Ketika kau memutuskan untuk tidak berpacaran, berarti kau memutuskan untuk "menanti" orang baru datang. Sebuah penantian hanya akan berakhir pada dua hal, bahagia atau kecewa.
Jika penantianmu berakhir bahagia, tersenyumlah. Itu artinya penantianmu tidak sia-sia dan Allah mengabulkan doamu. Tapi jika penantianmu berakhir dengan kekecewaan, tetaplah tersenyum. Mungkin itu berarti bahwa keadilan sedang menjalankan perannya atas kekecewaan orang terdahulu yang pernah kau bikin kecewa.
.
Menanti, berarti kau harus siap untuk hal terburuk. Jangan hanya berangan-angan yang indah-indah.
.
Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan sosok yang sedang dinanti. Semoga malam minggu itu akan indah seperti impian. Akan ada kelanjutan setelahnya, bukan berhenti sampai disitu.
-AM-
Aris Muttaqin
Sabtu, 18 Maret 2017
Senin, 25 Januari 2016
Skripsi Aris Muttaqin
PENGARUSUTAMAAN ISLAM NUSANTARA MELALUI
PAI DALAM PERSPEKTIF DOSEN PAI UNJ
Aris Muttaqin
4715111554
Skripsi
ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Agama
(S.Ag.)
PROGRAM
STUDI ILMU AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
2016
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Penanggung Jawab
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas
Negeri Jakarta
Dr. Muhammad
Zid, M.Si.
NIP. 19630412.199403.1.002
Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda
Tangan Tanggal
Ketua Rihlah Nur Aulia, S.Ag., MA.
NIP.19790912.200801.2.018 ……………… ………….
Sekretaris Sari Narulita, Lc., M.Si.
NIP.19800228.200604.2.002 ……………… ………….
Penguji Ahli Firdaus Wajdi, MA.
NIP.19810718.200801.1.016 ……………… ………….
Pembimbing I Dr. Andy Hadiyanto, MA.
NIP.19741021.200112.1.001 ……………… ………….
Pembimbing II Dr. Izzatul
Mardhiah, S.Ag., MA.
NIP.19780306.200912.2.002 ……………… ………….
Tanggal lulus : 29 Januari
2016
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Aris
Muttaqin
No. Reg. : 4715111554
Judul Skripsi : Pengarusutamaan
Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ
Menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa skripsi yang saya tulis
adalah murni karya orisinil saya. Semua teori dan konsep yang saya ambil dari
penulis lain baik langsung maupun tidak langsung ditulis sebagai kutipan.
Saya bersedia menanggung segala konsekuensi hukum apabila
dikemudian hari terbukti bahwa karya ini adalah jiplakan atau terjemahan karya
orang lain.
Jakarta, 4 Januari 2016
Pembuat Pernyataan
Aris Muttaqin
LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta,
Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah. Yang selalu mendoakan anak pertamanya ini
dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang yang abadi.
Kemudian juga saya persembahkan untuk ketiga adikku Mar’atus
Sholikhah, Iin Fitriyani, Muhammad Aly Imron. Kalian bertiga begitu berharga
dan selalu membuatku semangat dalam mencari ilmu dan rezeki.
MOTTO
BERIKAN MANFAAT WALAU SEDIKIT UNTUK ORANG-ORANG DI SEKELILINGMU
TERLEBIH
UNTUK MEREKA YANG KAU SAYANGI DAN KAU CINTAI.
خَيْرٌ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG BERMANFAAT BAGI
ORANG LAIN”
ABSTRAK
Aris
Muttaqin, Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen
PAI UNJ, Skripsi.
Jakarta:
Program Studi Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Jakarta, 2015.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menganalisis Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen
PAI UNJ. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analisis dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian ini menggunakan teori Islam Nusantara perspektif Fiqh
yaitu Pribumisasi Islam gagasannya Gus Dur dan Fikih Indonesia gagasannya Prof.
Hasbi Ash-Shiddiqie. Kemudian teori Islam Nusantara dalam dimensi Tasawuf yaitu
Hubungan antara Budaya dengan Agama karya Dr. Haidar Baghir dan Mistisme Islam
karya KH. Mustofa Bisri.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: Pertama, konsep
Islam Nusantara menurut dosen PAI yaitu corak Islam di Indonesia yang bercampur
dengan budaya yang sudah ada. Kedua, metode pengarusutamaan Islam
Nusantara menurut dosen PAI yaitu dengan melakukan pembelajaran di kelas
melalui diskusi-diskusi pada materi Seni dan Budaya Islam, Ekonomi Islam,
Teknologi dan Islam, serta Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Ketiga,
melalui pembelajaran PAI, Islam Nusantara sudah diarusutamakan meskipun ada
beberapa catatan mengenai cara pengarusutamaannya. Ada dosen yang mengatakan
belum mengarusutamakan, sudah mengarusutamakan walaupun sedikit, dan jelas
mengarusutamakan Islam Nusantara. Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui
pembelajaran PAI menurut para informan disampaikan melalui materi kuliah PAI
seperti Seni dan Budaya dalam Islam, Ekonomi Islam, Kerukunan dan Toleransi, serta
Kearifan Lokal (Local Wisdom).
Kata
Kunci: Pengarusutamaan, Islam Nusantara, dan Dosen PAI UNJ
ABSTRACT
Aris Muttaqin, Mainstreaming Islam Nusantara Through Islamic Education in Perspective Lecturer PAI UNJ, Thesis.
Jakarta:
Study Program of Islamic Studies, Faculty of Social Sciences, State University
of Jakarta, in 2015.
The purpose of this study is to describe and analyze the
mainstreaming Islam Nusantara through Islamic Education in Perspective Lecturer
PAI UNJ. The method used in this research is descriptive analysis using
qualitative research approaches
This study uses the theory of Islam Nusantara perspective
of Islamic jurisprudence that indigenization ideas of Gus Dur and Jurisprudence
Indonesia ideas Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie. Then theoretical Sufism Islam
Nusantara in dimension, namely the relationship between culture Religion by Dr.
Haidar Baghir and Islamic Mysticism works of KH. Mustafa Bisri.
Based on the research findings can be summarized: First,
the concept of Islam Nusantara according to the lecturer of Islamic education
in Indonesia, namely Islam shades mixed with the existing culture. Secondly,
the method according to the lecturer Mainstreaming Islam Nusantara Islamic
Education is conducting classroom learning through discussions on the matter of
Arts and Culture of Islam, Islamic Economics, Technology and Islam, as well as
Islamic law and Islamic economics. Third, through the learning of Islamic
Education, Islamic archipelago has been mainstreamed although there are some
notes on how mainstreaming. There are professors who said it is not mainstream,
mainstreaming albeit slightly, and obvious mainstream Islam Nusantara.
Mainstreaming Islam Nusantara through the learning of Islamic Education
according to the informant delivered through lecture material Islamic education
such as Arts and Culture in Islam, Islamic Economics, Harmony and Tolerance, as
well as Local Wisdom (Local Wisdom)
Keywords:
Mainstreaming, Islam Nusantara, and Lecturer PAI UNJ
الملخص
أريس المتقين
، تعميم الإسلام نوسانتارا من خلال التربية الإسلامية في منظور التربية والتعليم
محاضري الجامعات الإسلامية جاكرتا الدولة ، رسالة .
جاكرتا:
برنامج دراسة الدراسات الإسلامية ، كلية العلوم الاجتماعية ، جامعة ولاية جاكرتا ،
في عام 2015.
والغرض من هذه الدراسة هو وصف
وتحليل وتعميم الإسلام نوسانتارا من خلال التربية الإسلامية في منظور التربية
والتعليم محاضر جامعة الدولة الإسلامية في جاكرتا. الطريقة المستخدمة في هذا البحث
هو التحليل الوصفي باستخدام أساليب البحث النوعي.
تستخدم هذه الدراسة نظرية منظور
الإسلام نوسانتارا للفقه الإسلامي أن التأصيل أفكار غوس دور والفقه اندونيسيا
الأستاذ الأفكار حسبي الصديقي . ثم التصوف النظري الإسلام نوسانتارا في البعد، وهي
العلاقة بين الثقافة الدين من قبل الدكتور حيدر الباقر والتصوف الإسلامي يعمل كياي
حاجي مصطفى بسري .
وبناء على
نتائج البحوث ويمكن تلخيص: أولا، مفهوم الإسلام نوسانتارا فقا لمحاضر التربية
الإسلامية في إندونيسيا، وهي ظلال الإسلام مختلطة مع الثقافة القائمة. ثانيا،
الأسلوب وفقا لمحاضر تعميم الإسلام نوسانتارا التربية الإسلامية تجري الفصول
الدراسية التعلم من خلال المناقشات بشأن هذه المسألة للفنون والثقافة في الإسلام،
الاقتصاد الإسلامي، التكنولوجيا والإسلام، فضلا عن الشريعة الإسلامية والاقتصاد
الإسلامي. ثالثا، من خلال التعلم التربية الإسلامية، وقد تم تعميم الأرخبيل
الإسلامي على الرغم من أن هناك بعض الملاحظات حول كيفية تعميم. هناك أساتذة الذين
قالوا انه ليس في التيار، وتعميم وإن كان قليلا، وتعميم واضح الإسلام نوسانتارا.
تعميم الإسلام نوسانتارا من خلال التعلم التربية الإسلامية وفقا للمخبر تسليمها
خلال محاضرة التربية الإسلامية مادة مثل الفنون والثقافة في الإسلام، الاقتصاد
الإسلامي، الوئام والتسامح، فضلا عن الحكمة المحلية (الحكمة المحلية)
كلمات البحث:
تعميم الإسلام نوسانتارا، و محاضر التربية الإسلامية، جامعة ولاية جاكرتا.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur Alhamdulillahirabbil’alamiin penulis ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah serta inayahNya sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pengarusutamaan Islam
Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ”.
Shalawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Salam yang selalu penulis sampaikan kepada pemimpin yang
telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang indah ini.
Semoga kita kelak termasuk umat yang mendapatkan syafa’at beliau di Yaumul Qiyamah.
Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah
memberi dorongan motivasi serta semangat kepada penulis sehingga skripsi ini
bisa terselesaikan. Tentunya dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bimbingan dan saran yang sangat berharga dari semua pihak, maka dari itu
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak
Dr. Andy Hadiyanto, MA., selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing I skripsi dan Dosen
Pembimbing Akademik saya atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan
perhatiannya dalam bentuk apapun baik akademik, non akademik maupun dalam
organisasi, dan bahkan kehidupan pribadi.
2.
Ibu Rihlah
Nur Aulia, S.Ag., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Agama Islam yang sering
memacu saya untuk segera menyelesaikan skripsi dan terimakasih atas segala
bimbingan serta arahannya sehingga skripsi ini bisa selesai dengan baik.
3.
Ibu
Dr. Izzatul Mardhiah, MA., selaku Dosen Pembimbing II skripsi saya atas segala
bimbingan, arahan, perhatian, saran, waktu, motivasi dan semangatnya sehingga
skripsi saya bisa selesai dengan baik.
4.
Seluruh
dosen dan staff Prodi Ilmu Agama Islam, terutama Bapak Noor Rachmat, (Alm.)
Bapak Syamsul Arifin, Ibu Sari Narulita, Bapak Abdul Fadhil, Bapak Firdaus
Wajdi, Bapak Yusuf Ismail yang sudah meninggalkan kesan tersendiri di hati saya
selama penulisan skripsi maupun selama perkuliahan. Tak lupa juga saya ucapkan
terimakasih kepada Bapak Chudlori Umar, Bapak Khairil Ikhsan Siregar, Bapak
Zaghlul Yusuf, Bapak Zulkifli Lubis, Bapak Ahmad Hakam, Ibu Amaliyah, Bapak
Hendrawanto, Mbak Dewi Anggraeni, Mas Indra, Mas Fauzan, dan Mbak Lina atas
ilmunya, motivsinya, teladannya, kasih sayangnya, dan perhatiannya selama ini
yang sangat bermanfaat buat saya.
5.
Bapak
Abdul Rahman Hamid, selaku Kepala UPT MKU UNJ yang telah memberikan izin dan
arahan kepada saya untuk mendapatkan informasi terkait skripsi ini. Juga untuk
Ibu Zakiya Darajat selaku Dosen PAI dari UIN Jakarta yang bertugas di UNJ.
6.
Kedua
orang tuaku tercinta, Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah yang selalu
mendoakan anaknya di perantauan. Terimakasih tak terhingga atas pendidikan
terbaiknya, kasih sayangnya, teladannya, dorongan, semangat, dan semuanya yang
sudah bapak ibu berikan kepada saya. Tak lupa untuk adik-adikku tersayang,
Mar’atus Sholikhah, Iin Fitriyani, dan Muhammad Aly Imron yang selalu menjadi
semangat saya untuk menyelesaikan studi ini. Juga untuk anggota keluarga baru,
suami dari adik pertama (Hanafi).
7.
Orang-orang
yang saya anggap orang tua di perantauan; Mas Fultoni, Pak Uli Parulian Sihombing,
Mbak Siti Aminah Tardi, Ibu Evi Yuliawaty dan juga Mas Mujahid. Terimakasih
atas semua bantuan dan supportnya selama kuliah dan kerja.
8.
Seluruh
teman-teman Ilmu Agama Islam FIS UNJ angkatan 2011 yang sudah berjuang
bersama-sama selama 8-9 semester ini. Terlebih untuk sahabat-sahabatku Ferri
Mardini, Shendy Puspitasari, Anjar Ginanjar Saputra, Tia Aulia Budiarti, Fairuz
Nadiah, Hanisah, Atiyah, serta seluruh BPH BEMJ IAI periode tahun 2013 yang
sudah meninggalkan kesan indah selama masa perkuliahan sampai akhir ini. Tak
lupa teman-teman seperjuangan ‘Basis Tebet’; Dwi Maulana, M. Rizki Hardireza,
Doni Adhitia, Nur Ainiyyah Arfi, Rostiana, Muh. Firmansyah, dan M. Nico Rafdy.
9.
Seluruh
teman-teman BEM FIS UNJ periode tahun 2014 kepemimpinan sahabat saya Syahril
Sidik atas segala pengalaman organisasi yang sangat berkesan bagi diri saya.
Terutama untuk pengurus angkatan 2011 yang selalu memberikan motivasi dan
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.
Adik-adik
Program Studi Ilmu Agama Islam terutama anggota penerus BEMJ IAI angkatan 2012
pimpinan Dian Bagus, 2013 pimpinan Fachrureza Novario, maupun 2014 pimpinan
Akbar yang sering memberikan support untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Terlebih untuk adik Syifa Khairunnisa, Aida Fitria, Nani Fitriani, Fikriyyah
Lathifah, dll. yang sering memberikan semangat, dorongan serta motivasinya
dengan penuh pengertian dan perhatian.
11.
Semua
pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi rasa
hormat saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungannya dalam
penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah
diberikan kepada penulis dari awal penyusunan sampai akhir skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari baik, maka dari itu penulis
berharap mendapatkan masukan dan saran yang bersifat membangun agar penelitian
ini lebih baik. Semoga pula karya ini mempunyai manfaat dan memberikan manfaat.
Jakarta, 28 Desember 2015
Penulis
Aris Muttaqin
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur Alhamdulillahirabbil’alamiin penulis ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah serta inayahNya sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul: “Pengarusutamaan Islam
Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ”.
Shalawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman. Salam yang selalu penulis sampaikan kepada pemimpin yang
telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang indah ini.
Semoga kita kelak termasuk umat yang mendapatkan syafa’at beliau di Yaumul Qiyamah.
Pada kesempatan yang baik ini, dengan segala kerendahan hati
penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah
memberi dorongan motivasi serta semangat kepada penulis sehingga skripsi ini
bisa terselesaikan. Tentunya dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bimbingan dan saran yang sangat berharga dari semua pihak, maka dari itu
penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak
Dr. Andy Hadiyanto, MA., selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta sekaligus Dosen Pembimbing I skripsi dan Dosen
Pembimbing Akademik saya atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan
perhatiannya dalam bentuk apapun baik akademik, non akademik maupun dalam
organisasi, dan bahkan kehidupan pribadi.
2.
Ibu Rihlah
Nur Aulia, S.Ag., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Agama Islam yang sering
memacu saya untuk segera menyelesaikan skripsi dan terimakasih atas segala
bimbingan serta arahannya sehingga skripsi ini bisa selesai dengan baik.
3.
Ibu
Dr. Izzatul Mardhiah, MA., selaku Dosen Pembimbing II skripsi saya atas segala
bimbingan, arahan, perhatian, saran, waktu, motivasi dan semangatnya sehingga
skripsi saya bisa selesai dengan baik.
4.
Seluruh
dosen dan staff Prodi Ilmu Agama Islam, terutama Bapak Noor Rachmat, (Alm.)
Bapak Syamsul Arifin, Ibu Sari Narulita, Bapak Abdul Fadhil, Bapak Firdaus
Wajdi, Bapak Yusuf Ismail yang sudah meninggalkan kesan tersendiri di hati saya
selama penulisan skripsi maupun selama perkuliahan. Tak lupa juga saya ucapkan
terimakasih kepada Bapak Chudlori Umar, Bapak Khairil Ikhsan Siregar, Bapak
Zaghlul Yusuf, Bapak Zulkifli Lubis, Bapak Ahmad Hakam, Ibu Amaliyah, Bapak
Hendrawanto, Mbak Dewi Anggraeni, Mas Indra, Mas Fauzan, dan Mbak Lina atas
ilmunya, motivsinya, teladannya, kasih sayangnya, dan perhatiannya selama ini
yang sangat bermanfaat buat saya.
5.
Bapak
Abdul Rahman Hamid, selaku Kepala UPT MKU UNJ yang telah memberikan izin dan
arahan kepada saya untuk mendapatkan informasi terkait skripsi ini. Juga untuk
Ibu Zakiya Darajat selaku Dosen PAI dari UIN Jakarta yang bertugas di UNJ.
6.
Kedua
orang tuaku tercinta, Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah yang selalu
mendoakan anaknya di perantauan. Terimakasih tak terhingga atas pendidikan
terbaiknya, kasih sayangnya, teladannya, dorongan, semangat, dan semuanya yang
sudah bapak ibu berikan kepada saya. Tak lupa untuk adik-adikku tersayang,
Mar’atus Sholikhah, Iin Fitriyani, dan Muhammad Aly Imron yang selalu menjadi
semangat saya untuk menyelesaikan studi ini. Juga untuk anggota keluarga baru,
suami dari adik pertama (Hanafi).
7.
Orang-orang
yang saya anggap orang tua di perantauan; Mas Fultoni, Pak Uli Parulian Sihombing,
Mbak Siti Aminah Tardi, Ibu Evi Yuliawaty dan juga Mas Mujahid. Terimakasih
atas semua bantuan dan supportnya selama kuliah dan kerja.
8.
