Jumat, 01 November 2013

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM INDONESIA "TEUKU UMAR"

MAKALAH SPII
Teuku umar
Oleh :
Aris Muttaqin
4715111554
Kelas 4A

Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sudah banyak penulis asing yang mencurahkan perhatian pada perjuangan Teuku Umar. Semuanya memberi kesan bahwa tokoh tersebut bukan sembarang orang. Nama tokoh sejarah ini tidak akan hilang sampai sepanjang zaman. Tidak satu pun buku asing yang membicarakan sejarah Indonesia yang tidak menyinggung perannya. Dan tidak sedikit perwira militer Belanda yang mengarang buku tentang saat mereka bertugas di Aceh yang tidak menulis tentang dia.
Aceh sebagai provinsi yang terletak di ujung paling barat Indonesia telah banyak melahirkan pejuang yang tak segan mengorbankan nyawanya demi memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya adalah Teuku Umar. Suami dari Cut Nyak Dien ini berasal dari keluarga keturunan Minangkabau yang merantau ke Aceh pada akhir abad ke-17. Ia lahir di Meulaboh, Aceh pada tahun 1854. Ia adalah anak dari Teuku Mahmud. Sementara ibunya adalah adik raja Meulaboh.
Orang-orang Belanda dari generasi terdahulu pada umumnya melihat Teuku Umar sebagai seorang “penjahat”, “penipu”, “bajingan”, entah apa lagi, karena mereka memakai kaca mata yang harus sesuai dengan selera mereka. Snouck Hurgronje yang benar-benar mengenal Aceh, seorang Belanda yang mempunyai pendirian harus tidak pernah percaya kepada satu pun orang Aceh, tatkala diminta pendapatnya mengenai apakah baik menerima uluran tangan Teuku Umar untuk memihak kepada Belanda, berkata: “Bila Umar mengulurkan tangannya terimalah, tapi pegang kuat-kuat tangan itu, gunakan Umar dimana bisa digunakan, tapi jangan percaya padanya”. Snouck Hurgronje ini juga memandang bahwa musuh utama Belanda pada saat itu yang harus dibasmi adalah mengakhiri kekuasaan ulama, dan memerangi mereka dengan keras.

1
Snouck Hurgronje bukan tidak memahami pengertian jihad yang sudah dikumandangkan ke seluruh wilayah Aceh pada saat itu, bahkan komunitas Aceh yang bermukim di tanah suci Mekkah khusus mengumpulkan dana untuk membiayai 10 orang ulama  membaca doa, ialah membaca Hadits Shahih Bukhari selama 10 bulan agar diperoleh ridha Allah bagi kemenangan kaum muslimin Aceh.[1]
Snouck Hurgronje memberi nasihat pada pemeritahannya supaya mengambil dua sikap sekaligus yang saling bertentangan. Pengertian sebenarnya dari nasihatnya itu tidak lain supaya orang menipu dirinya sendiri: Jangan percaya dia, tapi pakailah dia. Paul van’t Veer, seorang wartawan Belanda dari generasi sekarang, sebagaimana dengan Zentgraaff, yang menumpahkan perhatian kepada sejarah Aceh. Belum berapa lama silam dia berhasil menyelesaikan bukunya berjudul De Atjeh Oorlong, setebal 320 halaman.[2]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tokoh yang akan di bahas di atas, maka rumusan permasalahannya adalah:
1.      Siapakah seorang Teuku Umar yang kita kenal sebagai orang Aceh ini?
2.      Apakah motif Teuku Umar dalam melawan Belanda?
3.      Adakah peran ulama-ulama atau tokoh lain di Aceh yang membuat Teuku Umar semangat untuk berperang melawan Belanda?
4.      Pergerakan apa yang telah ia lakukan untuk masyarakat Aceh?
5.      Apa pengaruh yang diberikan oleh Teuku Umar untuk Aceh?
6.      Mengapa Teuku Umar begitu dimusuhi oleh Belanda?





