapat bid’ah untuk kelompok lain dan lain sebagainya. Karena itu bukanlah tradisi kehidupan dalam umat Islam di Indonesia.
Terkait memasukkan konsep Islam Nusantara dalam pembelajaran PAI, Noor Rachmat menyatakan bahwa istilah Islam Nusantara merupakan istilah yang baru muncul jadi belum bisa dimasukkan kedalam pembelajaran PAI. Akan tetapi sebenarnya dari awal pembelajaran PAI para dosen telah menyajikan materi pendidikan agama Islam versi Indonesia. Yang mana hal itu bisa disebut dengan Islam Nusantara itu sendiri.[45]
Salah satu contohnya yaitu materi tentang kearifan lokal (local wisdom) yang membahas tentang kehidupan masyarakat Indonesia sejak sebelum Islam masuk dengan segala penerapan berkehidupan lokalnya. Kemudian juga ada materi tentang seni dan budaya yang didalamnya menjelaskan tentang bagaimana Islam dibawa masuk oleh Walisongo dengan menggunakan kesenian Jawa. Selain itu juga menjelaskan tentang beragamnya budaya Islam yang ada di Indonesia.
Meskipun begitu, secara tekstual pembelajaran PAI saat ini baru sampai pada kearifan lokal. Padahal maksudnya setiap tema mestinya mengarah ke Islam Nusantara yang Rahmatan Lil ‘Alamin, termasuk juga tentang toleransi, demokrasi, dan HAM. Hal tersebut menjadi catatan bagi dosen PAI bahwa kedepannya pembahasan terkait Islam Nusantara yang Rahmatan Lil ‘Alamin harus mendapatkan porsi yang lebih banyak daripada saat ini.[46]
Senada dengan Noor Rachmat, menurut Yusuf Ismail PAI juga mempunyai urgensi atau kepentingan yang berkaitan. Dikarenakan dalam pembelajaran PAI menyinggung materi tentang Islam Nusantara seperti seni dan budaya, teknologi dan Islam, dan lain sebagainya. Jadi dalam konteks formal, PAI berkepentingan dengan munculnya Islam Nusantara tersebut.[47] Metode yang diterapkan dalam mengarusutamakan Islam Nusantara yaitu dengan menyinggung materi-materi yang berkaitan dengan Islam Nusantara didalam pembelajaran di kelas seperti materi Seni dan Budaya, Teknologi dan Islam, dan materi lainnya.
Kedatangan Islam di Indonesia tidak menghapus budaya Islam yang sudah ada. Kedatangannya menyempurnakan budaya yang belum sempurna. Tidak hanya itu, kedatangannya juga untuk meluruskan budaya yang belum lurus atau salah. Selain meluruskan budaya, kedatangan Islam di Nusantara juga untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa ada beberapa budaya lokal yang bertentangan dengan syariat ajaran Islam.
Terakhir terkait munculnya Islam Nusantara, menurut Abdul Fadhil PAI memiliki kepentingan. Karena dalam mata kuliah PAI ada beberapa materi yang berkaitan dengan Islam Nusantara. Salah satu contohnya bisa dilihat dari materi tentang seni dan budaya. Dalam materi tersebut menjelaskan bahwa di Indonesia banyak sekali budaya yang bercampur dengan Islam. Di pulau Jawa ada budaya yang sudah menjadi tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, dan lain-lain.[48]
Dari materi yang ada dalam pembelajaran PAI seperti materi Seni dan Budaya dalam Islam, bisa digunakan Dosen untuk menjelaskan tentang Islam Nusantara. Dosen PAI dapat menjelaskan bahwa Islam yang ada di Indonesia (Nusantara) berbeda dengan Islam yang ada di Arab atau negara-negara Islam di Timur Tengah. Jadi metode yang bisa diterapkan untuk mengarusutamakan Islam Nusantara adalah melakukan pembelajaran dikelas dengan cara memasukkan ide atau gagasan Islam Nusantara kedalam materi kuliah pada BAB Seni dan Budaya yang didalamnya menjelaskan bahwa di Indonesia banyak budaya masyarakat yang bercampur dengan Islam.
Dari pendapat-pendapat dosen PAI diatas bisa disimpulkan bahwa ada beberapa metode yang bisa dilakukan untuk mengarusutamakan gagasan Islam Nusatara. Sebagian besar dosen berpendapat bahwa metode yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan pembelajaran di kelas melalui diskusi-diskusi tentang materi Seni dan Budaya Islam, Ekonomi Islam,  Teknologi dan Islam, serta Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Materi-materi tersebut bisa disangkutpautkan dengan gagasan Islam Nusantara karena didalamnya membahas tentang kearifan lokal budaya di Indonesia, pribumisasi Islam, dan lain sebagainya.
Selain melalui diskusi dikelas tersebut, metode pengaursutamaan Islam Nusantara sudah dilakukan dengan membuat kegiatan seminar. Seminar yang dilakukan tentu merupakan seminar-seminar yang memiliki tema berkaitan dengan Islam Nusantara. Hal ini dilakukan agar pengarusutamaan Islam Nusantara tidak hanya dilakukan dalam pembelajaran PAI. Akan tetapi para dosen PAI bisa memberikan pemahaman tentang Islam Nusantara tersebut dengan metode yang berbeda.