Seluruh
teman-teman Ilmu Agama Islam FIS UNJ angkatan 2011 yang sudah berjuang
bersama-sama selama 8-9 semester ini. Terlebih untuk sahabat-sahabatku Ferri
Mardini, Shendy Puspitasari, Anjar Ginanjar Saputra, Tia Aulia Budiarti, Fairuz
Nadiah, Hanisah, Atiyah, serta seluruh BPH BEMJ IAI periode tahun 2013 yang
sudah meninggalkan kesan indah selama masa perkuliahan sampai akhir ini. Tak
lupa teman-teman seperjuangan ‘Basis Tebet’; Dwi Maulana, M. Rizki Hardireza,
Doni Adhitia, Nur Ainiyyah Arfi, Rostiana, Muh. Firmansyah, dan M. Nico Rafdy.
9.
Seluruh
teman-teman BEM FIS UNJ periode tahun 2014 kepemimpinan sahabat saya Syahril
Sidik atas segala pengalaman organisasi yang sangat berkesan bagi diri saya.
Terutama untuk pengurus angkatan 2011 yang selalu memberikan motivasi dan
semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.
Adik-adik
Program Studi Ilmu Agama Islam terutama anggota penerus BEMJ IAI angkatan 2012
pimpinan Dian Bagus, 2013 pimpinan Fachrureza Novario, maupun 2014 pimpinan
Akbar yang sering memberikan support untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Terlebih untuk adik Syifa Khairunnisa, Aida Fitria, Nani Fitriani, Fikriyyah
Lathifah, dll. yang sering memberikan semangat, dorongan serta motivasinya
dengan penuh pengertian dan perhatian.
11.
Semua
pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu namun tidak mengurangi rasa
hormat saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungannya dalam
penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah
diberikan kepada penulis dari awal penyusunan sampai akhir skripsi ini. Penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari baik, maka dari itu penulis
berharap mendapatkan masukan dan saran yang bersifat membangun agar penelitian
ini lebih baik. Semoga pula karya ini mempunyai manfaat dan memberikan manfaat.
Jakarta, 28 Desember 2015
Penulis
Aris Muttaqin
LEMBAR
PENGESAHAN SKRIPSI ……………...……………………………. ii
SURAT
PERNYATAAN ………………………………………………………... iii
LEMBAR
PERSEMBAHAN & MOTTO ………………………………………. iv
ABSTRAK
……………………………………………………………………….. v
ABSTRACT
……………………………………………………………………… vi
الملخص ……………………………………………………………………………. vii
KATA
PENGANTAR ………………………………………………………….... viii
DAFTAR
ISI ……………………………………………………………………... xii
DAFTAR
TABEL ………………………………………………………………... xv
DAFTAR
LAMPIRAN …………………………………………………………... xvi
BAB
I: PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah ………………………………………………...... 1
B.
Identifikasi
Masalah ………………………………………………………. 7
C.
Pembatasan
Masalah ……………………………………………………… 8
D.
Perumusan
Masalah ………………………………………………………. 8
E.
Tujuan
Penelitian …………………………………………………………. 8
F.
Manfaat
Penelitian ………………………………………………………... 9
G.
Metode
Penelitian ………………………………………………………… 10
H.
Teknik
Pengumpulan Data ......…………………………………………… 11
I.
Teknik
Analisis Data …………..…………………………………………. 11
J.
Teknik
Pengolahan Data …………..…………………………………….... 12
K.
Sistematika
Penulisan ……………………………………………………. 12
BAB
II: KAJIAN TEORITIS
A.
PAI
dalam Perspektif Filosofis dan Pedagogik ………………………….. 14
B.
Definisi
Pengarusutamaan ……………………………………………….. 21
C.
Islam
Nusantara : Antara Konsep dan Realita …………………………… 22
1.
Islam
Nusantara Perspektif Fiqh ……………………………………... 22
2.
Islam
Nusantara dalam Dimensi Tasawuf ……………………………. 24
3.
Aswaja
dan Islam Nusantara …………………………………………. 27
a)
Aswaja
……………………………………………………………. 27
b)
Islam
Nusantara Perspektif Nahdhatul Ulama (NU) ……………... 28
c)
Hubungan
antara Aswaja dan Islam Nusantara …………………... 32
BAB
III: HASIL PENELITIAN
A.
Deskripsi
Data ……………………………………………………………. 34
1.
PAI
di UPT MKU UNJ ………………………………………………. 34
2.
Profil
Informan ……………………………………………………….. 37
B.
Konsep
Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ …………………….. 39
C.
Metode
Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam Pembelajaran PAI …… 59
D.
Pengarusutamaan
Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen PAI UNJ
……………................................................................................................... 71
BAB
IV: KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
……………………………………………………….............. 81
B.
Saran
………………………………………………………………………. 84
DAFTAR
PUSTAKA ……………………………………………………………. 86
LAMPIRAN
TENTANG
PENULIS
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Pengelompokan Konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ... 39
Table 3.2. Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara
………………………… 59
Table 3.3. Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui
PAI Menurut Dosen ...... 71
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN
1 Pedoman Wawancara
Penelitian Skripsi
LAMPIRAN
2 Data Demografi Informan
LAMPIRAN 3 Dokumentasi
LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Izin Mengadakan Penelitian untuk Penulisan Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Saat ini istilah Islam Nusantara telah menimbulkan polemik pro dan
kontra di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia. Polemik ini muncul setelah
Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) meresmikan tema Muktamar Nahdhatul Ulama (NU)
ke-33 yang akan dilaksanakan di Jombang, Jawa Timur beberapa bulan lalu.
Bagi kalangan NU yang pro, Islam Nusantara merujuk pada fakta
sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara dengan cara pendekatan budaya,
tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahwa Islam di Nusantara didakwahkan
dengan cara merangkul budaya. Dari pijakan sejarah itulah, NU akan bertekad
mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka
dan toleran. Presiden Jokowi juga telah menyatakan dukungannya secara terbuka
atas model Islam Nusantara, yaitu Islam yang penuh sopan santun, Islam yang
penuh tata karma dan penuh toleransi.[1] Pernyatan
dari Presiden Jokowi tentang Islam Nusantara itu dilontarkannya dalam acara
pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Ulama Pengurus Besar Nahdhatul Ulama yang
diselenggarakan di Masjid Istiqlal pada hari Minggu tanggal 26 Juni 2015.
Menurutnya, Islam Nusantara yang sudah mengakar dalam jiwa Muslim
di Indonesia sangat berpengaruh besar dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menurutnya pula, Islam Nusantara akan menjadi kekuatan
untuk melawan berbagai pengaruh ekstrim yang coba ditularkan oleh
kelompok-kelompok militan.[2]
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia seusai acara, Jokowi mengatakan bahwa
Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, tidak radikal, inklusif dan toleran.
Jokowi juga menekankan bahwa Islam di Nusantara menyebar dengan cara pendekatan
budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Menurutnya, Islam Nusantara
ini didakwahkan dengan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati
budaya, tidak malah memberangus budaya.
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus mengungkapkan, saat ini dunia
sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik
ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. Kiai
yang akrab disapa Gus Mus itu merasa bingung karena kondisi Islam di
Timur-Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi
kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia. Untuk itulah,
lanjut Gus Mus, NU membuat tema muktamar tentang Islam Nusantara.[3]
Masyarakat di Indonesia saat ini tidak sedikit yang sudah
meninggalkan budaya-budaya Islam yang dibawa oleh Ulama Indonesia terdahulu
pada saat mengajarkan Islam, seperti yang dilakukan oleh Walisongo. Walisongo
memiliki ajaran-ajaran Islam yang mereka pahami secara betul dari ajaran
Kanjeng Nabi Muhammad SAW. “Walisongo tidak hanya mengajak bil lisan, tapi
juga bil hal, tidak mementingkan formalitas, tetapi inti dari ajaran Islam”.[4]
Yang terjadi pada masyarakat Muslim Indonesia sekarang adalah marakanya budaya
‘Arabisasi’ Islam yang semakin marak ditengah-tengah kita.
Arabisasi yang dimaksud di sini tidaklah merujuk pada bangsa atau
ras Arab. Yang dibicarakan di sini adalah propaganda penunggalan budaya Islam
untuk tunduk pada kebudayaan serba tertutup yang berlaku di Arab Saudi. Banyak
orang salah kaprah menganggap budaya Islam adalah sama dengan masyarakat Arab
di Arab Saudi. Padahal, siapapun yang belajar sejarah Islam sebenarnya akan
tahu bahwa kejayaan peradaban Islam itu tidak berpusat di Arab Saudi. Islam
memang diturunkan di tanah Arab, tapi kemudian yang menentukan adalah
perkembangannya di luar Arab Saudi: di Persia, Turki dan Mesir.[5]
Sedangkan bagi yang kontra, Islam Nusantara dianggap sebagai
bermuatan primordial, mengkotak-kotakkan Islam, anti Arab, bahkan dituduh
sebagai strategi baru dari JIL, Barat, Zionis, dan semacamnya. Islam ya Islam,
begitu diantara tanggapan para penentang.[6]
Pernyataan seperti tersebut memang sering penulis dengar dari oknum kalangan
non-Nahdhatul Ulama dan juga dari oknum yang anti pemerintah.
Bukan hanya oknum kalangan non-NU saja yang kontra dengan munculnya
Islam Nusantara. Di kalangan NU sendiri pun ada beberapa Tokoh dan Kiai yang
menolak serta menentang munculnya istilah Islam Nusantara tersebut. Mereka
tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, mereka lebih cenderung dengan istilah
Islam Rahmatan lila’alamin.
Menurut kalangan NU yang menolak, istilah Islam Nusantara
mempersempit ruang lingkup Islam dan cenderung eksklusif.[7]
Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jember Jawa Timur,
KH Misbahussalam mengatakan bahwa NU sendiri tidak hanya di Indonesia tapi juga
berkembang di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, dan lain sebagainya.
Bahkan menurut Misbahussalam, ada dugaan disosialisasikannya istilah Islam
Nusantara adalah untuk mengakomodasi ajaran Syiah, Islam Liberal, Wahabi, dan
ideologi lain yang bertentangan dengan Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja).
KH Muhyiddin Abdusshomad, Rais Syuriah PCNU Kabupaten Jember juga
berpendapat bahwa istilah Islam Nusantara tidak punya sumber baik dalam
Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, maupun Qiyas. Justru banyak pihak baik di internal
maupun eksternal NU menyerang NU karena persoalan istilah Islam Nusantara
tersebut. KH. A. Muhith Muzadi juga mengaku tidak setuju dengan istilah Islam
Nusantara. Alasannya, Islam itu satu. Yaitu Islam yang sudah jelas ajarannya.[8]
Dari beberapa pernyataan dari para Ulama, Kiai, artikel dan juga
pernyataan dari Presiden Republik Indonesia tersebut, maka penulis menyimpulkan
bahwa Islam Nusantara yang digaungkan oleh Nahdhatul Ulama (NU) ini bukanlah
sebuah ajaran, madzhab ataupun paham baru dalam Islam. Akan tetapi Islam
Nusantara yang di maksud adalah sebuah keberagaman yang sudah sejak lama
menjadi model dakwahnya para Kiai di Jawa, terlebih oleh Walisongo.
Terjadinya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat Muslim
Indonesia saat ini yang berkaitan dengan Islam Nusantara tidak terlepas dari
adanya media dan oknum-oknum yang sebagian besar salah memahami makna dari
Islam Nusantara yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat Muslim
di Indonesia masih awam dan mudah menerima informasi yang datang dari sumber
yang belum jelas keabsahannya. Perdebatan seperti ini tidak seharusnya terjadi
di tengah masyarakat awam, karena bisa menimbulkan banyak kontroversi yang
kemudian menjalar ke umat Muslim secara luas. Agar kontroversi seperti ini
tidak menjalar semakin luas, sudah seharusnya perguruan tinggi, baik perguruan
tinggi umum maupun pergutuan tinggi yang memiliki latar belakang ke-Islaman
berperan aktif dalam menghilangkan kontroversi tersebut supaya istilah Islam
Nusantara ini menjadi tidak asing lagi di tengah-tengah masyarakat Muslim
Indonesia. Karena perguruan tinggi pasti mempunyai forum-forum diskusi mendalam,
terutama mata kuliah tertentu yang mempunyai hubungan terkait isu yang sedang
berkembang di masyarakat dan diskusi-diskusi disana berpegang pada referensi
yang bisa dipertanggungjawabkan.
Melihat kondisi seperti ini, maka peneliti tertarik untuk membahas
lebih dalam tentang kontribusi perguruan tinggi dalam menyampaikan istilah
Islam Nusantara menjadi tidak asing di tengah-tengah masyarakat Muslim
Indonesia. Perguruan tinggi yang menurut penulis bisa dijadikan rujukan terkait
permasalahan tersebut adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang notabene
adalah kampus pendidikan yang terkenal dengan banyaknya diskusi-diskusi ilmiah
yang dilakukan oleh civitas akademiknya. Meskipun bukan kampus yang berlatar belakang
ke-Islaman, akan tetapi di UNJ terdapat satu mata kuliah wajib yang sangat
terkait dengan Islam yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI). Mata kuliah PAI ini
wajib diambil oleh seluruh mahasiswa Muslim UNJ.
Mata kuliah PAI ini sebagian besar dosen pengampunya merupakan
dosen dari Jurusan Ilmu Agama Islam (JIAI). Jurusan tersebut juga memiliki
jargon yang sejalan dengan isu terkait Islam Nusantara yaitu Lebih Moderat
Makin Indonesia. Menurut penulis, mata kuliah PAI merupakan forum diskusi
terbaik akademisi kampus dalam menyampaikan atau mendiskusikan isu-isu yang
sedang hangat diperbincangkan di masyarakat.
Berdasarkan uraian dari latar belakang dan fakta itulah penulis
ingin meneliti lebih dalam terkait pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran
PAI dalam perspektif Dosen PAI supaya istilah Islam Nusantara ini menjadi hal
yang tidak asing lagi dalam berbagai diskusi maupun perbincangan di kalangan masyarakat
dan civitas kampus. Dengan kata lain penulis ingin meneliti pengarusutamaan
Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI dalam perspektif Dosen PAI UNJ.
B.
Identifikasi Masalah
Dari uraian
diatas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1.
Apakah
mata kuliah PAI di UNJ sudah mengarusutamakan Islam Nusantara?
2.
Problematika
apa yang muncul di tengah masyarakat dengan dilontarkannya Islam Nusantara oleh
Nahdhatul Ulama (NU)?
3.
Mengapa
terjadi kontroversi di sebagian masyarakat dengan munculnya Islam Nusantara?
4.
Mengapa
Islam Nusantara harus diarusutamakan bagi kehidupan umat Islam di Indonesia?
5.
Apa
saja pandangan dosen PAI UNJ terkait munculnya Islam Nusantara?
C.
Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan memperoleh gambaran yang
jelas, maka penelitian ini perlu dibatasi pada Pengarusutamaan Islam Nusantara
melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ.
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penelitian ini secara
umum dapat dirumuskan kedalam pertanyaan umum yaitu “Bagaimana Pengarusutamaan
Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ?”.
Pertanyaan umum tersebut kemudian dirinci kedalam beberapa
pertanyaan khusus, sebagai berikut;
1.
Bagaimana
konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ?
2.
Bagaimana
metode Pengarusutamaan Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ?
3.
Bagaimana
pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen PAI UNJ?
E.
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis Pengarusutamaan
Islam Nusantara melalui PAI dalam Perspektif Dosen PAI UNJ. Tujuan tersebut
dapat diperoleh dengan pencapaian tujuan-tujuan antara lain sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan
dan menganalisis konsep Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ
2.
Mendeskripsikan
dan menganalisis metode pengarusutamaan Islam Nusantara menurut Dosen PAI UNJ
3.
Mendeskripsikan
dan menganalisis pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen PAI
UNJ
F.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini
diharapkan memiliki manfaat teoritis dan praktis bagi masyarakat akademik dan
umum. Secara teoritis penelitian ini sebagai bahan kajian akademis dalam
memahami pengarusutamaan Islam Nusantara yang dapat dijadikan arah pengembangan
moderatisme Islam.
Sedangkan pada tingkat praktis diharapkan memberikan manfaat bagi :
1.
Pemerintah,
yaitu sebagai penguat sekaligus memberikan tambahan referensi terhadap
pemikiran dan konsep Islam Nusantara yang diluncurkan oleh Nahdhatul Ulama
serta mendapat dukungan dari Pemerintah melalui Presiden Republik Indonesia.
2.
Perguruan
Tinggi. Akan mendorong terjadinya feedback and policy redesign bagi
Universitas Negeri Jakarta yang memiliki kepentingan sebagai wadah Pendidikan
dan terlebih mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memiliki peran dalam
menyampaikan isu-isu nasional terkait Agama baik melalui diskusi-diskusi di
kelas maupun di masyarakat.
3.
Dosen
PAI UNJ. Bisa dijadikan rujukan dalam menyampaikan isu terkait Islam Nusantara menurut
pandangannya di kalangan akademisi kampus maupun masyarakat umum melalui mata
kuliah PAI. Supaya istilah Islam Nusantara ini tidak lagi menjadi bahan
perdebatan dan perbincangan di kalangan masyarakat, baik didalam kampus maupun
diluar kampus.
G.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan oleh penulis yaitu
metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang diarahkan untuk memecahkan
masalah dengan cara memaparkan atau menggambarkan apa adanya hasil penelitian,
kemudian di analisis dengan cara memilah sumber data yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan memutuskan apa yang
menjadi tujuan penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
disebabkan karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengarusutamaan
Islam Nusantara melalui PAI dalam pandangan Dosen PAI UNJ. Dalam penelitian
ini, aspek-aspek yang berhubungan dengan pemahaman Islam Nusantara para tokoh
Islam, Sejarahwan dan Budayawan dideskripsikan dengan tujuan menarik
generalisasi, karena memang dalam penelitian deskriptif ini tidak menggunakan
dan tidak melakukan pengujian hipotesis.[9]
Tetapi lebih banyak mendeskripsikan makna-makna dari aspek-aspek yang terkait
sehingga membentuk satu penjelasan yang utuh mengenai suatu kasus.
H.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data merupakan cara bagaimana data-data yang berkaitan dengan pemahaman Islam
Nusantara. Teknik pengumpulannya dilakukan dengan tiga cara, yaitu pengamatan
(observasi), wawancara (interview), dan dokumentasi. Pengamatan yang dilakukan
peneliti adalah pengamatan dengan mengkaji serta meninjau kinerja dosen PAI UNJ.
Wawancara
dilakukan terhadap dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) secara purposive,
dengan pertimbangan bahwa informan tersebut memiliki pandangan yang actual tentang
Islam Nusantara dan kontribusinya dalam mengarusutamakan Islam Nusantara
melalui mata kuliah PAI. Informan tersebut dianggap dapat memberi pandangan
yang mendalam tentang tema yang diusung dalam penelitian ini.
I.
Teknik analisis data
Hasil pengamatan,
wawancara, dan dokumentasi dituangkan ke dalam bentuk catatan lapangan.