2
C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini:
-          Untuk mengetahui peran dan pengaruh Teuku Umar di Aceh.
-          Untuk memberikan informasi bahwa Teuku Umar ini merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di Aceh.
-          Untuk memahami pemikiran-pemikiran Teuku Umar dalam pergerakannya di wilayah Aceh.
-          Menjelaskan sedikit tentang riwayat perang di Aceh.
Dan manfaat dari penulisan ini adalah:
-          Mengetahui pergerakan apa saja yang telah dilakukan oleh Teuku Umar.
-          Mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan Teuku Umar untuk bangsa Indonesia, khususnya di wilayah Aceh.
-          Mengetahui tentang awal dari peperangan dan perlawanan rakyat Aceh dalam memerangi Belanda.
-          Menjadikan kita lebih mengetahui tentang peran ulama-ulama Aceh pada waktu itu dan seberapa besar pengaruhnya terhadap perjuangan rakyat Aceh dalam melawan Belanda.









3
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Teuku Umar
Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat). Ia merupakan putra dari Ahmad Mahmud dan ibunya adalah adik dari raja Meulaboh. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.[3]
Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti. Salah seorang keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang 6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhien. Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar.

4
Jadi Umar dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau, darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya.
      Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat cerdas. Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya. Dalam perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani.[4] Setelah berumur 10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman hidup dan berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam masyarakat.
      Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal Teuku Umar baru berumur 19 tahun. [5] la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat menjadi Keuchik  (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
      Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin dihormati dan
5
disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi dengan Cut Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim.[6] Sejak saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda. Dari pernikahan ini, Teuku Umar dikaruniai dua orang anak yaitu Teuku Raja Sulaiman dan Cut Mariyam.
      Teuku Raja Sulaiman punya keturunan juga diberi nama Teuku Umar yang merupakan orang tua Teuku Usman Basyah yang sekarang menjabat Asisten I Setdakab Aceh Barat. Cut Mariyam bersuamikan Teuku Ali Baet. Namun, sumber Belanda yang ditulis dalam buku Helden Seire, Ded VIII yang berjudul Teukoe Oema yang diterbitkan oleh Populaire Witgave Van Heet Atjechsch Leger Meseum 1940 menyatakan bahwa dengan Cut Meuligoe ini,  Umar memiliki tidak hanya dua anak tetapi lebih yaitu Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh dan Teuku Bidin
      Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng.[7] Hasil Pernikahannya dengan Cut Nyak Dien, Teuku Umar memiliki anak perempuan yang bernama Tjut Gambang. Tjut Gambang menjadi istri Teungku Majet di Tiro dan anak laki-laki, Teuku Raja Batak yang meninggal di Beutong, Pante Ceureumen dalam pertempuran yang sudah dipimpin Cut Nyak Dhien, namun ada sumber lainnya yang mengatakan bahwa Teuku Raja Batak ini adalah kemenakan dari Cut Nyak Dien. Menurut sejarah, Cut Nyak Dien merupakan
6
istri yang paling mempengaruhi kehidupan Teuku Umar. Pengaruh isterinya, Cut Nya’ Din yang tebal imannya tentulah besar sekali atas dirinya. Wanita itulah yang menggosoknya supaya “berkhianat” pada tahun 1896 ketika dia masih bergelar Johan Pahlawan, bekerja pada Belanda.[8]
B.     Pendidikan dan Guru Teuku Umar
      Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah (formal) seperti pemimpin-pemimpin lainnya. Di masa kecilnya, ia tak pernah mendapat pendidikan yang teratur. Oleh karena itu, sejak kecil ia sudah terbiasa hidup bebas. Layaknya seorang anak laki-laki pada umumnya, Umar suka berkelahi dan memiliki kemauan yang sukar ditundukkan. Sejak usianya masih muda belia, yaitu pada umur 10 tahun ia sudah hidup berkelana.[9] Tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya.
      Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing (Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orang-orang yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap tempur. Meletusnya perang Aceh dengan Belanda pada tahun 1873 membuat hatinya terpanggil untuk ikut membantu perjuangan pejuang-pejuang Aceh lainnya. Padahal usianya kala itu baru genap 19 tahun. Dalam berjuang, ia mempunyai cara sendiri yang terkadang tak dapat dipahami oleh pejuang-pejuang lain.[10]