D.    Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen PAI UNJ
Tabel 3.3.
Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen
NO.
NAMA DOSEN
PENGARUSUTAMAAN ISLAM NUSANTARA
MATERI PAI
1.
Zakiya Darajat 
Jelas sudah mengarusutamakan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI. Hal tersebut bisa dilihat dari pembelajaran dikelas pada saat dosen menyampaikan materi.
-          Seni dan Budaya dalam Islam.
2.
Firdaus Wajdi
Sudah mengarusutamakan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI. Misalnya dalam pertemuan kuliah sub materi Ekonomi Islam. Dari sub materi tersebut bisa dilihat dari aplikasi keberIslaman oleh orang-orang Musim di Indonesia. Selain itu juga dalam materi Islam dan Budaya, yang menjelaskan tentang masuknya Islam ke Indonesia dengan cara pemakaian budaya yang sudah ada di Indonesia
-          Ekonomi Islam.
-          Seni dan Budaya dalam Islam.
3.
Noor Rachmat
Secara tekstual pembelajaran PAI belum mengarusutamakan Islam Nusantara. Akan tetapi kedepannya harus diusahakan untuk berkontribusi. Meskipun secara tidak langsung sebenarnya pembelajaran PAI sudah mengrusutamakan Islam Nusantara. Hal tersebut bisa dilihat dari pembelajaran dikelas mengenai kerukunan, toleransi, kearifan lokal, dan lain sebagainya. Jadi secara non-tekstual mata kuliah atau pembelajaran PAI sudah mengarusutamakan Islam Nusantara.
-          Kerukunan dan Toleransi
-          Kearifan Lokal (Local Wisdom)
4.
Sari Narulita
Pembelajaran PAI Sudah mengarusutamakan Islam Nusanara. Meskipun pengarusutamaannya tersebut belum terlalu signifikan. Kontribusi yang ada yaitu baru sebatas dalam memilah antara yang selaras dan yang tidak selaras dalam Islam. Hal tersebut dilihat dari hasil pembelajaran PAI dalam pembahasan materi.
-          Seni dan Budaya dalam Islam
5.
Yusuf Ismail
Pembelajaran PAI memiliki peran  dalam pengarusutamaan Islam Nusantara. Hal tersebut dilihat dari pembelajaran PAI di kelas melalui interaksi, evaluasi dan hasil belajar mahasiswa setelah pembelajaran materi.
-          Seni dan Budaya dalam Islam
6.
Abdul Fadhil
Pembelajaran PAI sudah jelas mengarusutamakan Islam Nusantara meskipun sangat sedikit porsinya. Walaupun menurutnya porsi yang terdapat dalam buku panduan pembelajaran sangat sedikit, tetapi dalam prakteknya mata kuliah  PAI tersebut memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam pengarusutamaan Islam Nusantara. Hal itu dikarenakan didalam beberapa materi PAI disinggung lumayan banyak hal terkait Islam Nusantara seperti materi tentang Seni dan Budaya dalam Islam.
-          Seni dan Budaya dalam Islam