Data-data ini merupakan data-data yang diolah dan dianalisis dengan menggunakan
tiga langkah.[10]
Pertama, melakukan reduksi data. Dalam hal ini data-data yang telah
terekam dalam catatan lapangan (field research), masing-masing akan
dirangkum, diikhtisarkan atau disimpulkan, kemudian dimasukkan ke dalam suatu
kategori tertentu. Kedua, melakukan display data, yaitu data akan
disajikan ke dalam sejumlah matriks yang sesuai. Matriks-matriks display data
tersebut akan digunakan: (a) untuk mencermati dan mengelaborasi data yang telah
direduksi, (b) untuk memudahkan pengkonstruksian dalam rangka menuturkan,
menyimpulkan, dan menginterpretasikan data, (c) sebagai daftar, yang secara
ringkas dan cepat menunjukkan cakupan data yang telah dikumpulkan, sehingga
bila dianggap masih kurang atau belum lengkap, dapat segera “diburu” datanya
pada sumber-sumber yang relevan. Ketiga, mengambil kesimpulan-kesimpulan
tertentu dari hasil pemahaman dan pengertian.
J.
Teknik pengolahan data
Data-data yang
sudah terkumpul melalui pengamatan, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi
akan direduksi, yaitu data-data tersebut dipilah-pilah menjadi berbagai macam
kategori sehingga akan mempermudah menganalisisnya sesuai yang dibutuhkan dalam
penelitian ini. Setelah itu kategori-kategori tersebut akan didisplay, yaitu
diberi komentar-komentar, diikhtisarkan, dan disimpulkan. Jika ternyata dalam
proses display ini ada data-data yang perlu “dikejar” lagi ke lapangan maka
peneliti akan melaksanakannya hingga data tersebut terkumpul secara lengkap.
Dengan demikian penelitian ini dapat mendeskripsikan dan menganalisis data
secara benar.
K.
Sistematika Penulisan
Tulisan ini di
awali dengan abstrak, kata pengantar, daftar isi, dan daftar lampiran.
Sedangkan
bagian inti terdiri dari:
BAB I adalah Pendahuluan. Berisi tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II adalah Kajian Teoritis. Berisi PAI dalam
perspektif Filosofis dan Pedagogik. Kemudian landasan teori tentang Konsep dan
Realita Islam Nusantara mengenai Islam Nusantara perspektif Fiqh, Islam Nusantara
dalam Dimensi Tasawuf, serta Islam dan Aswaja.
BAB III adalah Hasil Penelitian. Berisi tentang
deskripsi data yang dijelaskan menurut tujuan penelitian yaitu konsep Islam
Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ, Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara
dalam pembelajaran PAI, serta Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI
menurut Dosen PAI UNJ.
BAB IV adalah Penutup. Berisi kesimpulan dan saran.
[1] Zainul Milal Bizawie. Meneguhkan Islam
Nusantara, http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara/, diakses pada 30 September 2015
[2] Ade Armando. Jokowi,
Islam Nusantara dan Perang Melawan Keterbelakangan ala Saudi, http://www.madinaonline.id/c907-editorial/jokowi-islam-nusantara-dan-perang-melawan-keterbelakangan-ala-saudi/ diakses pada 30 September 2015
[3] Zidni Nafi’
dan Fathoni. Gus Mus: Kaget Soal Islam NusantaraBerarti Tidak Pernah Ngaji,
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60914-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Kaget+Soal+Islam+Nusantara+Berarti+Tidak+Pernah+Ngaji-.phpx, diakses pada
1 Oktober 2015
[4] Zidni Nafi’
dan Fathoni. Gus Mus: Kaget Soal Islam NusantaraBerarti Tidak Pernah Ngaji,
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60914-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Kaget+Soal+Islam+Nusantara+Berarti+Tidak+Pernah+Ngaji-.phpx, diakses pada
1 Oktober 2015
[5] Ade Armando. Jokowi,
Islam Nusantara dan Perang Melawan Keterbelakangan ala Saudi, http://www.madinaonline.id/c907-editorial/jokowi-islam-nusantara-dan-perang-melawan-keterbelakangan-ala-saudi/ diakses pada 30 September 2015
[6] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 17
[7] Abu Faza. Sejumlah
Kyai NU Tolak Islam Nusantara Jadi Tema Muktamar NU ke-33. http://www.suara-islam.com/read/index/14840/-Sejumlah-Kyai-NU-Tolak-Islam-Nusantara-Jadi-Tema-Muktamar-NU-ke-33, diakses pada 9
Oktober 2015
[8] NU Garis Lurus.
Para Tokoh dan Kiai NU Ini Menentang Islam Nusantara Jadi Tema Muktamar.
http://www.nugarislurus.com/2015/07/para-tokoh-dan-kiai-nu-ini-menentang-islam-nusantara-jadi-tema-muktamar.html#axzz3oVIUS1L6, diakses pada 9 Oktober 2015
[9] Sanapiah
Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 20
[10] Sanapiah
Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 255
BAB II
KAJIAN TEORITIS
KAJIAN TEORITIS
A.
PAI dalam Perspektif Filosofis dan Pedagogik
Pendidikan merupakan suatu proses yang memperkenalkan dan
menginternalisasikan niai-nilai budaya kepada peserta didik. Budaya diartikan
sebagai pandangan dan sikap hidup. Pandangan adalah pola pikir mengenai segala
aspek kehidupan, baik yang terikat dengan diri setiap pribadi maupun dengan
masyarakat. Sedangkan sikap hidup merupakan keseluruhan perilaku dan tindakan
seseorang berdasarkan pada kesadarannya. Pandangan dan sikap hidup ini menjadi
kepribadian seseorang.[1]
Pandangan dan sikap hidup peserta didik diharapkan seperti
dikehendaki materi ajar. Artinya, jika materi ajarnya haq, maka peserta didik
cenderung menjadi manusia yang pandangan dan sikap hidupnya haq dan begitu pula
sebaliknya. Mata kuliah PAI terkait erat dengan soal pandangan dan sikap hidup,
karena mata kuliah ini termasuk kelompok Matakuliah Penegembangan Kepribadian
(MPK). Sehubungan dengan PAI merupakan MPK, maka perlu dijelaskan hal penting
yaitu kedudukan MPK PAI dalam Kurikulum Perguruan Tinggi.[2]
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, menurut Keputusan
Direktur Jenderal Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/Kep/2002 Tentang
Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi, merupakan salah satu mata kuliah kelompok pengembangan kepribadian
(MPK). Visi mata kuliah ini ini menjadi sumber nilai dan pedoman bagi
penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan peserta didik megembangkan
kepribadiannya. Sedangkan misinya adalah membantu peserta didik agar mampu
mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan
seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.[3]
Dalam SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006 pasal 5 dikemukakan
mengenai metodologi pembelajaran MPK, yang meliputi pendekatan, metode, bentuk
aktivitas, dan motivasi. Dalam SK tersebut dikatakan bahwa pendekatan yang
digunakan dalam proses pembelajaran adalah menempatkan mahasiswa sebagai subyek
pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran, dan sebagai umat, anggota
keluarga, masyarakat, dan warga negara. Sedangkan metode yang digunakan adalah
membahas masalah secara kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif
melalui kreatif yang bersifat partisipatoris untuk meyakini kebenaran substansi
dasar kajian. Sementara itu bentuk aktivitas dalam proses pembelajaran adalah
kuliah tatap muka secara bervariasi, ceramah, dialog kreatif, diskusi
interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil dan lainnya yang
lebih menekankan pada pengalaman belajar secara bermakna.[4]
Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan
Islam. Istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif.[5] Pertama,
pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan
diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut, yaitu
al-Qur’an dan Hadits. Kedua, pendidikan Islam dapat berwujud segenap
kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu seorang atau sekelompok
peserta didik dalam menanamkan dan/atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan
nilai-nilainya untuk dijadikan sebagai pandangan hidupnya, yang diwujudkan
dalam sikap hidup dan dikembangkan dalam ketrampilan hidupnya sehari-hari.
Serta segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih
yang dampaknya ialah tertanamnya dan/atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan
nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
Ketiga, pendidikan
Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama,
budaya dan peradaban umat Islam dari generai ke generasi sepanjang sejarahnya.
Dari beberapa definisi tersebut intinya dapat dirumsukan sebagai berikut:
pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau
didirikan dengan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam
kegiatan pendidikannya.
Dalam konteks kajian atau penelitian untuk mengembangkan pendidikan
Islam tersebut, Azra mengemukakan bahwa pola kajian kependidikan Islam di
Indonesia sebagaimana terdapat dalam beberapa literatur yang tersedia. Salah
satunya yaitu kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam. Pengertian inilah
yang menurut Tafsir disebut sebagai pendidikan agama Islam, sebagaimana uraian
di atas.[6]
Secara substansial tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah untuk
menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang
agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal
keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan
pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.[7]
Rumusan tujuan berkenaan dengan apa yang hendak dicapai. Muhammad
al-Munir menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan agama Islam adalah:[8]
1.
Tercapainya
manusia seutuhnya, karena Islam itu adalah agama yang sempurna sesuai dengan
firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3 yang artinya; “….
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan
nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agama bagimu”.
2.
Tercapainya
kebahagiaan dunia dan akhirat, merupakan tujuan yang seimbang, seperti
disebutkan dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201
yang artinya; “Di antara mereka ada yang berkata, Ya Tuhan kami berikanlah
kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari
siksa api neraka”.
3.
Menumbuhkan
kesadaran manusia mengabdi, dan takut kepada Allah SWT sesuai dengan firman-Nya
dalam al-Qur’an surat Adh-Dhariyat ayat 56 yang artinya; “Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku”.
Tujuan pendidikan merupakan hal yang dominan dalam pendidikan,
rasanya penulis perlu mengutip ungkapan Breiter yang mengatakan bahwa “Pendidikan
adalah persoalan tujuan dan fokus. Mendidik anak berarti bertindak dengan
tujuan agar mempengaruhi perkembangan anak sebagai seseorang secara utuh. Apa
yang dapat Anda lakukan bermacam-macam cara, Anda kemungkinan dapat dengan cara
mengajar dia, Anda dapat bermain dengannya, Anda dapat menyensor nonton TV, atau
Anda dapat memberlakukan hukuman agar dia jauh dari penjara”.
Apa yang kita saksikan selama ini, entah karena kegagalan
pembentukan individu atau karena yang lain, nilai-nilai yang mempunyai
implikasi sosial dalam istilah Qodry Azizy disebut dengan moralitas sosial atau
etika sosisal atau AA. Gym menyebutnya dengan krisis akhlak hampir tidak pernah
mendapat perhatian serius. Padahal penekanan terpenting dari ajaran Islam pada
dasarnya adalah hubungan antar sesama manusia (mu’amalah bayina al-nas)
yang sarat dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan moralitas sosial itu.
Bahkan filsafat Barat pun mengarah pada pembentukan kepribadian itu sangat
serius. Nampaknya ungkapan Theodore Roosevelt menarik untuk direnungkan: “to
educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society”
(mendidik seseorang [menekankan] pada otak/pikiran tidak pada moral adalah sama
artinya dengan mendidik atau menebarkan ancaman pada masyarakat).[9]
Sejalan dengan hal tersebut, arah pelajaran etika terdapat di dalam
Al-Qur’an dan secara tegas dijelaskan dalam hadits yaitu “Innama bu’itstu li
utammima shoolihal akhlak”.[10]
Hadits tersebut mengenai tugas Nabi Muhammad SAW diutus yaitu untuk memperbaiki
moralitas bangsa Arab pada waktu itu. Oleh karena itu berbicara mengenai
pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada
penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau
moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam rangka menuai
keberhasilan hidup (hasanah) di dunia bagi anak didik yang kemudian akan
mampu membuahkan kebaikan (hasanah) di akhirat kelak.
Beberapa rumusan di atas menunjukkan bahwa PAI memiliki tujuan yang
luas, dalam, dan kompleks. Keluasan, kedalaman, dan kompleksitas tujuan PAI ini
ternyata telah memunculkan sejumlah masalah dalam pelaksanaan dan
pencapaiannya. Menurut Komaruddin Hidayat, pendidikan agama lebih berorientasi
pada belajar tentang agama sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui
nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan nilai-nilai
ajaran agama yang diketahuinya.
Dari uraian diatas bisa diartikan bahwa pendidikan agama Islam
masih banyak kekurangan yang perlu di evaluasi bersama. Salah satu hal yang
harus di evaluasi dari PAI adalah para pendidiknya. Berdasarkan fakta, banyak
anak didik sekarang yang tidak paham dengan nilai-nilai ajaran agamanya
sendiri. Hal itu disebabkan oleh faktor pendidik yang kurang concern
terhadap pemahaman anak didik.
Sebagai pendidik khusunya di bidang agama, para pendidik diharuskan
memiliki beberapa kompetensi dalam mendidik, salah satunya ialah kompetensi pedagogik.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan pendidik dalam mengelola pembelajaran
peserta didik. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3
butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.[11]
Mulyasa mengemukakan bahwa secara operasional, kemampuan mengelola
pembelajaran menyangkut tiga fungsi manajerial, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
dan pengendalian.[12]
Agar proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, serta
mencapai hasil yang diharapkan, maka diperlukan manajemen sistem pembelajaran.
B.
Definisi Pengarusutamaan
Kata
pengarusutamaan berasal dari kata dasar arus (stream) dan utama (main).
Arus utama jika lebih disederhanakan memiliki makna kebiasaan utama, kebiasaan
umum, perilaku umum, hal yang biasa, hal yang lumrah, dan sesuatu yang memang
sudah nampak wajar dan tidak aneh. Pengarusutamaan merupakan sebuah penggabungan
kata yang ditambah dengan tambahan pe- dan –an. Dalam bahasa Inggris, kata
pengarusutamaan biasa dikenal dengan kata “mainstream”.[13]
Pengertian mainstream
ini kadang juga bisa dikondisikan sesuai penggunaannya. Artinya, sesuatu yang
sebelumnya tidak menjadi mainstream bisa menjadi mainstream. Munculnya istilah ini dipengaruhi karena kata
tersebut memiliki antiesis atau lawan katanya, yakni anti mainstream.
Istilah ini selalu merujuk pada sesuatu yang berhubungan dengan kebalikan dari
kata yang diikutinya. Hal ini berarti bahwa anti mainstream merupakan sesuatu hal
yang tidak biasa, perilaku yang tidak umum, sifat yang tidak biasa. Atau
hal-hal lainnya yang kadang tidak wajar dan sering mengarah pada pengertian
sesuatu yang unik, kreatif, dan beda.
Dalam
teknologi, istilah mainstream juga bisa digunakan. Contohnya dalam hal
penggunaan ponsel atau handphone. Pada saat dulu orang banyak menggunakan
handphone merek Nokia, maka setiap orang yang menggunakan handphone Nokia
adalah orang-orang yang mainstream. Soal lain misalnya, ketika prosesor AMD
belum dikenal banyak orang, maka tentu saja pengguna prosesor Intel adalah
pengguna mainstream karena banyak orang yang menggunakannya.
Begitupun dalam
bahasa Ilmiah, kata mainstream atau arus utama seringkali digunakan dalam
penulisan sebuah artikel, skripsi, dan lain sebagainya. Salah satu penggunaan
kata pengarusutamaan yang sering ditemui yaitu kata pengarusutamaan gender atau
PUG. Jadi maksud dari kata pengarusutamaan disini ialah menjadikan istilah yang
tidak populer di telinga masyarakat menjadi sesuatu yang populer atau biasa
didengar di kalangan masyarakat. Dalam hal ini istilah yang dimaksud yakni
istilah Islam Nusantara yang masih asing terdengar di masyarakat menjadi
lebih populer di kalangan umat Islam di Indonesia (Nusantara).
C.
Islam Nusantara : Antara Konsep dan Realita
1.
Islam Nusantara Perspektif Fiqh
Istilah Islam Nusantara terdengar ganjil di telinga masyarakat
Indonesia, sama halnya dengan Islam Malaysia, Islam Saudi, Islam Amerika, dan
seterusnya, karena pada dasarnya Islam itu hanya satu dan memiliki landasan
yang satu yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi selain memiliki landasan nash-nash
syariat (Al-quran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqashid
syariah (tujuan syariah). Maqashid syari’ah sendiri digali dari nash-nash
syariah melalui sekian istiqra’ (penelitian induktif).[14]
Islam Nusantara sejatinya bukanlah gagasan yang tiba-tiba tercipta
belakangan ini saja, melainkan sudah diwacanakan sejak lama di Indonesia, meski
tidak memakai label “Islam Nusantara”. Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam
pidatonya pada Dies Natalis pertama IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada 1961
sudah melontarkan ide tentang perlunya “Fikih Indonesia”, yakni fikih yang
ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak
Indonesia.
Sementara itu, pada dekade 80-an, Abdurrahman Wahid tampil dengan
idenya “pribumisasi Islam”. Di sini Gusdur dengan tegas menyatakan bahwa
pribumisasi Islam “tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah
manifestasi dari kehidupan agama Islam”. Selain itu, “pribumisasi Islam” tidak
lantas menempatkan Islam dalam subordinasi budaya dan tradisi, tidak pula
melakukan “jawanisasi” atau sinkretisme. Tujuannya adalah bagaimana agar
Islam dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk
kesadaran hukum dan ras keadilannya, dan bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan
lokal dipertimbangkan dalam merumuskan hukum agama, tanpa mengubah hukum itu
sendiri.[15]
Apa yang dilontarkan Hasbi tentang “fikih Indonesia” dan Gus Dur
tentang “pribumisasi Islam” pada dasarnya menekankan pentingnya menjadikan ‘urf
(adat, budaya) dan kebutuhan lokal sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan
hukum Islam. Dan tidak diragukan lagi, ini merupakan salah satu elemen utama
dalam konsepsi Islam Nusantara. Asumsi utama gagasan Islam Nusantara adalah
untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan atau
kemudharatan. Kemaslahatan dan kemafsadatan tersebut mesti mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat. Dengan kata lain, perubahan hukum sangat
mungkin terjadi manakala terjadi perubahan situasi dan kondisi masyarakatnya.[16]
2.
Islam Nusantara dalam Dimensi Tasawuf
Pada era
globalisasi seperti sekarang, semakin banyak budaya-budaya dari luar yang masuk
ke Indonesia dengan mudah. Hal ini bisa berdampak pada memudarnya nasionalisme
generasi muda kita. Karena itu, penting revitalisasi wacana agama dan budaya
demi memperbarui keyakinan kita mengenai kongruensi agama dan budaya. Kedua hal
ini memiliki keterkaitan satu sama lain yang tidak bisa dipisahkan. Budaya bisa
muncul di tengah masyarakat karena didalamnya ada unsur agama yang mempengaruhi
salah satunya. Keberagaman suatu kaum bisa juga memunculkan sebuah kebudayaan
baru ditengah kaum tersebut.
Menurut Dr. Haidar
Baghir, ada beberapa cara yang dapat dipakai dalam memandang hubungan agama dan
budaya maupun hubungan antara kebudayaan dan keberagaman. Pertama,
melihat agama dan menghargai budaya sebagai sumber kearifan. Kedua,
melihat budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat Nabi-nabi
yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat Manusia. Dengan demikian, bukan
saja budaya boleh dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate),
kalau tidak malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.[17]
Dalam Tasawuf
teoritis (‘Irfan), Tuhan dipercayai sebagai Wujud Transenden, yang pada
saat yang sama, bermanifestasi atau mengejawantah dalam ciptaan-ciptaan-Nya.