7
C.     Perjuangan Teuku Umar
Awalnya, perjuangan dilakukan dengan mempertahankan kampung halamannya sendiri dari Belanda. Namun dalam perkembangannya, meluas hingga daerah Meulaboh. Karena keberaniannya itu, ia kemudian diangkat menjadi kepala kampung. Ia juga didukung oleh teman-teman seperjuangan yang tak kalah beraninya.
 Perjuangan mereka memerangi Belanda (kafir) adalah kelanjutan dari satu rangkaian perang Aceh yang dimulai dari April 1873 ketika Belanda melakukan agresi pertama ke Aceh, namun dapat dipukul mundur oleh rakyat Aceh. Selanjutnya Belanda terus melakukan agresi, sampai berhasil menguasai istana Aceh (31 Januari 1874). Sejak Aceh diduduki Belanda ini lah, semangat perang sabil (jihad fi sabilillah) dikumandangkan oleh ulama Aceh di mesanah-mesanah (pesantren) dan masjid-masjid. Adalah Teungku Chik Pante Kulo tokoh pertama yang menuliskan HIKAYAT PERANG SABIL atas permintaan Tengku Chik di Tiro (Panglima Perang Sabil) untuk menyemangati rakyat dalam perang melawan kafir Belanda.[11]
 Gagasan menciptakan hikayat yang dapat menaikkan semangat perlawanan rakyat ini mungkin sekali berpedoman pada kegiatan perang di zaman Rasulullah. Para penyair lisan menciptakan sajak-sajak heroic untuk maksud tersebut. Rasulullah memandang sajak-sajak itu lebih berbahaya daripada pedang atau panah bagi kaum kafir. Kini (pada masa itu) Tengku Chik di Tiro memanfaatkan genre hikayat untuk maksud yang sama, ialah untuk menggerakkan semangat perlawanan rakyat.[12] Pada saat Van Swieten memproklamirkan kemenangan karena dengan menduduki Keranton dan menguasai sebagian kecil Aceh Besar, dikiranya seluruh wilayah Aceh
8
akan menyerah. Ternyata perlawanan rakyat makin meningkat, ulama yang kebanyakan pemimpin dayah (pesantren) ikut berpartisipasi bersama santri-santri mereka.
Kesumat permusuhan itu dipertegas lagi oleh surat pernyataan Tuanku Hasyim Bangta Muda, Mangkubumi Kerajaan Aceh, bersama para pemimpin Sagi di Aceh Besar. Surat tersebut ditulis pada 18 April 1874 ditujukan kepada Teuku Imam Chik Lotan, raja Geudong, Pasai. Inti terpenting dari pernyataan tersebut ialah tekad dan semangat untuk melawan serta bertahan, walau negeri Aceh tinggal sebesar ‘nyiru’ (alat penampi beras) saja lagi. Disini terungkap pula keterlibatan seuruh ulama dan dayah yang mereka pimpin beserta santri-santrinya. Perang mempertahankan agama islam, syari’at Muhammad menjadi fardhu ‘ain bagi setiap umat Islam karena negeri dikuasai kafir. Tekad untuk bertahan dibuktikan dalam perang yang berkelanjutan sampai menjelang datangnya pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia.[13] Semangat inilah yang juga membuat seorang Teuku Umar berani berperang melawan Belanda dan mengusir penjajahan Belanda yang dia mulai berawal dari kampong halamannya.
. Pada tahun 1878, Belanda berhasil menguasai Kampung Darat yang pada waktu itu dijadikan Teuku Umar beserta pasukannya sebagai markas kediaman mereka. Ia pun mundur ke daerah Aceh Besar sambil menyusun kekuatan dan melancarkan perang gerilya.[14] Di bulan Agustus 1883, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura tunduk pada Belanda dengan menyatakan sumpah setia kepada Gubernur yang merangkap sebagai panglima Belanda di Aceh. Istrinya, Cut