Secara khusus PAI tidak menanamkan model Islam Nusantara dalam pembelajarannya. Menurut Abdul Rahman Hamid,[49] mata kuliah PAI diarahkan kepada individu masing-masing mahasiswa. Beliau juga mengatakan bahwa mata kuliah PAI di UNJ bukan lagi menjadi jembatan bagi mahasiswa untuk menghafal al-Qur’an, mengajarkan tata cara sholat, dan lain sebagainya. Akan tetapi mata kuliah PAI di UNJ lebih condong dengan diskusi-diskusi mendalam tentang bagaimana perkembangan Islam kedepan, bagaimana hubungan antara Muslim dengan non-Muslim, bagaimana memposisikan UNJ dalam memperkuat Islam kedepan, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang harus didiskusikan dalam pembelajaran tentang bagaimana menyikapi isu-isu tersebut.[50]
Hal tersebut berarti matakuliah PAI di kampus UNJ bukan lagi sebagai sarana untuk mempelajari dasar-dasar ajaran agama Islam. Tetapi matakuliah PAI di UNJ lebih kepada sarana untuk berdiskusi mendalam terkait isu terkini yang berkembang dan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat terutama kalangan Muslim. Dengan begitu pembelajaran PAI dapat mengarusutamakan isu-isu terkini yang tengah terjadi di masyarakat, tak terkecuali Islam Nusantara.
Menurut Zakiya Darajat, pembelajaran PAI dalam mengarusutamakan Islam Nusantara jelas sudah memberikan kontribusi. Akan tetapi terkait penerimaan mahasiswa terhadap Islam Nusantara, sepenuhnya diserahkan kepada mahasiswa itu sendiri untuk menerima atau menolak. Sedangkan dosen tidak mempunyai kewajiban untuk memaksa.[51]
Dosen menyampaikan kepada mahasiswa hanya terkait isu yang sedang terjadi di masyarakat. Salah satu contohnya yaitu terkait munculnya gagasan Islam Nusantara tersebut. Meskipun dalam buku panduan pembelajaran PAI disinggung unsur-unsur yang berkaitan dengan Islam Nusantara seperti seni dan budaya dalam Islam, akan tetapi dosen tidak boleh memaksa mahasiswa untuk menerima gagasan tersebut.
Kemudian menurut Firdaus Wajdi, pembelajaran PAI di UNJ sudah mempunyai kontribusi dalam menanamkan atau mengarusutamakan Islam Nusantara. Misalnya dalam pertemuan kuliah sub materi Ekonomi Islam. Dari sub materi tersebut bisa dilihat dari aplikasi keberIslaman oleh orang-orang Musim di Indonesia. Selain itu juga dalam materi Islam dan Budaya, yang menjelaskan tentang masuknya Islam ke Indonesia dengan cara pemakaian budaya yang sudah ada di Indonesia.[52]
Dari pendapatnya tersebut, beliau ingin menjelaskan bahwa pembelajaran PAI di UNJ sudah memberikan kontribusi dalam mengarusutamakan Islam Nusantara. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa materi yang disampaikan oleh dosen dalam pembelajaran dikelas. Materi tentang Islam dan Budaya, Ekonomi Islam memiliki kaitan dengan Islam Nusantara secara umum. Percampuran antara budaya dan Islam di Indonesia merupakan dua hal yang saling berkaitan ketika membicarakan Islam Nusantara.
Sedangkan menurut Noor Rachmat, pembelajaran PAI secara tekstual belum memberikan kontribusi dalam pengarusutamaan Islam Nusantara. Akan tetapi kedepannya harus diusahakan untuk berkontribusi. Meskipun secara tidak langsung sebenarnya mata kuliah PAI sudah memberikan kontribusi. Hal tersebut bisa dilihat dari pembelajaran dikelas mengenai kerukunan, toleransi, kearifan lokal, dan lain sebagainya. Jadi secara non-tekstual mata kuliah PAI sudah memberikan kontribusi.[53]
Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh Noor Rachmat, yakni belum berkontribusi dan sudah berkontribusi. Meskipun begitu, beliau lebih condong terhadap pendapat keduanya yaitu sudah memberikan kontribusi. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataannya mengenai materi-materi PAI yang diajarkan dikelas seperti kerukunan, toleransi, kearifan lokal. Materi-materi tersebut adalah bagian dari unsur gagasan Islam Nusantara.
Dalam mengintegrasikan Islam Nusantara dengan pembelajaran PAI di kelas, Noor Rachmat mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang mudah. Pada saat pembelajaran mengenai Islam di kelas maka secara otomatis akan berbicara tentang Islam Nusantara karena mahasiswa dan dosen tersebut adalah orang Indonesia (Nusantara). Tidak mungkin dalam pembelajaran di kelas akan membicarakan orang lain, menghujat orang lain, bahkan menghina orang lain.[54]
 Ada sebuah prinsip yang menyatakan bahwa Islam dikaji dan dipelajari sampai 100 tahun pun tidak akan membuat orang menjadi jenius. Semua orang yang mempelajari Islam akan selalu dalam posisi belajar terus menerus. Jadi mempelajari Islam tidak akan ada habisnya. Setiap saat persoalan umat Islam akan berubah-ubah sesuai perkembangan zaman.
Maka dari itu jika ada orang atau kelompok yang berani mengecap orang atau kelompok yang lain kafir berarti mereka ini orang-orang yang sudah sangat tinggi ilmunya dan kelompok tersebut merasa sudah mempelajari Islam sampai 100% sehingga bisa memberikan label (cap) kepada orang lain. Padahal terkadang orang yang memberi label kafir tersebut biasanya baru belajar tentang ajaran Islam. Hal tersebut bisa dikatakan sebuah kenaifan.[55]