Dengan kata lain, setiap makhluk membawa dalam dirinya nama sifat/ayat (tanda)
Allah SWT. Sehingga, dalam konteks ini, Tuhan memiliki 2 sifat –paradoksal
sekaligus, yaitu sifat transenden (tanzih) dan sifat imanen (tasybih)
terhadap ciptaan-Nya. Dalam kaitan ini, setiap ciptaan, sesuai dengan
sifat-sifat bawaannya merupakan wadah pengejawantahan Tuhan. Inilah ajaran
utama dalam paham tauhid wujudi (kesatuan wujudi/eksistensial) atau
wahdah al-wujud (kesatuan wujud).[18]
Paham panteisme (tauhid
wujudi) ini merupakan paham yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh
para anggota Walisongo dan juga Syaikh Siti Jenar, mereka inilah para guru dari
paham Panteisme tersebut. Paham ini mempunyai pengaruh yang cukup besar di
Nusantara, tidak hanya di tanah Jawa, akan tetapi juga kuat pengaruhnya di luar
Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya budaya yang terbentuk di bawah pengaruh
agama-agama asli Indonesia seperti Kapitayan, Sunda Wiwitan, dan Kaharingan.
Dengan
mempromosikan budaya lokal Indonesia dengan keakraban Islam, tidak berarti kita
kehilangan penglihatan akan adanya kemungkinan inkongruensi ajaran qath’i
dengan unsur-unsur budaya lokal dalam perkembangannya sampai sekarang. Budaya
lokal bisa merupakan bagian dari tajalliy Allah SWT, atau warisan
keagamaan Nabi-Nabi terdahulu. Maka di sini sikap kritis-dialogis perlu
dikembangkan agar keakraban agama Islam dengan budaya lokal Indonesia. Sebaliknya
dari mendistorsi ajaran Islam, malah bisa jadi memperkuat akarnya dalam masyarakat.[19]
Ulama Nusantara secara tradisional menerapkan prinsip strategis
untuk melaksanakan hal otentitas ajaran Islam. Mereka memastikan fokus yang
berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritual Islam (tasawuf), agar
semangat utama agama, sebagai sumber dari cinta dan kasih sayang universal,
tidak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa) yang berkaitan dengan
norma formal dalam hukum Islam. Ulama Nusantara memperkenalkan mistisisme
(tasawuf) dan berbagai jenis persaudaraan spiritual (tarekat) yang didirikan
oleh para ulama pendahulu di Timur Tengah kepada komunitas lokal di seluruh
kepulauan Hindia Timur. Ajaran mistisme Islam ini mendapatkan respons yang
hangat dari penduduk lokal dan kemudian menjadi wajah yang mencirikan Islam
Nusantara.[20]
Faktanya, mistisme
Islam menjadi penarik utama bagi komunitas lokal Nusantara, karena ajaran ini
sejalan dengan tradisi mistik yang mendominasi kawasan ini. Dalam sebuah
artikel di Strategic Review yang berjudul “Ide Besar dari Indonesia:
Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” K.H. A. Mustofa Bisri
dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisme Islam yang telah
lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi spiritual atau warisan
budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar Nusantara.
3.
Aswaja dan Islam Nusantara
a). Aswaja
Aswaja merupakan singkatan dari Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Aswaja adalah paham keagamaan yang dianut dan diajarkan oleh
mayoritas ulama di dunia Islam. Aswaja merupakan paham keislaman yang sudah diajarkan
oleh para ulama salaf generasi sahabat dan tabi’in, yang dikenal moderat (tawasuth,
tawazun, i’tidal), dan menghindari anarki atau kekacauan dalam masyarakat.[21]
Mereka ini tetap konsisten menjaga Sunnah Rasulullah dan para sahabat hingga
bisa kita warisi sekarang ini. Mereka juga mendahulukan konsensus
(musyawarah) dan kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam.
Pilar pertama
adalah sebutan Ahlusunnah, pilar ini membantu menjaga cara Beragama dan Islam
kita tetap otentik (asli), istiqamah dan tidak melenceng kemana-mana. Pilar ini
menjadi penjaga dan pengawal agar kita tetap konsisten di jalur yang benar atau
dalam rel yang hakiki. Kata sunnah atau hadist menunjukan bahwa kita berdiri di
atas garis-garis ajaran yang disampaikan Rasullah SAW.[22]
Salah satu instrument utama yang menjaga Islam kita tetap otentik dan istiqamah
adalah adanya garis sanad atau kesinambungan tak terputus dalam periwayatan
hadits dan ilmu-ilmu agama hingga ke Rasulullah SAW. Para ulama kita begitu
ketat dalam menjaga kesinambungan garis sanad keilmuan maupun amalan keagamaan
kala mengajarkan Islam kepada para santri maupun umat.
Pilar kedua adalah
Waljama’ah, kolektifitas atau kelompok mayoritas. Ini berartikan Aswaja itu
tidak cukup Sunnah. Harus ada komponen jama’ah atau umatnya. Umat Islam harus
juga berjama’ah, jangan menyendiri alias egois. Karena tidak ada arti Sunnah
kalau tidak ada yang mengamalkan. Yang membuat arti Sunnah dan hadits itu
menjadi Sunnah adalah karena ada orang banyak yang mengamalkannya. Itulah
Sunnah Rasulullah SAW, Sunnah para sahabat, dan Sunnah para tabi’in.[23]
Kedua generasi terakhir ini disebut sebagai generasi ulama Salaf. Sunnah mereka
merupakan penjelasan, pengamalan dan penjabaran langsung Sunnah Rasulullah.
Karena generasi sahabatlah yang melihat dan bertemu langsung dengan Rasulullah.
b). Islam Nusantara Perspektif Nahdhatul
Ulama (NU)
Islam merupakan agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat
bagi alam semesta, sesuai yang tercantum dalam Q.S. al-Anbiya’ ayat 107.
Ajaran-ajarannya selalu membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia di dunia
ini. Allah SWT sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut
dalam Q.S. Thaha ayat 2, “Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad)
agar kamu menjadi susah”.[24]
Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk al-Qur’an ini, akan
dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan
akhirat.[25]
Kata “Nusantara” sendiri adalah kata benda majemuk yang berasal
dari bahasa Jawa Kuno: nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang). Dalam
kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar tahun 1365 M, Empu Prapanca--seorang
penulis sekaligus pendeta Budhha--menggambarkan wilayah penyusun Nusantara
dengan memasukkan sebagian besar pulau-pulau dalam wilayah Indonesia modern
(Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, sebagian
dari Maluku dan Papua Barat).[26]
Pendiri Nahdhatul Ulama KH Hasyim Asyari pernah menyinggung sebuah
negeri kepulauan di Asia Tenggara dengan menggunakan diksi “Negeri Jawa”. Diksi
ini muncul dalam kitabnya yang berjudul Risalat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Penggunaan diksi “negeri Jawa” tersebut bukanlah ekspresi politik sektarian di
tengah masyarakat Nusantara yang multikultural dan multietnis. Diksi ini hanya
mengikuti kebiasaan para ulama Timur Tengah, Jazirah Arab, dan Afrika pada saat
itu. Merujuk pada maksud diksi “negeri Jawa” tersebut yang mencakup wilayah
Asia Tenggara, dalam sejarah kepulauan tersebut juga dikenal dengan diksi
“Nusantara”.
Hampir semua pakar sejarah sepakat bahwa penyebaran Islam di
Nusantara melalui proses yang “difusif” dan “adaptif”, dan sebagian besar
sangat menghindari metode penaklukan militer. Sebagaimana Hinduisme dan Budhisme
sebelumnya, Islam “menyatu” dan secara bertahap diserap menjadi budaya lokal
yang unggul di Nusantara. Islam datang sebagai tamu yang pada gilirannya
menjadi bagian dari keluarga. Karena itulah Islam Nusantara menunjukkan
karakter yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia Muslim
lainnya.[27]
Di Timur Tengah misalnya, Islam secara umum dipandang sebagai
sistem sosio-religio-politik yang “lengkap”, “final” dan otoritatif, yang tidak
memberikan pilihan lain selain menaati aturan konstruksi final tersebut. Di
sisi lain, Islam di Nusantara selalu dalam kondisi belajar terus menerus. Lebih
dari 600 tahun, para pemuka agama Nusantara secara berhati-hati mempelajari
realitas sosial demi memastikan cara paling elegan untuk mencapai tujuan mereka
sembari menjaga harmoni dalam masyarakat yang amat pluralistik di sini.
Meskipun Islam Nusantara berbeda dengan model Islam di Timur Tengah,
ini bukan berarti ia membuat semacam bid’ah. Ulama kenamaan dan para pemimpin
Islam di Hindia Timur pun sangat berhati-hati dan waspada dalam memastikan
bahwa cara mereka mempraktikkan dan menyebarkan Islam segaris dengan ajaran
fundamental dalam Islam. Dengan kata lain, model Islam Nusantara adalah turunan
otentik dari Islam Ahlussunah wal Jama’ah, yang dijaga dan diajarkan oleh para
ulama otoritatif.[28]
Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan
nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat
istiadat di tanah air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan
lokal (Local Wisdom) di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun
justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak
tersebar di wilayah Indonesia. Para ulama telah mencoba mengadopsi kebudayaan
lokal secara selektif, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam
perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama,
walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.[29]
Kehadiran Islam tidak untuk menentang dan merusak tradisi yang
sudah ada. Akan tetapi Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi
dan budaya yang sudah ada secara bertahap. Pertemuan antara Islam, adat, dan
tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan
(pesantren), serta sistem kesultanan. Tradisi itulah yang kemudian disebut
dengan istilah Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi
dan budaya Nusantara.
Islam Nusantara itu bukan “agama baru” sebagaimana yang
dikhawatirkan beberapa kalangan yang sudah jenuh dengan konflik Syiah-Wahabi.
Islam Nusantara juga bukan “aliran baru” seperti ketakutan beberapa orang yang
telah masuk dalam pusaran pertentangan JIL-Anti JIL. Islam Nusantara merupakan
wajah keislaman yang ada di kawasan Asia Tenggara, termasuk didalamnya adalah
Indonesia. Ajaran Islam yang terimplementasi di tengah masyarakat yang mental
dan karakternya dipengaruhi oleh struktur wilayah kepulauan. Praktik keislaman
tersebut tercermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth),
menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh).[30]
Banyak naskah yang sudah menunjukkan rekam jejak Islam Nusantara
sebagai potret kehidupan masyarakat Muslim Nusantara. Potret masyarakat
tersebut tercermin dari pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah perspektif NU yang
memiliki karakter moderat, menjaga keseimbangan, dan toleran (tawassuth,
tawazzun, dan tasamuh). Tiga karakter tersebut dapat dirasakan kehadirannya
didalam kehidupan sehari-hari baik itu kehidupan sosial, ekonomi, maupun
politik.
c) Hubungan antara Aswaja dan Islam Nusantara
Islam Nusantara
itu berpatokan pada Aswaja dalam dua pilarnya. Pertama, ada disiplin ketat mengikuti
Sunnah Rasulullah SAW. Kedua, ada dukungan mayoritas masyarakat. Karena Islam
Nusantara tidak akan mungkin hidup tanpa dukungan masyarakat yang mengamalkannya,
yakni jama’ah.[31]
Maka dari itu keduanya memiliki keterkaitan yang signifikan.
Islam sebagai
ajaran normatif dari sumber Al-quran dan Sunnah sebagaimana sudah diterangkan,
harus diamalkan dalam bahasa Nusantara. Islam Nusantara memberikan arahan
tentang cara berekonomi dan berperadaban yang spesifik dalam konteks negeri
laut dan kepulauan ini. Seperti halnya penduduk padang pasir atau penduduk
kutub utara punya cara sendiri pula berekonomi dan beperadaban menyiasati
lingkungan alam sekitarnya yang berbeda-beda itu.
Aswaja dan Islam
Nusantara ini adalah hasil ijma ulama, bukan karangan kelompok-kelompok yang
tidak jelas garis keilmuannya ke Sunnah maupun jama’ah. Ijma’ atau kesepakatan
ulama itu sendiri adalah dalil ketiga dalam kerangka berpikir mazhab Syafi’i.
[1] Djaelan
Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama
Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 2
[2]
Djaelan Husnan,
Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan
Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 2
[3] Muhaimin. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah, dan Perguruan Tinggi.
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 41
[4]
Djaelan Husnan,
Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan
Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 5
[5] Muhaimin. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah, dan Perguruan Tinggi.
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 7
[6] Muhaimin. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah, dan Perguruan Tinggi.
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 9
[7] Abdul Majid
dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 135
[8] Abdul Majid
dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 74
[9] Abdul Majid
dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 136
[10] Kitab Ahmad,
Hadits nomor 8595.
[11] Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah RI tentang Pendidikan (Jakarta: 2006), h. 230
[12] E. Mulyasa. Standar
Kompetensi Sertifikasi Guru. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007). h. 77
[13]
Plimbi Editor. Apa
Arti Mainstream dan Penggunaannya di Kehidupan Sehari-hari dan Teknologi?, http://www.plimbi.com/news/158536/arti-mainstream-dan-penggunaannya, diakses pada
24 Januari 2016
[14] Dikutip dari
pengantar KH. Afifuddin Muhajir dalam buku Islam Nusantara: Ijtihad Jenius
& Ijma’ Ulama Indonesia. Karya Ahmad Baso, 2015.
[15] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 17
[16] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 18
[17] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 176
[18] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 177
[19] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 180
[20] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 196
[21]
Ahmad Baso. Islam
Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka
Afid, 2015), h. 26
[22]
Ahmad Baso. Islam
Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka
Afid, 2015), h. 27
[23]
Ahmad Baso. Islam
Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jakarta: Pustaka
Afid, 2015), h. 28
[25] Djaelan
Husnan, Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama
Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h. 206
[26] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 191
[27] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 195
[28] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 196
[29]
Djaelan Husnan,
Zakiyah Darajat, dkk. Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agama Rahmatan
Lil ‘Alamin (Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015), h.219
[31] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 30
BAB III
HASIL PENELITIAN
A.
Deskripsi Data
1.
PAI di UPT MKU UNJ
UPT MKU UNJ adalah Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum di kampus
Universitas Negeri Jakarta. UPT MKU di serahi tugas untuk mengkoordinir Mata
Kuliah Umum di tingkat Universitas. Ada beberapa mata kuliah yang dikoordinir
oleh UPT MKU di UNJ.[1]
Diantaranya yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Agama Non Islam (3 SKS),
Pendidikan Kewarganegaraan (2 SKS), Pendidikan Pancasila (2 SKS), Bahasa
Indonesia (2 SKS), Bahasa Inggris (2 SKS), Ilmu Sosial Budaya Dasar (2 SKS),
Ilmu Kealaman Dasar ( 2 SKS).
UPT MKU Universitas Negeri Jakarta mempunyai Visi dan Misi dalam
melaksanakan tugasnya sebagai Unit Pelaksana Teknis Mata Kuliah Umum.[2]
UPT MKU mempunyai dua Visi yaitu sebagai berikut :
a.
Menjadikan
unit kerja yang berkualitas dan berintegritas dalam melaksanakan pendidikan dan
pembelajaran mata kuliah umum.
b.
Menjadi
Unit percontohan dalam tata kelola administrasi pembelajaran pengembangan
kepribadian bangsa.
Sedangkan Misi UPT MKU ada enam yaitu sebagai berikut :
a.
Melaksanakan
pendidikan dan pembelajaran mata kuliah umum sesuai dengan aturan dan/atau
prosedur yang berlaku dan tuntutan kemajuan jaman.
b.
Menciptakan
suasana belajar yang menyenangkan melalui pelatihan dosen dan pengayaan bahan
ajar.
c.
Melaksanakan
pelayanan administrasi pendidikan dan pembelajaran kepada civitas akademika dan
unit kerja terkait dengan santun melalui pemanfaatan Teknologi.
d.
Melaksanakan
pembinaan dan pelatihan staf pengajar mata kuliah umum untuk menopang
pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang jujur dan profesional.
e.
Menjalin
kerjasama operasional dengan pihak lain yang relevan untuk menopang pelaksanaan
pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas dan berintegritas.
f.
Mengembangkan
Nilai-nilai kepribadian bangsa melalui penerbitan e-jurnal Kajian Nilai.
Itulah Visi dan Misi dari UPT MKU UNJ. Dengan Visi dan Misi
tersebut diharapkan UPT MKU bisa menjalankan perannya dengan baik. Untuk menjalankan
Visi dan Misi dengan baik, tentunya harus disertai manajemen yang bagus pula.
Agar tercapai Visi dan Misi yang sesuai dengan keinginan, maka dibentuklah
struktur organisasi UPT MKU.
Untuk menjalankan kegiatan pembelajaran, UPT MKU dibantu oleh dosen-dosen
dari berbagai Jurusan/Prodi yang ada di UNJ. Dosen UPT MKU terdapat dua
kategori yaitu Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap. Dosen Tetap UPT MKU berjumlah
55 orang,[3]
sedangkan Dosen Tidak Tetap berjumlah 42 orang.[4]
Jadi keseluruhan Dosen MKU berjumlah 97 orang. Latar belakang para dosen
tersebut tentunya berbeda-beda, ada yang bergelar Magister dan juga bergelar
Doktor yang semuanya masih aktif sebagai Dosen di kampus UNJ.
Pembelajaran PAI di kampus UNJ menurut UPT MKU memiliki dasar
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi yaitu berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/U/2000. Dari Kepurusan Mendiknas
tersebut lahir Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Matakuliah Perkembangan Kepbribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.
Setelah itu disusul dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No.
3698/D/T/2002 tentang Pelaksanaan Keputusan Dirjen Dikti diatas bagi dosen MPK
dan akhirnya lahir Modul Acuan Proses Pembelajaran (MAPP).[5]
PAI dalam Kurikulum Perguruan Tinggi mempunyai kedudukan yang sama
dengan matakuliah lain yang termasuk MPK inti yang wajib diberikan dalam
kurikulum setiap program studi. Tujuan dari Pendidikan Agam Islam (PAI) dalam
matakuliah di Perguruan Tinggi adalah “Mengantarkan mahasiswa sebagai modal
(kapital) intelektual dalam melaksanakan proses belajar sepanjang hayat, untuk
menjadi ilmuwan yang berkepribadian dewasa dan menjunjung tinggi kemanusiaan
dan kehidupan”.
Sedangkan tujuan pendidikan agama menurut Said Muhammad Qutub
adalah untuk menyiapkan manusia yang saleh, yaitu manusia yang bertaqwa,
mengabdi kepada Allah dan selalu mengikuti petunjuk-Nya. Sementara Mahmud Yunus
merumuskan tujuan PAI adalah untuk menciptakan anak-anak supaya pada waktu
dewasa kelak mereka cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan-amalan akhirat,
sehingga tercipta kebahagiaan dunia akhirat. Sedangkan Ahmad D. Marimba
berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam ialah terbentuknya kepribadian
Muslim.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan PAI adalah
untuk membentuk manusia mulia sejati serta cakap dalam melaksanakan pekerjaan
duniawi dan ukhrawi. Membentuk manusia yang berkepribadian Muslim sejati, yang
berarti membentuk manusia melalui pendidikan Islam. Maka kepribadian tersebut
akan menjadi ciri tertentu yang membedakan dengan kepribadian di luar orang
Muslim.[6]
2.