Sedangkan menurut Sari Narulita, pembelajaran PAI di UNJ dalam mengarusutamakan Islam Nusantara sudah ada kontribusinya. Akan tetapi kontribusi tersebut belum terlalu signifikan. Kontribusi yang terjadi yaitu baru sebatas dalam memilah antara yang selaras dan yang tidak selaras dalam Islam.[56] Hal tersebut dilihat dari hasil pembelajaran PAI dalam pembahasan materi Seni dan Budaya dalam Islam. Dosen menyinggung mengenai apa saja kebudayaan di Indonesia yang selaras dengan ajaran Islam dan yang tidak selaras. Beliau beranggapan bahwa Budaya dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan ketika membicarakan tentang Islam Nusantara.
Kemudian menurut Yusuf Ismail, berkontribusi atau tidaknya mata kuliah PAI dalam mengarusutamakan Islam Nusantara, hal tersebut bisa dilakukan dengan penelitian terlebih dahulu. Pertama, terkait pembelajaran PAI dikelas. Dalam pembelajaran tersebut dilihat apakah mahasiswa berinteraksi dalam pembelajaran dikelas. Lalu dilanjutkan dengan evaluasi, yang mana ditanyakan kepada para mahasiswa tentang hasil belajar apakah mereka dapat memahami pembelajaran PAI dalam hal ini terkait Islam Nusantara. Akan tetapi menurut beliau, secara umum pembelajaran PAI sudah memberikan kontribusi dalam hal pengaruutamaannya.[57]
Dari hasil pengamatan dan penelitian penulis di beberapa kelas yang ada matakuliah PAI,[58] secara umum mahasiswa berinteraksi dalam diskusi materi Seni dan Budaya dalam Islam yang didalamnya disinggung gagasan Islam Nusantara. Setelah itu mahasiswa juga diberikan tugas evaluasi mengenai Islam Nusantara. Hasilnya sebagian besar mahasiswa memahami dan mengetahui gagasan Islam Nusantara tersebut. Dari hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa matakuliah PAI memiliki kontribusi dalam mengarusutamakan Islam Nusantara.
Berikutnya mengenai pengintegrasian Islam Nusantara dengan pembelajaran PAI, Yusuf Ismail mengatakan bahwa Islam Nusantara tidak memisahkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Keduanya menyatu dalam pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan. Orientasi PAI adalah pembelajaran yang berorientasi kepada akhirat, bukan hanya berorientasi pada dunia saja.[59]
Selanjutnya menurut Abdul Fadhil, pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI sudah jelas mempunyai kontribusi meskipun sangat sedikit porsinya. Hal itu dikarenakan materi yang disampaikan dalam pembelajaran tidak mengarah kepada Islam Nusantara. Akan tetapi buku panduan yang dipakai dalam pembelajaran PAI di UNJ yaitu tentang Islam Universal yang merupakan akar dari Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, tidak spesifik mengenai Islam Nusantara.[60]
Walaupun menurut beliau porsi yang terdapat dalam buku panduan pembelajaran sangat sedikit, tetapi dalam prakteknya matakuliah PAI tersebut memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam pengarusutamaan Islam Nusantara. Hal itu dikarenakan didalam beberapa materi PAI disinggung lumayan banyak hal terkait Islam Nusantara seperti materi tentang Seni dan Budaya dalam Islam. Didalam materi tersebut terdapat pembahasan mengenai kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan salah satu unsur dari Islam Nusantara.
 Terakhir, mengenai pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI, Abdul Rahman Hamid menyatakan bahwa mungkin sudah berkontribusi dalam mengarusutamakan Islam Nusantara dengan penafsiran dosen masing-masing dalam pembelajaran. Akan tetapi beliau merasa belum puas terhadap materi yang disampaikan para Dosen PAI kepada mahasiswa. Karena terkadang dosen-dosen PAI mempunyai inovasi sendiri dalam penyampaiannya, sehingga materi yang disampaikan berasal dari luar buku panduan PAI. Hal seperti itulah yang sulit di kontrol oleh UPT MKU sendiri.[61]
Dari pendapat para dosen PAI di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) secara umum sudah mengarusutamakan Islam Nusantara. Meskipun ada beberapa catatan mengenai cara pengarusutamaannya. Ada dosen yang mengatakan belum mengarusutamakan, sudah mengarusutamakan walaupun sedikit, dan jelas mengarusutamakan Islam Nusantara.
Akan tetapi jumlah dosen yang berpendapat bahwa pembelajaran PAI di UNJ sudah mengarusutamakan Islam Nusantara lebih banyak daripada yang berpendapat belum mengarusutamakan. Dari enam dosen PAI UNJ yang penulis jadikan informan, hanya satu dosen PAI yang mengatakan pembelajaran PAI belum mengarusutamakan Islam Nusantara. Meski begitu, beliau berpendapat bahwa secara non-tekstual pembelajaran PAI sudah mengarusutamakan Islam Nusantara.
Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI menurut para informan disampaikan melalui materi kuliah PAI seperti Seni & Budaya dalam Islam, Ekonomi Islam, Kerukunan & Toleransi, dan Kearifan Lokal (Local Wisdom).


[1] UPT MKU UNJ, Sekilas MKU UNJ, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/sample-page/, diakses pada 08 Desember 2015
[2] UPT MKU UNJ, Visi dan Misi, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/sample-page/visi-dan-misi/, diakses pada 08 Desember 2015
[3] Rahman, Profil Dosen Tetap UPT MKU, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/2015/11/11/profil-dosen-mku/#more-312, diakses pada 09 Desember 2015
[4] Rahman, Profil Dosen Tidak Tetap UPT MKU, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/2015/11/11/profil-dosen-tidak-tetap-upt-mku/#more-319, diakses pada 09 Desember 2015
[5] UPT MKU UNJ, Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agam Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin, (Jakarta: 2015), h. 3
[6] UPT MKU UNJ, Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agam Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin, (Jakarta: 2015), h. 3
[7] Beliau adalah dosen PAI UNJ dari Kementerian Agama RI. Beliau juga seorang dosen di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[8] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[9] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 17
[10] Beliau merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[11] Wawancara dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[12] Beliau merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[13] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[14] Beliau merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[15] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[16] Wawancara dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[17] Akhmad Sahal. Islam Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 176
[18] Beliau merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[19] Wawancara dengan Yusuf Ismail, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[20] Wawancara dengan Yusuf Ismail, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[21] Beliau merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[22] Wawancara dengan Abdul Fadhil, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[23] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[24] Wawancara dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[25] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[26] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[27] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika
[28] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika
[29] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika
[30] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[31] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[32] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[33] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[34] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[35] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[36] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[37] Wawancara dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[38] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[39] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[40] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[41] Wawancara dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[42] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[43] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[44] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[45] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[46] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[47] Wawancara dengan Yusuf Ismail, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[48] Wawancara dengan Abdul Fadhil, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[49] Beliau adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
[50] Wawancara dengan Kepala UMP MKU UNJ, Abdul Rahman Hamid pada tanggal 17 November 2015 di lantai 8 Gd. Dewi Sartika UNJ
[51] Wawancara dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika
[52] Wawancara dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd. Rektorat UNJ
[53] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[54] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[55] Wawancara dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi Sartika UNJ
[56] Wawancara dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[57] Wawancara dengan Yusuf Ismail, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[58] Penulis melakukan pengamatan dan penelitian dikelas PAI yang diajar oleh Ibu Sari Narulita. Objeknya adalah mahasiswa jurusan Psikologi 2015, Manajemen 2015, dan PG PAUD 2015.
[59] Wawancara dengan Yusuf Ismail, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[60] Wawancara dengan Abdul Fadhil, Kamis 3 Desember 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi IAI UNJ
[61] Wawancara dengan Kepala UPT MKU UNJ, Abdul Rahman Hamid pada tanggal 17 November 2015 di lantai 8 Gd. Dewi Sartika UNJ