Profil Informan
Penelitian ini dilakukan dengan wawancara intensif dikampus UNJ
dengan beberapa dosen pengampu matakuliah Pendidikan Agama Islam (PAI). Dosen
PAI di UNJ menurut informasi yang penulis peroleh berjumlah 20 orang. Dari 20
orang tersebut, penulis hanya memilih 6 dosen saja (30%) untuk dijadikan
informan. Penulis memilih 6 dosen tersebut atas arahan dari kepala UPT MKU dan
atas ketersediaan waktu dari para informan untuk dimintai wawancara.
Selain itu, alasan penulis memilih dosen-dosen tersebut dikarenakan
oleh latar belakang pendidikan para informan yang konsen pendidikannya memiliki
keterkaitan dengan tema dari judul penelitian ini. Penulis berpendapat bahwa
dosen-dosen tersebut memiliki kualitas untuk dijadikan informan dan mempunyai
pemahaman yang cukup luas terkait dengan judul penelitian. Maka dari itu,
penulis memilih 6 dosen tersebut untuk dijadikan informan.
Dosen PAI yang menjadi informan dalam penelitian ini terdiri dari 4
orang laki-laki dan 2 orang perempuan dengan rincian 2 orang bergelar Doktor,
dan 4 orang bergelar Magister. Dosen-dosen tersebut yaitu pertama, Dr.
Zakiya Darajat, M.A. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang
Sejarah Pendidikan Islam. Kedua, Dr. Noor Rachmat, M.Ag. dengan latar
pendidikan nya adalah dalam bidang Teologi dan Studi-studi Agama. Ketiga, Firdaus
Wajdi, MA. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang Hadits. Keempat,
Drs Yusuf Ismail, M.A. dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam
bidang Pemikiran Islam. Kelima, Sari Narulita, Lc. M.Si. dengan latar
pendidikannya adalah dalam bidang Fiqih. Dan Keenam, Abdul Fadhil, M.A.
dengan latar belakang pendidikannya adalah dalam bidang Sejarah Peradaban
Islam.
B.
Konsep Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ
Tabel 3.1.
Pengelompokan Konsep Islam Nusantara
menurut Dosen PAI.
NO.
|
NAMA DOSEN
|
KONSEP ISLAM NUSANTARA
|
TEORI
|
KATEGORI
|
1.
|
Zakiya
Darajat
|
Islam
Nusantara merupakan istilah baru dari “Pribumisasi Islam’ yang di gagas oleh
Gusdur pada tahun 1980an. Islam Nusantara pada hakikatnya ingin menyegarkan kembali atau me“recycle” kalangan
umat Islam yang menganggap bahwa ajaran Islam yang otentik hanyalah Islam
yang berasal dari Arab saja. Maka Islam-Islam di Indonesia yang didalamnya
ada tradisi-tradisi nenek moyang bukanlah Islam yang otentik menurut kalangan
tersebut. Bisa disebut hal itu merupakan kalangan Islam yang fundamentalis
|
Pribumisasi Islam yang digagas oleh Gusdur
|
Fiqh
|
2.
|
Noor Rachmat
|
Islam
Nusantara yaitu Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul akan tetapi
berwawasan Nusantara. Berwawasan Nusantara memiliki arti bahwa Islam yang
berdasarkan latar belakang dan budaya Indonesia, bukan berdasarkan budaya
India, budaya Arab, dan lain-lain. Sehingga dalam pengembangan dakwah Islam
di Indonesia berbeda dengan pengembangan dakwah di negara Islam lainnya.
Latar belakang Islam di Indonesia berbeda dengan latar belakang Islam di
negara-negara Eropa maupun di Timur Tengah.
|
Dr. Haidar Baghir tentang hubungan antara budaya dengan agama.
|
Tasawuf
|
3.
|
Firdaus Wajdi
|
Islam
Nusantara bisa dipahami seperti kaidah bahasa Arab, dalam hal ini dipahami
secara Idhofah. Islam Nusantara kalau dalam bahasa Arab strukturnya
seperti Islam fii Nusantara, hanya fii nya tersebut tidak
kelihatan. Jadi Islam Nusantara ini maksudnya adalah aktivitas atau aplikasi
pengamalan Islam oleh orang-orang Muslim di Nusantara. Tetapi kalau ajaran
Islam nya sendiri sama dengan ajaran Islam yang lain.
|
KH. Mustofa Bisri tentang Mistisme Islam.
|
Tasawuf
|
4.
|
Sari Narulita
|
Islam
Nusantara adalah Islam dengan aplikasi penerapannya sesuai dengan budaya (Indonesia)
Nusantara. Aplikasi nilai Islam menyesuaikan diri dengan budaya muslim
setempat, yaitu Islam yang mudah diterima oleh siapapun dan darimanapun.
|
Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie tentang Fikih Indonesia
|
Fiqh
|
5.
|
Yusuf Ismail
|
Islam
Nusantara yaitu Islam yang bercorak Nusantara, Islam yang bercorak budaya
lokal Indonesia. Dalam hal ini budaya lokal di Indonesia berasimilasi dengan
ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud disini ialah budaya lokal yang
positif dan yang tidak bertentangan dengan Islam. Meskipun istilah Islam
Nusantara bisa menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Karena di Indonesia
(Nusantara) ini ada dua jenis budaya yaitu budaya yang disesuaikan dan ada
budaya yang ditolak.
|
Pribumisasi
Islam gagasan Gusdur
|
Fiqh
|
6.
|
Abdul Fadhil
|
Islam
Nusantara adalah Islam yang ada di Indonesia yang sudah bercampur dengan
budaya setempat. Budaya dan Islam di Indonesia merupakan dua hal yang tidak
bisa dipisahkan karena keduanya sudah melebur menjadi satu menjadi sebuah
tradisi. Tradisi yang dimaksud disini yaitu tradisi-tradisi Islam yang
dicampuri dengan budaya seperti tahlilan dan ziarah kubur.
|
Pribumisasi
Islam gagasan Gusdur
|
Fiqh
|
Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan
nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat
istiadat di tanah air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan
lokal (Local Wisdom) di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun
justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar
di wilayah Indonesia. Para ulama telah mencoba mengadopsi kebudayaan lokal
secara selektif, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam
perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama,
walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Menurut Zakiya Darajat,[7] Islam Nusantara merupakan
istilah baru dari “Pribumisasi Islam’ yang di gagas oleh Gusdur pada tahun 1980an.
Menurut beliau, Islam Nusantara pada hakikatnya ingin menyegarkan kembali atau me“recycle” kalangan
umat Islam yang menganggap bahwa ajaran Islam yang otentik hanyalah Islam yang berasal
dari Arab saja. Maka Islam-Islam di Indonesia yang didalamnya ada tradisi-tradisi
nenek moyang bukanlah Islam yang otentik menurut kalangan tersebut. Bisa disebut
hal itu merupakan kalangan Islam yang fundamentalis.[8]
Komentar dari Zakiya Darajat tersebut sejalan dengan gagasannya Gus
Dur tentang Pribumisasi Islam. Gusdur menyatakan bahwa pribumisasi Islam
“tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan
agama Islam”. Tujuannya adalah bagaimana agar Islam dipahami dengan
mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan ras
keadilannya, dan bagaimana agar kebutuhan-kebutuhan lokal dipertimbangkan dalam
merumuskan hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.[9]
Maka dari itu Islam Nusantara muncul untuk meluruskan polemik yang
terjadi dengan menggagas Pribumisasi Islam. Bahwa adanya Islam di Indonesia
dengan segala pernak-perniknya tersebut merupakan Islam. Tidak ada klaim bahwa
Islam yang otentik hanyalah Islam yang berasal dari Arab.
Sedangkan menurut Sari Narulita,[10]
istilah Islam Nusantara baru terkenal reputasinya akhir-akhir ini, tetapi
terjadi pro kontra (menolak) dalam pemahaman dalam memaknai istilah
tersebut. Pihak kontra memahaminya bagaimana
Islam disesuaikan dengan budaya setempat sehingga Islam terkesan lebih rendah
dibandingkan budaya, hingga hal ini berdampak pada haramnya istilah ini. Islam
adalah Islam yang tidak bisa dikotak-kotakkan dengan beragam jenis dan aliran.
Sedangkan pihak yang
pro
(setuju) memahaminya
bagaimana aplikasi nilai Islam menyesuaikan diri dengan budaya muslim setempat.
Dengan pemahaman yang terakhir inilah, dipahami bahwa Islam mudah diterima oleh
siapapun dan darimanapun. Bila aplikasi nilainya bisa disesuaikan dengan budaya
setempat, tidak harus mengikuti budaya Arab, tempat dimana Islam pertama kali
muncul. Dengan demikian, maka Islam Nusantara adalah Islam dengan aplikasi
penerapannya sesuai dengan budaya (Indonesia) Nusantara.[11]
Pendapat tersebut sejalan dengan gagasan yang dilontarkan oleh
Prof. Hasbi Ash-Shiddiqie yaitu tentang fikih Indonesia. Yang didalamnya
menyatakan bahwa fikih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian, tabiat, dan
watak orang Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa Islam di Indonesia
merupakan Islam penerapannya sesuai dengan adat dan budaya yang sudah ada di
Indonesia sebelum Islam itu sendiri datang.
Selanjutnya menurut Firdaus Wajdi,[12] istilah Islam Nusantara ini muncul kembali dalam tema Muktamar NU
di Jombang pada bulan Mei 2015 lalu. Istilah ini sempat menjadi perdebatan
karena ada sebagian orang yang salah memahami konsep Islam Nusantara.
Diantaranya ada yang memahami bahwa seakan-akan orang-orang yang ada di
Indonesia dan sekitarnya yang terkenal dengan kawasan Nusantara ini ingin membuat
warna Islam tersendiri yaitu Islam Nusantara.
Islam Nusantara bisa dipahami seperti kaidah bahasa Arab, dalam hal
ini dipahami secara Idhofah. Islam Nusantara kalau dalam bahasa Arab
strukturnya seperti Islam fii Nusantara, hanya fii nya tersebut
tidak kelihatan. Jadi Islam Nusantara ini maksudnya adalah aktivitas atau
aplikasi pengamalan Islam oleh orang-orang Muslim di Nusantara. Tetapi kalau
ajaran Islam nya sendiri sama dengan ajaran Islam yang lain.[13]
Pendapat tersebut sesuai dengan pendapatnya KH. A. Mustofa Bisri
dalam sebuah artikel tentang Mistisme (Tasawuf) yang berjudul “Ide Besar dari
Indonesia: Menyelesaikan Perdebatan Global yang Pahit atas Islam” K.H. A.
Mustofa Bisri dan C. Holland Taylor mendeskripsikan elemen-elemen mistisme
Islam yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari orientasi spiritual
atau warisan budaya Nusantara dan yang membentuk karakter dasar Nusantara.
Jadi Islam Nusantara ini hanyalah sebuah konsep yang menggabungkan
antara ajaran Islam dengan budaya lokal di Indonesia. Budaya dan agama yang
telah bercampur tersebut menjadikan sebuah tradisi yang khas yaitu tradisi
Islam di bumi Nusantara atau Indonesia. Islam Nusantara ini bukan merupakan
ajaran baru atau agama baru, akan tetapi Islam Nusantara ini adalah sebuah
aplikasi pengamalan Islam di Indonesia.
Kemudian menurut Noor Rachmat,[14] Islam Nusantara yaitu Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul akan tetapi berwawasan Nusantara. Berwawasan Nusantara memiliki arti
bahwa Islam yang berdasarkan latar belakang dan budaya Indonesia, bukan
berdasarkan budaya India, budaya Arab, dan lain-lain. Sehingga dalam
pengembangan dakwah Islam di Indonesia berbeda dengan pengembangan dakwah di
negara Islam lainnya. Latar belakang Islam di Indonesia berbeda dengan latar
belakang Islam di negara-negara Eropa maupun di Timur Tengah.
Corak Islam di Indonesia yaitu masyarakat penganut animisme,
budhisme, hinduisme. Corak masyarakat yang berbeda inilah yang pada akhirnya
didakwahi oleh Walisongo untuk menyebarkan Islam secara bijaksana. Makanya
tidak heran kalau Islam di Indonesia sepertinya bercampur dengan budaya Budha,
Hindu, ataupun Animisme. Hal tersebut merupakan bagian dari konsekuensi
bercampurnya budaya dengan Islam. Sehingga Islam di Indonesia yaitu Islam yang
berbasis budaya Indonesia. Sedangkan Islam di Arab berbasis Arab, Islam Eropa
berbasis Eropa dan sebagainya. Jadi Islam Nusantara adalah Islam yang berbasis budaya
Indonesia dan Islam Nusantara sudah ada sejak lama atau semenjak Islam masuk ke
Indonesia.[15]
Islam adalah suatu nilai dan aplikasinya bisa beradaptasi selama
nilai yang ditujunya masih tetap ada. Salah satu contoh aplikasi Islam
Nusantara adalah tahlilan dan tujuh bulanan. Bila merunut kepada asal usul
budaya, maka bisa dikatakan budaya tahlilan dan budaya tujuh bulanan adalah
budaya khas Indonesia. Sebelumnya, budaya ini sarat dengan ritual religi agama
tertentu, namun ketika Islam datang, budaya ini tetap ada namun tentunya dengan
nilai Islami, yakni doa dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan
merubah suatu budaya haruslah berproses. Perubahan terpenting adalah dari sisi
substansinya, dan bukan hanya sekedar simbolnya.[16]
Pendapat tersebut sejalan dengan cara pandang Dr. Haidar Baghir
tentang bagaimana memandang hubungan antara agama dengan budaya serta hubungan
antara kebudayaan dan keberagaman. Menurutnya ada tiga cara yang dapat dipakai
dalam memandang hal tersebut. Pertama, melihat agama dan menghargai
budaya sebagai sumber kearifan. Kedua, melihat budaya sebagai warisan
hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat Nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan
sepanjang sejarah umat Manusia. Dengan demikian, bukan saja budaya boleh
dianut, budaya memiliki tempat yang absah (legitimate), kalau tidak
malah memiliki tingkat kesakralan tertentu.[17]
Jadi Islam Nusantara tidak bisa terlepas dari budaya dan kebudayaan
yang sudah ada lebih dahulu di Indonesia. Islam datang ke Nusantara bukan untuk
merubah budaya, akan tetapi Islam datang ke Nusantara untuk mengIslamkan
kebudayaan tersebut. Sehingga budaya di Nusantara yang masih primitif tersebut
secara perlahan-lahan dicampuri dengan ajaran Islam. Itulah wajah Islam
Nusantara yang ada di Indonesia.
Sedangkan menurut Yusuf Ismail,[18]
Islam Nusantara yaitu Islam yang bercorak Nusantara, Islam yang bercorak budaya
lokal Indonesia. Dalam hal ini budaya lokal di Indonesia berasimilasi dengan
ajaran Islam. Namun budaya yang dimaksud disini ialah budaya lokal yang positif
dan yang tidak bertentangan dengan Islam. Meskipun istilah Islam Nusantara bisa
menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda. Karena di Indonesia (Nusantara) ini
ada dua jenis budaya yaitu budaya yang disesuaikan dan ada budaya yang ditolak.
Budaya yang ditolak tersebut berarti budaya yang berasimilasi
dengan Islam. Sedangkan yang sesuai dengan budaya berarti cocok dengan Islam.
Budaya yang ditolak menyangkut tentang budaya-budaya yang ada sisi akidahnya.
Muatan akidahnya seperti budaya-budaya sesaji yang masih memiliki spirit lokal.
Budaya praktek spiritual yang masih ada sisi mistisnya. Terutama disini dari
kacamata kajian keimanan dan kajian ibadah ada yang mempunyai budaya berbeda.[19]
Meskipun begitu, beliau menyatakan bahwa Islam ya Islam. Islam yang
di sifati dengan Nusantara. Jika seperti ini, dikhawatirkan kedepannya akan
muncul Islam Timur Tengah dan lain-lain. Islam yang disifati dengan istilah
Nusantara harus dimaknai positif. Akan tetapi beliau berpendapat bahwa Islam
Nusantara disini dimaknai dengan positif, meskipun ada beberapa catatan yang
harus disesuaikan.[20]
Pandangan yang disampaikan oleh Yusuf Ismail tersebut hampir mirip
dengan pandangannya Zakiya Darajat terkait Islam Nusantara. Pandangan mereka
itu sejalan dengan ide Pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Gus Dur. Yakni
Islam yang masuk tidak serta merta merubah budaya lokal masyarakat Indonesia.
Tetapi menempatkan budaya sebagai cara untuk memasukkan ajaran Islam di
Indonesia. Dengan begitu, Islam bisa berjalan berdampingan dengan budaya lokal
yang sudah ada di masyarakat Indonesia (Nusantara).
Terakhir menurut Abdul Fadhil,[21]
Islam Nusantara adalah Islam yang ada di Indonesia yang sudah bercampur dengan
budaya setempat. Budaya dan Islam di Indonesia merupakan dua hal yang tidak
bisa dipisahkan karena keduanya sudah melebur menjadi satu menjadi sebuah
tradisi. Tradisi yang dimaksud disini yaitu tradisi-tradisi Islam yang
dicampuri dengan budaya seperti tahlilan dan ziarah kubur.
Tradisi-tradisi seperti tahlilan dan ziarah kubur yang sudah
menjadi ciri khas budaya Islam terutama di tanah Jawa tersebut tidak lepas dari
pengaruh para Wali sebagai pembawa Islam ke Indonesia. Para wali tersebut
menjadikan budaya yang sudah ada di masyarakat Indonesia sebagai sarana untuk
menyebarkan Islam. Sehingga budaya-budaya yang ada dimasuki ajaran Islam dan
kemudian hal itulah yang disebut dengan istilah Islam Nusantara.[22]
Sama halnya dengan pandangan Zakiya Darajat dan Yusuf Ismail,
pandangan Abdul Fadhil tentang Islam Nusantara tersebut sejalan dengan idenya
Gus Dur yaitu Pribumisasi Islam. Masuknya Islam ke Indonesia tidak lepas dari
kebudayaan lokal (local wisdom) yang sudah dahulu ada. Keduanya tidak bisa
dipisahkan karena budaya memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan
Islam di Indonesia.
Dari berbagai perspektif dosen-dosen diatas terkait Islam
Nusantara, maka penulis menyimpulkan bahwa antara Islam dan Nusantara memiliki
makna yang berbeda. Islam yaitu sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dirubah
apalagi terkait dengan akidahnya. Sedangkan Nusantara adalah wilayah-wilayah di
Indonesia yang menjadi objek pengajaran Islam meskipun terdapat banyak budaya
yang sudah ada sejak dahulu.
Jadi Islam Nusantara adalah corak Islam di Indonesia yang bercampur
dengan budaya yang sudah ada. Dengan kata lain, budaya-budaya yang sudah ada
terlebih dahulu sebelum Islam masuk tersebut dijadikan objek para ulama yang
membawa Islam dari luar untuk dicampuri dengan ajaran Islam. Bisa juga
diartikan bahwa para ulama tersebut mengislamkan budaya Indonesia. Hal inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Nusantara.
Islam Nusantara ini menjadi signifikan karena pada zaman dahulu
juga ada istilah Islam peri-peri dan juga Islam Central (Sentral).
Islam Sentral ini maksudnya adalah Islam yang berasal dari area dimana dia
bermula yaitu Timur Tengah khususnya Arab Saudi. Sebenarnya hal ini merupakan
isu tentang orisinalitas dan otentisitas Islam, yakni bagaimana Islam itu
dipandang sebagai sesuatu yang otentik.[23]
Ada anggapan bahwa Islam yang otentik itu adalah Islam yang berasal
dari sumbernya yaitu Timur Tengah (Arab). Sehingga semua yang berasal dari
Timur Tengah (Arab) itu dianggap otentik. Akibatnya semua yang bukan berasal
dari Timur Tengah (Arab) dianggap kurang otentik. Ada semacam kesan
peminggiran, bahwa Islam yang berasal dari non-Timur Tengah (Arab) dianggap
sebagai Islam yang kurang otentik, kurang original, kurang bagus, dan
seterusnya.
Islam adalah suatu nilai dan aplikasinya bisa beradaptasi selama
nilai yang ditujunya masih tetap ada. Salah satu contoh aplikasi Islam
Nusantara adalah tahlilan dan tujuh bulanan. Bila merunut kepada asal usul
budaya, maka bisa dikatakan budaya tahlilan dan budaya tujuh bulanan adalah
budaya khas Indonesia. Sebelumnya, budaya ini sarat dengan ritual religi agama
tertentu, namun ketika Islam datang, budaya ini tetap ada namun tentunya dengan
nilai Islami, yakni doa dan pembacaan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini dikarenakan
merubah suatu budaya haruslah berproses. Perubahan terpenting adalah dari sisi
substansinya, dan bukan hanya sekedar simbolnya.[24]
Islam di Indonesia yang mempunyai ritual seperti tahlilan, maulid
dan lain-lain merupakan bagian dari wajah Islam yang ada di Indonesia
(Nusantara). Ritual-ritual seperti itu merupakan bagian dari pelestarian
tradisi nenek moyang terdahulu. Jika kalangan yang lain menganggap bahwa
sesuatu yang tidak berasal dari Al-Qur’an dan Hadits adalah bid’ah. Sedangkan
bagi kalangan Nahdiyyin, tradisi-tradisi seperti yang disebutkan diatas bisa
diterima asalkan sesuai dengan syariat Islam.[25]
Sebenarnya hal tersebut akan membuat masyarakat Islam bertengkar
dan terpecah. Ketika ada gagasan baru yang menurut sebagian kelompok tertentu
menurutnya tidak bagus, maka gagasan tersebut dikatan bid’ah. Padahal budaya
seperti tahlilan, maulidan, tujuh bulanan bayi dan lain sebagainya itu
merupakan budaya Islam yang memiliki makna tertentu menurut ulama-ulama yang
mencetuskannya.
Filosofinya adalah bahwa ajaran-ajaran Islam banyak mengadopsi
tradisi-tradisi pra-Islam. Salah satu contohnya yaitu tentang praktek poligami.
Pada zaman dulu sebelum Islam datang, seorang laki-laki dibolehkan menikah
dengan banyak perempuan. Akan tetapi setelah Islam datang hanya diperbolehkan
menikahi empat orang perempuan. Sama juga dengan ritual dalam pelaksanaan haji
yaitu Thawaf, Sa’I, dan lain-lain.[26]
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa masuknya Islam ke Indonesia
(Nusantara) yang dilakukan dengan cara mengislamkan budaya setempat bisa
diterima dan diperbolehkan. Budaya yang sudah ada tidak dihapus begitu saja.
Akan tetapi budaya yang ada diadopsi dengan cara Islam dan pada akhirnya
terciptanya sebuah budaya baru yaitu budaya Islam.
Hal semacam itu bisa dilihat dari konsepnya Nahdhatul Ulama (NU)
yaitu “Almukhaafadhotu ‘alal qodiimissholih wal ‘akhdu biljadiidil aslaah”.
Konsep tersebut merupakan kaidah yang berkaitan dengan munculnya Islam
Nusantara. Maksud dari kaidah tersebut yaitu mengambil hal-hal lama yang bagus
dan mengambil hal-hal baru yang bagus juga. Maka para tokoh setempat yang
menggabungkan budaya setempat (lokal wisdom) bisa jadi merupakan pembawa
tradisi.[27]
Islam ini merupakan agama yang universal (global). Ketika ada
kelompok-kelompok yang mengkotak-kotakkan seperti munculnya Islam Nusantara,
Islam Berkemajuan, dan lain-lain, maka dikhawatirkan orang akan menolaknya.
Narasumber sebenarnya tidak menerima keseluruhan konsep Islam Nusantara, ada
beberapa hal yang masih dipertimbangkan didalamnya. Hal-hal yang disetujui oleh
narasumber yakni konsep seperti kearifan lokal (local wisdom) dan pribumisasi
Islam. Akan tetapi terkait visi Islam Nusantara yang ingin menduniakan Islam
Nusantara, beliau tidak setuju.[28]
Menurut perspektif Zakiya Darajat, konsep yang diterapkan dalam
gagasan Islam Nusantara tidak semuanya ia terima. Ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dari gagasan tersebut. Salah satunya yaitu terkait visi dari
gagasan Islam Nusantara yang menurutnya terkesan ingin memaksa semua masyarakat
Islam di dunia setuju dengan gagasan Islam Nusantara. Padahal Islam Nusantara
ini seharusnya hanya diperuntukkan oleh masyarakat Islam di Indonesia yang
merupakan wilayah Nusantara.
Kemudian terkait munculnya gagasan Islam Nusantara, Zakiya Darajat
mengatakan bahwa istilah tersebut muncul untuk meluruskan pemikiran tentang
Islam otentik yang berasal dari Arab. Jadi terhadap kalangan yang menggunakan
istilah-istilah Arab, mereka merasa lebih Islami. Padahal itu merupakan
ekspresi keberagamaan yang terjadi di kalangan sebagian umat Islam di
Indonesia.[29]
Sedangkan Noor Rachmat mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan
saat ini terdapat macam-macam model Islam di Indonesia. Ada Islam Syi’ah,
Wahabi, Salafi, dan lain-lain. Islam yang seperti itu merupakan Islam yang
masuk dari luar (Impor) dan model Islam yang seperti itu pasti mempunyai
pengaruh terhadap budaya. Padahal hal itu bisa disebut dengan Islam Arab, bukan
Islam Indonesia (Nusantara) yang semestinya ada. Jadi berbeda cara dan
metodenya.[30]
Kedua pandangan tersebut menurut penulis mempunyai kesamaan dari
segi latar belakang munculnya gagasan istilah Islam Nusantara. Keduanya
sama-sama menyatakan bahwa Islam nya orang Arab tidak mesti menjadi patokan
dalam kehidupan bermasyarakat. Karena Islam orang Arab dengan Indonesia
mempunyai perbedaan dari segi karakter masyarakatnya. Jadi orang Islam di
Indonesia tidak harus mengikuti semua pengaruh budaya dari Arab atau Arabisasi
dan juga model-model Islam dari Arab.
Jika ditinjau dari segi Teologis, Islam Nusantara merupakan Islam
seperti Asy’ariyah yang berkaitan dengan Islam yang banyak toleran. Jadi Islam
Nusantara secara Teologis adalah Islamnya Asy’ariyah, tetapi secara fiqh adalah
Islam yang mengikuti madzhab Syafi’iyah. Maka yang paling cocok di Indonesia adalah
Islam yang teologisnya mengikuti Asy’ariyah dan kemudian secara fiqh mengikuti
madzhab Syafi’iyah.[31]
Meskipun sudah menjadi masa lalu, akan tetapi sekarang hal tersebut
bisa saja sudah meningkat menjadi teologi Mu’tazilah setelah melihat Islam
Syafi’I atau Islam Asy’ariyah di Indonesia tidak pernah berkembang dan cenderung
semakin mundur. Boleh juga umat Islam mulai dikenalkan dengan teologi Mu’tazilah
atau teologi Qodariyah.[32]
Kalau hal itu memang bisa menggugah orang Indonesia untuk maju,
maka pemikirannya Noor Rachmat tersebut diperlukan. Karena orang Indonesia dari
zaman merdeka sampai saat ini belum bisa apa-apa. Jangankan mau membuat
teknologi, mau memberi makanan kepada masyarakatnya sendiri saja belum bisa.
Sebagian besar bahan makanan pokok Indonesia
merupakan Impor dari luar. Hal tersebut merupakan salah satu contoh terkait
makanan, belum tentang hal yang lainnya.
Sedangkan menurut Firdaus Wajdi, berkaitan dengan dasar teologis
Islam Nusantara, beliau mengatakan bahwa hal tersebut bisa dilihat dari sebuah
kisah sahabat Rasul. Yaitu kisah tentang seorang sahabat yang diutus ke sebuah
daerah tertentu untuk dijadikan khalifah disana. Sahabat ini kemudian ditanya
oleh Rasulullah SAW dengan pertanyaan “Jika kamu nanti menemukan masalah,
bagaimana kamu menyelesaikannya?”. Lalu sahabat tadi menjawab, “Saya
akan mencari jawabannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits”. Rasul bertanya
kembali, “Kalau misalnya tidak ada bagaimana?”. Sahabat tersebut
menjawab, “Saya akan berijtihad”.[33]
Dari kisah diatas bisa diartikan bahwa Islam melihat dari segi
konteks. Jadi Islam yang berkembang, Islam yang diterapkan oleh komunitas
Muslim di wilayah yang berbeda dengan kasus-kasus yang berbeda itu akan
dijadikan konteks yang bisa mendasari bagaimana hukum Islam bisa berjalan. Jadi
Islam itu melihat keadaan atau suatu kasus yang terjadi dalam wilayah tertentu
Kemudian secara sosiologis, Indonesia memiliki sejarah panjang.
Muslim di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Jika dilihat
dari Ustadz-Ustadznya memang mereka dulu belajar dari Mekah. Tetapi kemudian
mengajar di komunitas Muslim yang dulunya memiliki latar belakang Hindu-Budha.
Jadi tentu ada penyesuaian-penyesuaian dan juga ada pembauran.[34]
Dalam bahasa sosiologi agama, ada yang namanya Sinkretisme atau
irisan antara konteks budaya yang sudah berkembang di Indonesia dengan konteks
agama Islam yang dibawa dari Arab Saudi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
Nusantara merupakan Islam yang kaya. Islam dengan pengaruh sosiologi yang sudah
ada di Indonesia sebelum Islam itu sendiri datang.
C.
Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam Pembelajaran PAI
Tabel 3.2.
Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara.
NO
|
NAMA
DOSEN
|
METODE
|
1.
|
Zakiya
Darajat
|
Diskusi
dengan cara memasukkan gagasan Islam Nusantara kedalam pembahasan materi
kuliah BAB Seni dan Budaya, yang didalamnya membahas tentang kearifan lokal
(local wisdom) dan juga menyinggung tentang Pribumisasi Islam.
|
2.
|
Sari Narulita
|
Dengan cara
memasukkan sejarah-sejarah Islam di Indonesia tentang bagaimana awal masuknya
Islam dan sebagainya kedalam silabus mata kuliah PAI. Salah satu materi yang
bisa menerangkan konsep Islam Nusantara yaitu Hukum Islam dan Ekonomi Islam.
Selain itu juga bisa disisipkan dalam materi Seni dan Budaya dalam Islam.
|
3.
|
Firdaus Wajdi
|
Dengan cara
melakukan diskusi-diskusi akademik didalam kelas maupun dalam
kegiatan-kegiatan seminar. Diskusi di kelas bisa dilakukan dalam pembahasan
materi Seni dan Budaya dalam Islam yang didalamnya membahas Pribumisasi Islam
dan Kearifan Lokal. Sedangkan dalam kegiatan seminar bisa dilakukan dengan
cara memilih tema seminar yang berkaitan dengan Islam Nusantara.
|
4.
|
Noor Rachmat
|
Pembahasan
kearifan lokal (local wisdom) yang membahas kehidupan masyarakat Indonesia
sejak sebelum Islam masuk dengan segala penerapan berkehidupan lokalnya.
Kemudian juga dengan menyampaikan materi Seni dan Budaya yang didalamnya
menjelaskan tentang bagaimana Islam dibawa masuk oleh Walisongo dengan
menggunakan kesenian Jawa. Selain itu juga menjelaskan tentang beragamnya
budaya Islam yang ada di Indonesia.
|
5.
|
Yusuf Ismail
|
Dengan
menyinggung materi-materi yang berkaitan dengan Islam Nusantara didalam
pembelajaran di kelas seperti materi Seni dan Budaya, Teknologi dan Islam,
dan materi lainnya.
|
6.
|
Abdul Fadhil
|
Melakukan
pembelajaran dikelas dengan cara memasukkan ide atau gagasan Islam Nusantara
kedalam materi kuliah pada BAB Seni dan Budaya yang didalamnya menjelaskan
bahwa di Indonesia banyak budaya masyarakat yang bercampur dengan Islam.
|
Munculnya istilah Islam Nusantara di Indonesia bisa memberikan
dampak untuk pembelajaran PAI. Salah satu dampaknya yaitu dalam diskusi
perkuliahan PAI di kelas terkait pemikiran-pemikiran. Biar bagaimanapun, tidak
boleh mengidentikkan Arab dengan Islam. Kalau ada ungkapan Islam itu dari Arab,
hal itu bisa dibenarkan. Akan tetapi harus juga mengapresiasi pemikiran tentang
kearifan lokal (local wisdom) dan pribumisasi Islam yang ada di Indonesia.[35]
Zakiya Darajat berpendapat bahwa mata kuliah PAI secara tidak langsung
akan terkena dampak dari munculnya istilah Islam Nusantara. Karena gagasan
tentang Islam Nusantara tersebut bisa dijadikan bahan diskusi dalam
perkuliahan. Salah satu caranya yaitu dengan memberikan penjelasan terhadap
mahasiswa terkait pro dan kontra nya Islam Nusantara yang sedang menjadi
polemik di tengah umat Islam khususnya di Indonesia. Perdebatan mengenai
polemik tersebut bisa dilakukan dalam diskusi saat perkuliahan berlangsung.
Metode diatas merupakan salah satu cara untuk mengintegrasikan
Islam Nusantara terhadap pembelajaran PAI, Zakiya Darajat menyatakan bahwa hal
tersebut tidak harus dipaksakan. Akan tetapi sebenarnya gagasan Islam Nusantara
tersebut bagus. Meskipun begitu harus dijelaskan dalam pembelajaran mana yang
baik dan mana yang tidak baik untuk diterapkan.[36]
Diskusi atau pembahasan mengenai Islam Nusantara tersebut bisa dimasukkan
kedalam pembahasan materi seni dan budaya, yang didalamnya membahas tentang
kearifan lokal (local wisdom) dan juga menyinggung tentang pribumisasi Islam.
Dua hal tersebut mempunyai keterkaitan dengan Islam Nusantara. Kearifan lokal
(local wisdom) dan pribumisasi Islam merupakan bagian dari unsur-unsur yang
terdapat dalam gagasan Islam Nusantara.
Sedangkan menurut Sari Narulita, integrasi Islam Nusantara dalam
pembelajaran PAI dimulai dengan analisis kritis akan budaya yang selama ini
dijalankan, apakah sesuai dengan Islam ataukah justru bertentangan. Bahkan,
untuk menelaah lebih dalam, terkadang perlu dipelajari tentang sejarah dan
kronologi suatu budaya, hingga bisa diyakini mana budaya yang baik dijalankan
karena selaras dengan ajaran Islam dan budaya mana yang tampaknya sangat
bertolakbelakang dengan nilai-nilai Islam.[37]
Dengan kekritisan inilah, maka mahasiswa tidak hanya sekedar
menjalankan suatu budaya sebagai suatu kebiasaan yang turun menurun tanpa
dipahami filosofinya. Namun menjalannya dengan penuh kesadaran bahwa dengan
berbudaya, sekaligus menjalankan perintah Allah, Sang Pencipta. Hal tersebut
akan membuat kita sadar bahwa budaya yang dilakukan tersebut merupakan budaya
yang sudah bercampur dengan Islam.
Mengenai munculnya gagasan Islam Nusantara oleh NU, hal tersebut
dikarenakan aplikasi Islam yang dilakukan oleh orang-orang di Indonesia dan
sekitarnya memiliki kontribusi yang perlu dipelajari dan menjadi contoh untuk
melihat bagaimana Islam diterapkan di masyarakat Muslim. Tidak selalu yang
menjadi contoh adalah masyarakat Muslim yang ada di Saudi Arabia. Akan tetapi
juga bisa masyarakat Muslim di luar area Saudi Arabia.[38]
Salah satu contohnya adalah di Indonesia atau bisa disebut dengan
area Nusantara. Masayarakat Muslim di Indonesia menerapkan nilai-nilai Islam
yang lembut, toleran, dan gotong royong. Toleransi antar umat beragama yang
terjadi di Indonesia berjalan dengan baik tanpa adanya konflik yang besar. Itu merupakan
beberapa contoh aplikasi Islam oleh orang-orang Muslim di daerah Indonesia
(Nusantara).
Hal ini menjadi penting karena daerah Nusantara memiliki latar
belakang secara konteks sosial yang berbeda, kemudian bisa memberikan warna
yang berbeda seperti penerapan demokrasi. Selain itu juga ada penerapan hukum
Islam yang bersanding dengan hukum Negara. Jadi sebenarnya banyak contoh yang
bisa dijadikan pelajaran.[39]
Maka dari itu, konsep Islam Nusantara tidak bisa begitu saja dimasukkan
kedalam pembelajaran PAI. Akan tetapi bisa dilakukan dengan cara memasukkan
sejarah-sejarah Islam di Indonesia tentang bagaimana awal masuknya Islam dan
sebagainya kedalam silabus mata kuliah PAI. Salah satu materi yang bisa
menerangkan konsep Islam Nusantara yaitu Hukum Islam dan Ekonomi Islam. Selain
itu juga bisa disisipkan dalam materi Seni dan Budaya dalam Islam.[40]
Dalam materi tersebut, dosen bisa menjelaskan tentang penerapan
hukum Islam yang dilegalkan oleh Negara. Contoh kasusnya adalah penerapan hukum
Islam di daerah Aceh. Kemudian tentang Lembaga Ekonomi Islam yang bisa berdiri
secara legal dan diakui serta memberikan kontribusi yang signifikan. Beberapa
contohnya yaitu Lembaga Badan Amil Zakat, Perbankan Islam (Syariah) yang bisa
duduk bersanding dengan sistem perekonomian konvensional.
Penerapan hukum-hukum Islam seperti itulah yang bisa dilakukan dan
dimasukkan dalam konsep pembelajaran PAI. Karena saat ini dalam kurikulum PAI
yang sedang diterapkan tidak ada materi khusus yang menjelaskan tentang konsep
Islam Nusantara. Maka dari itu tidak serta merta konsep Islam Nusantara dimasukkan
kedalam kurikulum pembelajaran PAI di UNJ. Meskipun mahasiswa Muslim di kampus
perlu melakukan diskusi terkait isu yang sedang berkembang di masyarakat, salah
satunya yaitu Islam Nusantara.