                                                              BAB IV                                                             
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian lapangan dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara tentang masing-masing variabel yang akan diteliti dan pembahasan mengenai Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Konsep Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ.
Dari berbagai perspektif informan mengenai Islam Nusantara, maka penulis menyimpulkan bahwa Islam dan Nusantara memiliki makna yang berbeda. Islam yaitu sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dirubah apalagi terkait dengan akidahnya. Sedangkan Nusantara adalah wilayah-wilayah di Indonesia yang menjadi objek pengajaran Islam meskipun terdapat banyak budaya yang sudah ada sejak dahulu.
Jadi Islam Nusantara adalah corak Islam di Indonesia yang bercampur dengan budaya yang sudah ada. Dengan kata lain, budaya-budaya yang sudah ada terlebih dahulu sebelum Islam masuk tersebut dijadikan objek para ulama yang membawa Islam dari luar untuk dicampuri dengan ajaran Islam. Bisa juga diartikan bahwa para ulama tersebut mengislamkan budaya Indonesia. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Nusantara.

2.      Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam Pembelajaran PAI
Dari pendapat para informan bisa disimpulkan bahwa ada beberapa metode yang bisa dilakukan untuk mengarusutamakan gagasan Islam Nusantara. Sebagian besar informan berpendapat bahwa metode yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan pembelajaran di kelas melalui diskusi-diskusi tentang materi Seni dan Budaya Islam, Ekonomi Islam, Teknologi dan Islam, serta Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Materi-materi tersebut bisa disangkutpautkan dengan gagasan Islam Nusantara karena didalamnya membahas tentang kearifan lokal budaya di Indonesia, pribumisasi Islam, dan lain sebagainya.
Selain melalui diskusi dikelas tersebut, metode pengarusutamaan Islam Nusantara sudah dilakukan dengan membuat kegiatan seminar. Seminar yang dilakukan tentu merupakan seminar-seminar yang memiliki tema berkaitan dengan Islam Nusantara. Hal ini dilakukan agar pengarusutamaan Islam Nusantara tidak hanya dilakukan dalam pembelajaran PAI. Akan tetapi para dosen PAI bisa memberikan pemahaman tentang Islam Nusantara tersebut dengan metode yang berbeda.
3.      Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen PAI UNJ
Dari pendapat para dosen PAI di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) secara umum sudah mengarusutamakan Islam Nusantara. Meskipun ada beberapa catatan mengenai cara pengarusutamaannya. Ada dosen yang mengatakan belum mengarusutamakan, sudah mengarusutamakan walaupun sedikit, dan jelas mengarusutamakan Islam Nusantara.
Akan tetapi jumlah dosen yang berpendapat bahwa pembelajaran PAI di UNJ sudah mengarusutamakan Islam Nusantara lebih banyak daripada yang berpendapat belum mengarusutamakan. Dari enam dosen PAI UNJ yang penulis jadikan informan, hanya satu dosen PAI yang mengatakan pembelajaran PAI belum mengarusutamakan Islam Nusantara. Meski begitu, beliau berpendapat bahwa secara non-tekstual pembelajaran PAI sudah mengarusutamakan Islam Nusantara.
Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI menurut para informan disampaikan melalui materi kuliah PAI seperti Seni & Budaya dalam Islam, Ekonomi Islam, Kerukunan & Toleransi, dan Kearifan Lokal (Local Wisdom).