Mahasiswa Muslim Indonesia hendaknya sadar serta memahami
keterkaitan antara Islam sebagai substansi dan budaya sebagai simbolis. Dengan
demikian, maka bisa dipahami secara kritis hubungan keduanya. Kemudian mahasiswa
tidak mudah mengkafirkan orang yang mencoba menerapkan nilai Islam sesuai
dengan budayanya ataupun hanya memahami Islam sebagai budaya Arab semata.[41]
Saat ini kita bisa melihat dikampus sendiripun sudah banyak
mahasiswa yang mengikuti budaya berpakaian Arab seperti memakai celana diatas
mata kaki. Selain itu juga tidak sedikit pula mahasiswa yang mengikuti budaya
berpakaian Indonesia seperti batik. Akan tetapi dari pengamatan penulis, mereka
belum bisa saling menerima adanya perbedaan tersebut. Mereka memiliki keyakinan
yang kuat dengan argumennya masing-masing. Hal semacam inilah yang harus
dipahami secara bersama bahwa ada keterkaitan antara Islam dan budaya.
Terkait dengan cara mengintegrasikan antara Islam Nusantara dengan
PAI, Firdaus Wajdi berpendapat hal itu bisa dilakukan dengan cara
diskusi-diskusi dalam pembelajaran di kelas. Dalam diskusi tersebut mahasiswa
bisa mengkaji terkait masalah-masalah kontemporer yang terjadi dan tentang
masyarakat Islam di Indonesia yang menjadi rujukan. Sekali-kali juga bisa
dilakukan dengan turun langsung ke masyarakat untuk melihat aplikasi Muslim di
Indonesia dalam merespon dan menunjukkan karakteristik Islam Nusantara.[42]
Beliau juga berpendapat bahwa walaupun secara kuantitas atau
jumlah, Muslim di Indonesia lebih banyak daripada jumlah Muslim di Jazirah Arab
dan sekitarnya, akan tetapi Islam di Indonesia dianggap kurang relevan.
Sehingga melalui wacana Islam Nusantara mencoba mengangkat bahwa aplikasi yang
dilakukan oleh orang-orang Muslim di Indonesia banyak memiliki kelebihan dan
elemen-elemen yang bisa menjadi pelajaran buat semuanya.[43]
Misalnya tentang bagaimana orang Islam melaksanakan demokrasi.
Kalau dahulu ada anggapan bahwa nilai-nilai Islam bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi atau demokrasi bertentangan dengan Islam. Ternyata
kenyataannya tidak harus seperti itu. Buktinya di Indonesia yang merupakan
negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim, penerapan demokrasinya berjalan
dengan baik. Di Indonesia demokrasi yang terjadi tidak seperti demokrasi yang
ada di negara-negara Muslim lainnya yang lebih banyak berkonflik.
Kemudian berkaitan dengan metode pengarusutamaan Islam Nusantara
dalam pembelajaran PAI di UNJ, beliau berpendapat bahwa hal tersebut bisa
dilakukan dengan cara melakukan diskusi-diskusi akademik didalam kelas maupun
dalam kegiatan-kegiatan seminar. Diskusi di kelas bisa dilakukan dalam
pembahasan materi Seni dan Budaya dalam Islam yang didalamnya membahas
Pribumisasi Islam dan Kearifan Lokal. Sedangkan dalam kegiatan seminar bisa
dilakukan dengan cara memilih tema seminar yang berkaitan dengan Islam
Nusantara.
Selanjutnya menurut Noor Rachmat, munculnya Islam Nusantara berarti
mata kuliah PAI harus memiliki kepentingan. Buku pedoman mata kuliah PAI yang
lama harus diperbaiki, harus merujuk kepada Islam yang Rahmatan Lil’alamin.
Islam yang ramah lingkungan, Islam yang tidak mencela orang lain, Islam yang
toleran bukan hanya kepada orang lain tetapi juga kepada kelompok-kelompok dan
aliran-aliran lain.[44]
Saat ini umat Islam terjebak dengan istilah Takfir atau mudah
mentakfirkan kelompok yang tidak sama dengan kelompok tertentu. Padahal itu
bukan tradisi Indonesia (Nusantara), sedangkan tradisi Nusantara yaitu toleran.
Saling menghormati dan menerima tradisi Islam yang dilakukan oleh kelompok
Islam selain kelompoknya. Tidak mudah mengeluarkan pendapat bid’ah untuk
kelompok lain dan lain sebagainya. Karena itu bukanlah tradisi kehidupan dalam umat
Islam di Indonesia.
Terkait memasukkan konsep Islam Nusantara dalam pembelajaran PAI,
Noor Rachmat menyatakan bahwa istilah Islam Nusantara merupakan istilah yang
baru muncul jadi belum bisa dimasukkan kedalam pembelajaran PAI. Akan tetapi
sebenarnya dari awal pembelajaran PAI para dosen telah menyajikan materi
pendidikan agama Islam versi Indonesia. Yang mana hal itu bisa disebut dengan
Islam Nusantara itu sendiri.[45]
Salah satu contohnya yaitu materi tentang kearifan lokal (local
wisdom) yang membahas tentang kehidupan masyarakat Indonesia sejak sebelum
Islam masuk dengan segala penerapan berkehidupan lokalnya. Kemudian juga ada
materi tentang seni dan budaya yang didalamnya menjelaskan tentang bagaimana
Islam dibawa masuk oleh Walisongo dengan menggunakan kesenian Jawa. Selain itu
juga menjelaskan tentang beragamnya budaya Islam yang ada di Indonesia.
Meskipun begitu, secara tekstual pembelajaran PAI saat ini baru sampai
pada kearifan lokal. Padahal maksudnya setiap tema mestinya mengarah ke Islam
Nusantara yang Rahmatan Lil ‘Alamin, termasuk juga tentang toleransi,
demokrasi, dan HAM. Hal tersebut menjadi catatan bagi dosen PAI bahwa
kedepannya pembahasan terkait Islam Nusantara yang Rahmatan Lil ‘Alamin harus
mendapatkan porsi yang lebih banyak daripada saat ini.[46]
Senada dengan Noor Rachmat, menurut Yusuf Ismail PAI juga mempunyai
urgensi atau kepentingan yang berkaitan. Dikarenakan dalam pembelajaran PAI
menyinggung materi tentang Islam Nusantara seperti seni dan budaya, teknologi
dan Islam, dan lain sebagainya. Jadi dalam konteks formal, PAI berkepentingan
dengan munculnya Islam Nusantara tersebut.[47] Metode
yang diterapkan dalam mengarusutamakan Islam Nusantara yaitu dengan menyinggung
materi-materi yang berkaitan dengan Islam Nusantara didalam pembelajaran di
kelas seperti materi Seni dan Budaya, Teknologi dan Islam, dan materi lainnya.
Kedatangan Islam di Indonesia tidak menghapus budaya Islam yang
sudah ada. Kedatangannya menyempurnakan budaya yang belum sempurna. Tidak hanya
itu, kedatangannya juga untuk meluruskan budaya yang belum lurus atau salah.
Selain meluruskan budaya, kedatangan Islam di Nusantara juga untuk menjelaskan
kepada masyarakat bahwa ada beberapa budaya lokal yang bertentangan dengan
syariat ajaran Islam.
Terakhir terkait munculnya Islam Nusantara, menurut Abdul Fadhil
PAI memiliki kepentingan. Karena dalam mata kuliah PAI ada beberapa materi yang
berkaitan dengan Islam Nusantara. Salah satu contohnya bisa dilihat dari materi
tentang seni dan budaya. Dalam materi tersebut menjelaskan bahwa di Indonesia
banyak sekali budaya yang bercampur dengan Islam. Di pulau Jawa ada budaya yang
sudah menjadi tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, dan lain-lain.[48]
Dari materi yang ada dalam pembelajaran PAI seperti materi Seni dan
Budaya dalam Islam, bisa digunakan Dosen untuk menjelaskan tentang Islam
Nusantara. Dosen PAI dapat menjelaskan bahwa Islam yang ada di Indonesia
(Nusantara) berbeda dengan Islam yang ada di Arab atau negara-negara Islam di
Timur Tengah. Jadi metode yang bisa diterapkan untuk mengarusutamakan Islam
Nusantara adalah melakukan pembelajaran dikelas dengan cara memasukkan ide atau
gagasan Islam Nusantara kedalam materi kuliah pada BAB Seni dan Budaya yang
didalamnya menjelaskan bahwa di Indonesia banyak budaya masyarakat yang
bercampur dengan Islam.
Dari pendapat-pendapat dosen PAI diatas bisa disimpulkan bahwa ada
beberapa metode yang bisa dilakukan untuk mengarusutamakan gagasan Islam
Nusatara. Sebagian besar dosen berpendapat bahwa metode yang bisa dilakukan
saat ini adalah dengan pembelajaran di kelas melalui diskusi-diskusi tentang
materi Seni dan Budaya Islam, Ekonomi Islam, Teknologi dan Islam, serta Hukum Islam dan
Ekonomi Islam. Materi-materi tersebut bisa disangkutpautkan dengan gagasan
Islam Nusantara karena didalamnya membahas tentang kearifan lokal budaya di
Indonesia, pribumisasi Islam, dan lain sebagainya.
Selain melalui diskusi dikelas tersebut, metode pengaursutamaan
Islam Nusantara sudah dilakukan dengan membuat kegiatan seminar. Seminar yang
dilakukan tentu merupakan seminar-seminar yang memiliki tema berkaitan dengan
Islam Nusantara. Hal ini dilakukan agar pengarusutamaan Islam Nusantara tidak
hanya dilakukan dalam pembelajaran PAI. Akan tetapi para dosen PAI bisa
memberikan pemahaman tentang Islam Nusantara tersebut dengan metode yang
berbeda.
D.
Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen PAI UNJ
Tabel 3.3.
Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui PAI menurut Dosen
NO.
|
NAMA
DOSEN
|
PENGARUSUTAMAAN
ISLAM NUSANTARA
|
MATERI
PAI
|
1.
|
Zakiya
Darajat
|
Jelas sudah
mengarusutamakan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI. Hal tersebut
bisa dilihat dari pembelajaran dikelas pada saat dosen menyampaikan materi.
|
-
Seni
dan Budaya dalam Islam.
|
2.
|
Firdaus Wajdi
|
Sudah
mengarusutamakan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI. Misalnya dalam pertemuan kuliah sub materi Ekonomi Islam. Dari
sub materi tersebut bisa dilihat dari aplikasi keberIslaman oleh orang-orang
Musim di Indonesia. Selain itu juga dalam materi Islam dan Budaya, yang
menjelaskan tentang masuknya Islam ke Indonesia dengan cara pemakaian budaya
yang sudah ada di Indonesia
|
-
Ekonomi
Islam.
-
Seni
dan Budaya dalam Islam.
|
3.
|
Noor Rachmat
|
Secara tekstual
pembelajaran PAI belum mengarusutamakan Islam Nusantara. Akan tetapi
kedepannya harus diusahakan untuk berkontribusi. Meskipun secara tidak
langsung sebenarnya pembelajaran PAI sudah mengrusutamakan
Islam Nusantara. Hal tersebut bisa dilihat dari pembelajaran dikelas
mengenai kerukunan, toleransi, kearifan lokal, dan lain sebagainya. Jadi
secara non-tekstual mata kuliah atau pembelajaran PAI sudah
mengarusutamakan Islam Nusantara.
|
-
Kerukunan
dan Toleransi
-
Kearifan
Lokal (Local Wisdom)
|
4.
|
Sari Narulita
|
Pembelajaran
PAI Sudah mengarusutamakan Islam Nusanara.
Meskipun pengarusutamaannya tersebut belum terlalu signifikan. Kontribusi yang
ada yaitu baru sebatas dalam memilah antara yang selaras dan yang tidak
selaras dalam Islam. Hal tersebut dilihat dari hasil pembelajaran PAI dalam
pembahasan materi.
|
-
Seni
dan Budaya dalam Islam
|
5.
|
Yusuf Ismail
|
Pembelajaran
PAI memiliki peran dalam pengarusutamaan
Islam Nusantara. Hal
tersebut dilihat dari pembelajaran PAI di kelas melalui interaksi, evaluasi
dan hasil belajar mahasiswa setelah pembelajaran materi.
|
-
Seni
dan Budaya dalam Islam
|
6.
|
Abdul Fadhil
|
Pembelajaran
PAI sudah jelas mengarusutamakan Islam Nusantara meskipun sangat sedikit porsinya. Walaupun menurutnya porsi yang terdapat dalam buku panduan
pembelajaran sangat sedikit, tetapi dalam prakteknya mata kuliah PAI tersebut memiliki kontribusi yang tidak
sedikit dalam pengarusutamaan Islam Nusantara. Hal itu dikarenakan didalam
beberapa materi PAI disinggung lumayan banyak hal terkait Islam Nusantara
seperti materi tentang Seni dan Budaya dalam Islam.
|
-
Seni
dan Budaya dalam Islam
|
Secara khusus PAI tidak menanamkan model Islam Nusantara dalam
pembelajarannya. Menurut Abdul Rahman Hamid,[49]
mata kuliah PAI diarahkan kepada individu masing-masing mahasiswa. Beliau juga
mengatakan bahwa mata kuliah PAI di UNJ bukan lagi menjadi jembatan bagi
mahasiswa untuk menghafal al-Qur’an, mengajarkan tata cara sholat, dan lain
sebagainya. Akan tetapi mata kuliah PAI di UNJ lebih condong dengan diskusi-diskusi
mendalam tentang bagaimana perkembangan Islam kedepan, bagaimana hubungan
antara Muslim dengan non-Muslim, bagaimana memposisikan UNJ dalam memperkuat
Islam kedepan, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang harus didiskusikan
dalam pembelajaran tentang bagaimana menyikapi isu-isu tersebut.[50]
Hal tersebut berarti matakuliah PAI di kampus UNJ bukan lagi
sebagai sarana untuk mempelajari dasar-dasar ajaran agama Islam. Tetapi
matakuliah PAI di UNJ lebih kepada sarana untuk berdiskusi mendalam terkait isu
terkini yang berkembang dan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat
terutama kalangan Muslim. Dengan begitu pembelajaran PAI dapat mengarusutamakan
isu-isu terkini yang tengah terjadi di masyarakat, tak terkecuali Islam
Nusantara.
Menurut Zakiya Darajat, pembelajaran PAI dalam mengarusutamakan
Islam Nusantara jelas sudah memberikan kontribusi. Akan tetapi terkait
penerimaan mahasiswa terhadap Islam Nusantara, sepenuhnya diserahkan kepada
mahasiswa itu sendiri untuk menerima atau menolak. Sedangkan dosen tidak
mempunyai kewajiban untuk memaksa.[51]
Dosen menyampaikan kepada mahasiswa hanya terkait isu yang sedang
terjadi di masyarakat. Salah satu contohnya yaitu terkait munculnya gagasan
Islam Nusantara tersebut. Meskipun dalam buku panduan pembelajaran PAI
disinggung unsur-unsur yang berkaitan dengan Islam Nusantara seperti seni dan
budaya dalam Islam, akan tetapi dosen tidak boleh memaksa mahasiswa untuk
menerima gagasan tersebut.
Kemudian menurut Firdaus Wajdi, pembelajaran PAI di UNJ sudah
mempunyai kontribusi dalam menanamkan atau mengarusutamakan Islam Nusantara.
Misalnya dalam pertemuan kuliah sub materi Ekonomi Islam. Dari sub materi
tersebut bisa dilihat dari aplikasi keberIslaman oleh orang-orang Musim di
Indonesia. Selain itu juga dalam materi Islam dan Budaya, yang menjelaskan
tentang masuknya Islam ke Indonesia dengan cara pemakaian budaya yang sudah ada
di Indonesia.[52]
Dari pendapatnya tersebut, beliau ingin menjelaskan bahwa
pembelajaran PAI di UNJ sudah memberikan kontribusi dalam mengarusutamakan
Islam Nusantara. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa materi yang
disampaikan oleh dosen dalam pembelajaran dikelas. Materi tentang Islam dan
Budaya, Ekonomi Islam memiliki kaitan dengan Islam Nusantara secara umum.
Percampuran antara budaya dan Islam di Indonesia merupakan dua hal yang saling
berkaitan ketika membicarakan Islam Nusantara.
Sedangkan menurut Noor Rachmat, pembelajaran PAI secara tekstual
belum memberikan kontribusi dalam pengarusutamaan Islam Nusantara. Akan tetapi
kedepannya harus diusahakan untuk berkontribusi. Meskipun secara tidak langsung
sebenarnya mata kuliah PAI sudah memberikan kontribusi. Hal tersebut bisa
dilihat dari pembelajaran dikelas mengenai kerukunan, toleransi, kearifan
lokal, dan lain sebagainya. Jadi secara non-tekstual mata kuliah PAI sudah
memberikan kontribusi.[53]
Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh Noor Rachmat, yakni belum
berkontribusi dan sudah berkontribusi. Meskipun begitu, beliau lebih condong
terhadap pendapat keduanya yaitu sudah memberikan kontribusi. Hal tersebut bisa
dilihat dari pernyataannya mengenai materi-materi PAI yang diajarkan dikelas
seperti kerukunan, toleransi, kearifan lokal. Materi-materi tersebut adalah
bagian dari unsur gagasan Islam Nusantara.
Dalam mengintegrasikan Islam Nusantara dengan pembelajaran PAI di
kelas, Noor Rachmat mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang mudah.
Pada saat pembelajaran mengenai Islam di kelas maka secara otomatis akan
berbicara tentang Islam Nusantara karena mahasiswa dan dosen tersebut adalah
orang Indonesia (Nusantara). Tidak mungkin dalam pembelajaran di kelas akan
membicarakan orang lain, menghujat orang lain, bahkan menghina orang lain.[54]
Ada sebuah prinsip yang
menyatakan bahwa Islam dikaji dan dipelajari sampai 100 tahun pun tidak akan
membuat orang menjadi jenius. Semua orang yang mempelajari Islam akan selalu
dalam posisi belajar terus menerus. Jadi mempelajari Islam tidak akan ada
habisnya. Setiap saat persoalan umat Islam akan berubah-ubah sesuai
perkembangan zaman.
Maka dari itu jika ada orang atau kelompok yang berani mengecap
orang atau kelompok yang lain kafir berarti mereka ini orang-orang yang sudah
sangat tinggi ilmunya dan kelompok tersebut merasa sudah mempelajari Islam
sampai 100% sehingga bisa memberikan label (cap) kepada orang lain. Padahal
terkadang orang yang memberi label kafir tersebut biasanya baru belajar tentang
ajaran Islam. Hal tersebut bisa dikatakan sebuah kenaifan.[55]
Sedangkan menurut Sari Narulita, pembelajaran PAI di UNJ dalam
mengarusutamakan Islam Nusantara sudah ada kontribusinya. Akan tetapi
kontribusi tersebut belum terlalu signifikan. Kontribusi yang terjadi yaitu
baru sebatas dalam memilah antara yang selaras dan yang tidak selaras dalam
Islam.[56] Hal
tersebut dilihat dari hasil pembelajaran PAI dalam pembahasan materi Seni dan
Budaya dalam Islam. Dosen menyinggung mengenai apa saja kebudayaan di Indonesia
yang selaras dengan ajaran Islam dan yang tidak selaras. Beliau beranggapan
bahwa Budaya dan Islam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan ketika
membicarakan tentang Islam Nusantara.