B.     Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan hasil pengolahan data yang didapatkna, maka peneliti mengemukakan saran sebagai masukan dari hasil penelitian ini sebagai berikut :
1.      Kepada Dosen PAI UNJ, diharapkan selalu memberikan pencerahan-pencerahan kepada mahasiswa didalam pembelajaran agar mahasiswa juga bertambah wawasannya terkait gagasan baru yang muncul dalam Islam seperti muncunya istilah Islam Nusantara.
2.      Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat penemuan baru terkait Islam Nusantara menurut Dosen PAI lainnya. Serta dapat mempertajam penelitian ini berkaitan dengan kontribusi matakuliah PAI tidak hanya di UNJ, akan tetapi di kampus-kampus lain yang terdapat matakuliah PAI dalam pembelajarannya. Bahkan kalau bisa penelitian ini dikembangkan lagi untuk meneliti kontribusi PAI secara keseluruhan di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Armando, Ade. Jokowi, Islam Nusantara dan Perang Melawan Keterbelakangan ala        Saudi, http://www.madinaonline.id/c907-editorial/jokowi-islam-nusantara- dan-perang-melawan-keterbelakangan-ala-saudi/
Baso, Ahmad. Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Afid, 2015
Baso, Ahmad. Kata Pengantar KH. Afifuddin Muhajir dalam buku Islam Nusantara:        Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, 2015.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan          Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta: 2006.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,      1999.
Faza, Abu. Sejumlah Kyai NU Tolak Islam Nusantara Jadi Tema Muktamar NU ke-33.     http://www.suara-islam.com/read/index/14840/-Sejumlah-Kyai-NU-Tolak-      Islam-Nusantara-Jadi-Tema-Muktamar-NU-ke-33
Husnan, Djaelan., Darajat, Zakiya., dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai   Agama Rahmatan Lil ‘Alamin. Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015.
Kementerian Agama RI, Syaamil AL-Qur’an Tajwid. Bandung: 2010.
Kitab Ahmad, Hadits nomor 8595.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.           Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006
Milal Bizawie, Zainul. Meneguhkan Islam Nusantara,           http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara/.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah,      dan Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,         2007.
NU Garis Lurus. Para Tokoh dan Kiai NU Ini Menentang Islam Nusantara Jadi Tema       Muktamar. http://www.nugarislurus.com/2015/07/para-tokoh-dan-kiai-nu-ini-   menentang-islam-nusantara-jadi-tema-muktamar.html#axzz3oVIUS1L6
Plimbi Editor. Apa Arti Mainstream dan Penggunaannya di Kehidupan Sehari-hari            dan Teknologi?, http://www.plimbi.com/news/158536/arti-mainstream-dan-  penggunaannya.
Sahal, Akhmad. Islam Nusantara. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015.
UPT MKU UNJ, Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agam Islam Rahmatan Lil         ‘Alamiin. Jakarta: 2015.