Kemudian menurut Yusuf Ismail, berkontribusi atau tidaknya mata
kuliah PAI dalam mengarusutamakan Islam Nusantara, hal tersebut bisa dilakukan
dengan penelitian terlebih dahulu. Pertama, terkait pembelajaran PAI dikelas.
Dalam pembelajaran tersebut dilihat apakah mahasiswa berinteraksi dalam
pembelajaran dikelas. Lalu dilanjutkan dengan evaluasi, yang mana ditanyakan
kepada para mahasiswa tentang hasil belajar apakah mereka dapat memahami
pembelajaran PAI dalam hal ini terkait Islam Nusantara. Akan tetapi menurut
beliau, secara umum pembelajaran PAI sudah memberikan kontribusi dalam hal
pengaruutamaannya.[57]
Dari hasil pengamatan dan penelitian penulis di beberapa kelas yang
ada matakuliah PAI,[58]
secara umum mahasiswa berinteraksi dalam diskusi materi Seni dan Budaya dalam
Islam yang didalamnya disinggung gagasan Islam Nusantara. Setelah itu mahasiswa
juga diberikan tugas evaluasi mengenai Islam Nusantara. Hasilnya sebagian besar
mahasiswa memahami dan mengetahui gagasan Islam Nusantara tersebut. Dari hasil
tersebut bisa disimpulkan bahwa matakuliah PAI memiliki kontribusi dalam
mengarusutamakan Islam Nusantara.
Berikutnya mengenai pengintegrasian Islam Nusantara dengan
pembelajaran PAI, Yusuf Ismail mengatakan bahwa Islam Nusantara tidak
memisahkan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Keduanya menyatu
dalam pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan. Orientasi PAI adalah
pembelajaran yang berorientasi kepada akhirat, bukan hanya berorientasi pada
dunia saja.[59]
Selanjutnya menurut Abdul Fadhil, pengarusutamaan Islam Nusantara melalui
pembelajaran PAI sudah jelas mempunyai kontribusi meskipun sangat sedikit
porsinya. Hal itu dikarenakan materi yang disampaikan dalam pembelajaran tidak mengarah
kepada Islam Nusantara. Akan tetapi buku panduan yang dipakai dalam
pembelajaran PAI di UNJ yaitu tentang Islam Universal yang merupakan akar dari
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, tidak spesifik mengenai Islam Nusantara.[60]
Walaupun menurut beliau porsi yang terdapat dalam buku panduan
pembelajaran sangat sedikit, tetapi dalam prakteknya matakuliah PAI tersebut
memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam pengarusutamaan Islam Nusantara.
Hal itu dikarenakan didalam beberapa materi PAI disinggung lumayan banyak hal
terkait Islam Nusantara seperti materi tentang Seni dan Budaya dalam Islam.
Didalam materi tersebut terdapat pembahasan mengenai kearifan lokal (local
wisdom) yang merupakan salah satu unsur dari Islam Nusantara.
Terakhir, mengenai pengarusutamaan
Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI, Abdul Rahman Hamid menyatakan bahwa
mungkin sudah berkontribusi dalam mengarusutamakan Islam Nusantara dengan
penafsiran dosen masing-masing dalam pembelajaran. Akan tetapi beliau merasa
belum puas terhadap materi yang disampaikan para Dosen PAI kepada mahasiswa.
Karena terkadang dosen-dosen PAI mempunyai inovasi sendiri dalam
penyampaiannya, sehingga materi yang disampaikan berasal dari luar buku panduan
PAI. Hal seperti itulah yang sulit di kontrol oleh UPT MKU sendiri.[61]
Dari pendapat para dosen PAI di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) secara umum sudah
mengarusutamakan Islam Nusantara. Meskipun ada beberapa catatan mengenai cara
pengarusutamaannya. Ada dosen yang mengatakan belum mengarusutamakan, sudah
mengarusutamakan walaupun sedikit, dan jelas mengarusutamakan Islam Nusantara.
Akan tetapi jumlah dosen yang berpendapat bahwa pembelajaran PAI di
UNJ sudah mengarusutamakan Islam Nusantara lebih banyak daripada yang berpendapat
belum mengarusutamakan. Dari enam dosen PAI UNJ yang penulis jadikan informan,
hanya satu dosen PAI yang mengatakan pembelajaran PAI belum mengarusutamakan
Islam Nusantara. Meski begitu, beliau berpendapat bahwa secara non-tekstual pembelajaran
PAI sudah mengarusutamakan Islam Nusantara.
Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI menurut para
informan disampaikan melalui materi kuliah PAI seperti Seni & Budaya dalam
Islam, Ekonomi Islam, Kerukunan & Toleransi, dan Kearifan Lokal (Local
Wisdom).
[1] UPT MKU UNJ, Sekilas
MKU UNJ, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/sample-page/, diakses pada
08 Desember 2015
[2]
UPT MKU UNJ, Visi
dan Misi, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/sample-page/visi-dan-misi/, diakses pada
08 Desember 2015
[3]
Rahman, Profil
Dosen Tetap UPT MKU, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/2015/11/11/profil-dosen-mku/#more-312, diakses pada
09 Desember 2015
[4]
Rahman, Profil
Dosen Tidak Tetap UPT MKU, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/2015/11/11/profil-dosen-tidak-tetap-upt-mku/#more-319, diakses pada
09 Desember 2015
[5]
UPT MKU UNJ, Islam
Universal Menebar Islam Sebagai Agam Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin, (Jakarta:
2015), h. 3
[6]
UPT MKU UNJ, Islam
Universal Menebar Islam Sebagai Agam Islam Rahmatan Lil ‘Alamiin, (Jakarta:
2015), h. 3
[7] Beliau adalah
dosen PAI UNJ dari Kementerian Agama RI. Beliau juga seorang dosen di kampus
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
[8]
Wawancara dengan
Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd. Dewi
Sartika UNJ
[9] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 17
[10]
Beliau
merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[11]
Wawancara
dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi
IAI UNJ
[12]
Beliau
merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[13] Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[14]
Beliau
merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[15]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[16]
Wawancara
dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi
IAI UNJ
[17] Akhmad Sahal. Islam
Nusantara (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), h. 176
[18]
Beliau
merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[21]
Beliau
merupakan Dosen PAI UNJ sekaligus dosen di Prodi Ilmu Agama Islam FIS UNJ
[23]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[24]
Wawancara
dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi
IAI UNJ
[25]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[26]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[27]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika
[28]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika
[29]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika
[30]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[31]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[32]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[33] Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[34]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[35]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[36]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[37]
Wawancara
dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi
IAI UNJ
[38]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[39]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[40]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[41]
Wawancara
dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi
IAI UNJ
[42]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[43]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[44]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[45]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[46]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[49]
Beliau adalah
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Negeri
Jakarta (UNJ)
[50] Wawancara
dengan Kepala UMP MKU UNJ, Abdul Rahman Hamid pada tanggal 17 November 2015 di
lantai 8 Gd. Dewi Sartika UNJ
[51]
Wawancara
dengan Zakiya Darajat, Selasa 1 Desember 2015, Pukul 15.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika
[52]
Wawancara
dengan Firdaus Wajdi, Jumat 20 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di lantai 3 Gd.
Rektorat UNJ
[53] Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[54]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[55]
Wawancara
dengan Noor Rachmat, Rabu 2 Desember 2015, Pukul 10.30 WIB, di lantai 9 Gd.
Dewi Sartika UNJ
[56]
Wawancara
dengan Sari Narulita, Jumat 27 November 2015, Pukul 14.30 WIB, di Kantor Prodi
IAI UNJ
[58] Penulis
melakukan pengamatan dan penelitian dikelas PAI yang diajar oleh Ibu Sari
Narulita. Objeknya adalah mahasiswa jurusan Psikologi 2015, Manajemen 2015, dan
PG PAUD 2015.
[61] Wawancara
dengan Kepala UPT MKU UNJ, Abdul Rahman Hamid pada tanggal 17 November 2015 di
lantai 8 Gd. Dewi Sartika UNJ
BAB
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian lapangan dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara
tentang masing-masing variabel yang akan diteliti dan pembahasan mengenai Pengarusutamaan
Islam Nusantara Melalui PAI Dalam Perspektif Dosen PAI UNJ, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1.
Konsep Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ.
Dari berbagai perspektif informan mengenai Islam Nusantara, maka
penulis menyimpulkan bahwa Islam dan Nusantara memiliki makna yang berbeda.
Islam yaitu sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dirubah apalagi terkait dengan
akidahnya. Sedangkan Nusantara adalah wilayah-wilayah di Indonesia yang menjadi
objek pengajaran Islam meskipun terdapat banyak budaya yang sudah ada sejak
dahulu.
Jadi Islam Nusantara adalah corak Islam di Indonesia yang bercampur
dengan budaya yang sudah ada. Dengan kata lain, budaya-budaya yang sudah ada
terlebih dahulu sebelum Islam masuk tersebut dijadikan objek para ulama yang
membawa Islam dari luar untuk dicampuri dengan ajaran Islam. Bisa juga
diartikan bahwa para ulama tersebut mengislamkan budaya Indonesia. Hal inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah Islam Nusantara.
2.
Metode Pengarusutamaan Islam Nusantara dalam Pembelajaran PAI
Dari pendapat para informan bisa disimpulkan bahwa ada beberapa
metode yang bisa dilakukan untuk mengarusutamakan gagasan Islam Nusantara.
Sebagian besar informan berpendapat bahwa metode yang bisa dilakukan saat ini
adalah dengan pembelajaran di kelas melalui diskusi-diskusi tentang materi Seni
dan Budaya Islam, Ekonomi Islam, Teknologi dan Islam, serta Hukum Islam dan
Ekonomi Islam. Materi-materi tersebut bisa disangkutpautkan dengan gagasan
Islam Nusantara karena didalamnya membahas tentang kearifan lokal budaya di
Indonesia, pribumisasi Islam, dan lain sebagainya.
Selain melalui diskusi dikelas tersebut, metode pengarusutamaan
Islam Nusantara sudah dilakukan dengan membuat kegiatan seminar. Seminar yang
dilakukan tentu merupakan seminar-seminar yang memiliki tema berkaitan dengan
Islam Nusantara. Hal ini dilakukan agar pengarusutamaan Islam Nusantara tidak
hanya dilakukan dalam pembelajaran PAI. Akan tetapi para dosen PAI bisa
memberikan pemahaman tentang Islam Nusantara tersebut dengan metode yang
berbeda.
3.
Pengarusutamaan Islam Nusantara Melalui PAI Menurut Dosen PAI UNJ
Dari pendapat para dosen PAI di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
secara umum sudah mengarusutamakan Islam Nusantara. Meskipun ada beberapa
catatan mengenai cara pengarusutamaannya. Ada dosen yang mengatakan belum
mengarusutamakan, sudah mengarusutamakan walaupun sedikit, dan jelas
mengarusutamakan Islam Nusantara.
Akan tetapi jumlah dosen yang berpendapat bahwa pembelajaran PAI di
UNJ sudah mengarusutamakan Islam Nusantara lebih banyak daripada yang
berpendapat belum mengarusutamakan. Dari enam dosen PAI UNJ yang penulis
jadikan informan, hanya satu dosen PAI yang mengatakan pembelajaran PAI belum
mengarusutamakan Islam Nusantara. Meski begitu, beliau berpendapat bahwa secara
non-tekstual pembelajaran PAI sudah mengarusutamakan Islam Nusantara.
Pengarusutamaan Islam Nusantara melalui pembelajaran PAI menurut
para informan disampaikan melalui materi kuliah PAI seperti Seni & Budaya
dalam Islam, Ekonomi Islam, Kerukunan & Toleransi, dan Kearifan Lokal
(Local Wisdom).
B.
Saran
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan dan hasil pengolahan data yang didapatkna, maka
peneliti mengemukakan saran sebagai masukan dari hasil penelitian ini sebagai
berikut :
1.
Kepada
Dosen PAI UNJ, diharapkan selalu memberikan pencerahan-pencerahan kepada
mahasiswa didalam pembelajaran agar mahasiswa juga bertambah wawasannya terkait
gagasan baru yang muncul dalam Islam seperti muncunya istilah Islam Nusantara.
2.
Bagi
peneliti selanjutnya, diharapkan dapat penemuan baru terkait Islam Nusantara
menurut Dosen PAI lainnya. Serta dapat mempertajam penelitian ini berkaitan
dengan kontribusi matakuliah PAI tidak hanya di UNJ, akan tetapi di
kampus-kampus lain yang terdapat matakuliah PAI dalam pembelajarannya. Bahkan
kalau bisa penelitian ini dikembangkan lagi untuk meneliti kontribusi PAI
secara keseluruhan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Ade. Jokowi, Islam Nusantara dan Perang Melawan
Keterbelakangan ala Saudi, http://www.madinaonline.id/c907-editorial/jokowi-islam-nusantara- dan-perang-melawan-keterbelakangan-ala-saudi/
Baso, Ahmad. Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama
Indonesia. Jakarta: Pustaka Afid,
2015
Baso, Ahmad. Kata Pengantar KH. Afifuddin Muhajir dalam buku Islam
Nusantara: Ijtihad Jenius &
Ijma’ Ulama Indonesia, 2015.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI.
Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta: 2006.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Faza, Abu. Sejumlah Kyai NU Tolak Islam Nusantara Jadi Tema
Muktamar NU ke-33. http://www.suara-islam.com/read/index/14840/-Sejumlah-Kyai-NU-Tolak- Islam-Nusantara-Jadi-Tema-Muktamar-NU-ke-33
Husnan, Djaelan., Darajat, Zakiya., dkk. Islam Universal Menebar
Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil ‘Alamin.
Jakarta: UPT MKU UNJ, 2015.
Kementerian Agama RI, Syaamil AL-Qur’an Tajwid. Bandung:
2010.
Kitab Ahmad, Hadits nomor 8595.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006
Milal Bizawie,
Zainul. Meneguhkan Islam Nusantara, http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara/.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Madrasah, dan Perguruan
Tinggi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.
Mulyasa, E. Standar Kompetensi Sertifikasi Guru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2007.
Nafi’, Zidni. dan Fathoni. Gus Mus: Kaget Soal Islam
NusantaraBerarti Tidak Pernah Ngaji,
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,60914- lang,id-c,nasional- t,Gus+Mus++Kaget+Soal+Islam+Nusantara+Berarti+Tidak+Pernah+Ngaji- .phpx.
NU Garis Lurus. Para Tokoh dan Kiai NU Ini Menentang Islam
Nusantara Jadi Tema Muktamar. http://www.nugarislurus.com/2015/07/para-tokoh-dan-kiai-nu-ini- menentang-islam-nusantara-jadi-tema-muktamar.html#axzz3oVIUS1L6
Plimbi Editor. Apa Arti Mainstream dan Penggunaannya di Kehidupan
Sehari-hari dan Teknologi?,
http://www.plimbi.com/news/158536/arti-mainstream-dan- penggunaannya.
Rahman,
Profil Dosen Tetap UPT MKU, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/2015/11/11/profil-dosen-mku/#more- 312.
Rahman,
Profil Dosen Tidak Tetap UPT MKU, http://www.unj.ac.id/uptmku/index.php/2015/11/11/profil-dosen-tidak-tetap- upt-mku/#more-319.
Sahal, Akhmad. Islam Nusantara. Bandung: PT Mizan Pustaka,
2015.
UPT MKU UNJ, Islam Universal Menebar Islam Sebagai Agam Islam
Rahmatan Lil ‘Alamiin.
Jakarta: 2015.
Lampiran
1
Pedoman Wawancara Penelitian Skripsi
“Kontribusi
PAI dalam Pengarusutamaan Islam Nusantara Perspektif Dosen PAI UNJ”
1.
Menurut
Anda, apa itu Islam Nusantara?
a.
Jika
anda setuju dengan Islam Nusantara, mengapa perlu muncul gagasan tersebut?
b.
Bagaimana
konsep Islam Nusantara menurut anda?
2.
Menurut
Anda, apa metode yang digunakan dalam memasukkan gagasan Islam Nusantara ke
dalam pembelajaran PAI?
a.
Sebagai
dosen PAI, langkah apa yang anda lakukan untuk memasukkan konsep Islam
Nusantara kedalam pembelajaran PAI? Padahal dalam buku panduan pembelajaran PAI
UNJ bab tentang Islam Nusantara tidak dijelaskan secara rinci.
3.
Bagaimana
cara mengintegrasikan Islam Nusantara dengan pembelajaran PAI di kelas?
a.
Menurut
anda, apakah mata kuliah PAI mempunyai kontribusi dalam mengarusutamakan Islam
Nusantara?
-
Kalau
ada, buktinya apa?
-
Kalau
tidak, alasannya apa?
Lampiran 2
DATA DEMOGRAFI INFORMAN
Profil Informan
Nama lengkap :
Tempat, tanggal lahir :
Alamat :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan / Aktivitas :
Jabatan :
Tanda tangan :
Lampiran 3
Dokumentasi
Wawancara dengan Bp. FirdausWajdi di Kantor Prodi IAI
Wawancara dengan Bp. Noor Rachmat di Gd. Dewi Sartika lantai 9
Wawancara dengan Bp. Abdul Fadhil di Kantor Prodi IAI
Wawancara dengan Bp. Yusuf Ismail di Kantor Prodi IAI
TENTANG PENULIS
Aris Muttaqin, lahir di Boyolali pada tanggal 26 April 1992. Anak
pertama dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Suraya dan Ibu Nanik Mubarokah.
Tempat tinggal di Dukuh Jatisari Rt.12/Rw.03, Ds. Kedungdowo, Kec. Andong, Kab.
Boyolali, Jawa Tengah.
Mengawali pendidikan di TK RA Dukuh Jatisari pada tahun 1997. Kemudian
melanjutkan ke MI Muhammadiyah Jatisari pada tahun 1998 dan lulus tahun 2003. Melanjutkan
pendidikan ke MTsN Andong tahun 2003 dan lulus pada tahun 2006. Kemudian lanjut
ke SMA N 1 Andong tahun 2006 dan lulus pada tahun 2009. Setelah 2 tahun
menanti, akhirnya bisa melanjutkan pendidikan Strata Satu pada tahun 2011
dengan diterima di Jurusan Ilmu Agama Islam, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Jakarta.
Pengalaman organisasi selama di kampus yaitu menjadi Staff Divisi
Kajian di BEMJ IAI peiode 2012/2013, Ketua BEMJ IAI periode 2013/2014, dan
Kepala Departemen ORSENI BEM FIS UNJ periode 2014/2015. Selain aktif di
organisasi kampus, aktif juga di Grup Marawis El-Zami Jurusan Ilmu Agama Islam
sebagai Ketua pada tahun 2013 serta Penanggung Jawab Ekstra Seni & Olahraga
(SENIOR) FIS UNJ tahun 2014.
Prestasi selama di kampus yaitu pernah mendapatkan Gelar Juara 1 Badminton
Single Putra JIAI Solidarity Cup 2013, Juara 1 Badminton Ganda Putra 2014. Kemudian
mendapatkan Gelar Juara 1 Lomba Bola Voli Dekan Cup tahun 2014 dan Juara 1
Lomba Bola Voli PIAI Solidarity Cup tahun 2015, dan lain-lain.
Langganan:
Postingan (Atom)