Lampiran 1
Pedoman Wawancara Penelitian Skripsi

“Kontribusi PAI dalam Pengarusutamaan Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ”

1.      Menurut Anda, apa itu Islam Nusantara?

a.       Jika anda setuju dengan Islam Nusantara, mengapa perlu muncul gagasan tersebut?
b.      Bagaimana konsep Islam Nusantara menurut anda?

2.      Menurut Anda, apa metode yang digunakan dalam memasukkan gagasan Islam Nusantara ke dalam pembelajaran PAI?

a.       Sebagai dosen PAI, langkah apa yang anda lakukan untuk memasukkan konsep Islam Nusantara kedalam pembelajaran PAI? Padahal dalam buku panduan pembelajaran PAI UNJ bab tentang Islam Nusantara tidak dijelaskan secara rinci.

3.      Bagaimana cara mengintegrasikan Islam Nusantara dengan pembelajaran PAI di kelas?
a.       Menurut anda, apakah mata kuliah PAI mempunyai kontribusi dalam mengarusutamakan Islam Nusantara?
-          Kalau ada, buktinya apa?
-          Kalau tidak, alasannya apa?


Lampiran 2
DATA DEMOGRAFI INFORMAN
Profil Informan

Nama  lengkap            :
Tempat, tanggal lahir :
Alamat                        :
Agama                         :
Pendidikan terakhir     :
Pekerjaan / Aktivitas   :
Jabatan                        :

Tanda tangan              :





Lampiran 3
Dokumentasi
Wawancara dengan Bp. FirdausWajdi di Kantor Prodi IAI

Wawancara dengan Bp. Noor Rachmat di Gd. Dewi Sartika lantai 9

Wawancara dengan Bp. Abdul Fadhil di Kantor Prodi IAI
Wawancara dengan Bp. Yusuf Ismail di Kantor Prodi IAI



TENTANG PENULIS
Aris Muttaqin, lahir di Boyolali pada tanggal 26 April 1992. Anak pertama dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah. Tempat tinggal di Dukuh Jatisari Rt.12/Rw.03, Ds. Kedungdowo, Kec. Andong, Kab. Boyolali, Jawa Tengah.
Mengawali pendidikan di TK RA Dukuh Jatisari pada tahun 1997. Kemudian melanjutkan ke MI Muhammadiyah Jatisari pada tahun 1998 dan lulus tahun 2003. Melanjutkan pendidikan ke MTsN Andong tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Kemudian lanjut ke SMA N 1 Andong tahun 2006 dan lulus pada tahun 2009. Setelah 2 tahun menanti, akhirnya bisa melanjutkan pendidikan Strata Satu pada tahun 2011 dengan diterima di Jurusan Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
Pengalaman organisasi selama di kampus yaitu menjadi Staff Divisi Kajian di BEMJ IAI peiode 2012/2013, Ketua BEMJ IAI periode 2013/2014, dan Kepala Departemen ORSENI BEM FIS UNJ periode 2014/2015. Selain aktif di organisasi kampus, aktif juga di Grup Marawis El-Zami Jurusan Ilmu Agama Islam sebagai Ketua pada tahun 2013 serta Penanggung Jawab Ekstra Seni & Olahraga (SENIOR) FIS UNJ tahun 2014.
Prestasi selama di kampus yaitu pernah mendapatkan Gelar Juara 1 Badminton Single Putra JIAI Solidarity Cup 2013, Juara 1 Badminton Ganda Putra 2014. Kemudian mendapatkan Gelar Juara 1 Lomba Bola Voli Dekan Cup tahun 2014 dan Juara 1 Lomba Bola Voli PIAI Solidarity Cup tahun 2015, dan lain-lain.