9
Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Dengan sumpahnya itu, dia pun diterima dalam dinas militer Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Johan Pahlawan. Tapi perdamaian itu tak berlangsung lama. Perseteruan kembali terjadi setahun kemudian pada tahun 1884.
 Pada tahun 1884, sebuah kapal dagang Inggris, Nissero, terdampar di pantai Teunom. Raja Teunom kemudian mengambil tindakan dengan menawan semua awaknya serta menyita isi kapal. Mengetahui hal tersebut, Pemerintah Inggris mendesak Pemerintah Belanda agar membebaskan para awak kapal yang ditawan Raja Teunom. Pemerintah kolonial Belanda pun mengirimkan Teuku Umar ke Teunom dengan 32 orang tentara untuk menumpas pasukan Raja Teunom dan menyita kapal Inggris. Namun di tengah perjalanan pulang, seluruh tentara itu dibunuh dan senjatanya dirampas. Peristiwa Nisero ini termasuk di antara yang paling menarik dalam sejarah konflik Aceh-Belanda. Liku-likunya membuat kasus ini tidak sekedar antara kampong Teunom dengan Belanda saja, melainkan suatu peristiwa internasional. Ia menjadi topik hari-hari baik dalam pers maupun di parlemen Belanda dan Inggris sejak Nisero kandas (November 1883) sampai berlayar kembali pada 10 September tahun berikutnya.[15]
Dalam sejarah perjuangannya, Teuku Umar juga pernah menyerang kapal Hok Canton dan menawan anak buah kapal tersebut. Belanda pun terpaksa bekerja sama dengan membayar uang tebusan untuk membebaskan para tawanan. Sejak peristiwa Hok Canton, gengsi Teuku Umar semakin naik. Dia di takuti oleh Belanda, lebih-lebih sesudah terdengar dia sudah berada di Aceh Besar. Mungkin saja karena fakta-

10
fakta yang sudah terbukti itu, pihak Belanda sendiri pun turut mengakui kesatriaannya. Seorang Mayor Belanda, L.W.A. Kessier, tanpa ragu-ragu menilai Teuku Umar dengan menyatakan : bahwa dia seorang “intellegente en zeer beschaafde Atjeher” (“Orang Aceh yang cerdas dan paling sopan”).[16]  
Pada tahun 1893 Teuku Umar kembali berdamai dengan Belanda. Ia kemudian diizinkan untuk membentuk sebuah legiun berkekuatan 250 orang yang diberi persenjataan lengkap. Mereka bertugas untuk mengamankan daerah Aceh Besar dan sekitarnya dari gangguan para pejuang. Dengan kekuatan tersebut, ia mulai memerangi pejuang-pejuang Aceh yang belum menyerah kepada Belanda. Tetapi lagi-lagi perang itu hanya perang pura-pura yang sengaja dilakukan Umar sebagai bagian dari strateginya dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda. Saat bergabung dengan Belanda, Teuu Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkanoleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.[17]
Sebelum serangan ia lancarkan, ia terlebih dahulu memberitahu para pejuang Aceh. Belanda yang tidak mengetahui strategi tersebut tetap berkeyakinan bahwa Teuku Umar dapat mengamankan seluruh daerah Aceh. Karena keyakinan tersebut bantuan senjata dan perlengkapan pun terus didatangkan untuk mendukung 'perjuangan' Teuku Umar.
Kelak persenjataan dan perlengkapan hasil 'pemberian' Belanda itu justru digunakannya untuk berbalik melawan Belanda. Pada 29 Maret 1896, ia pun kembali berjuang untuk kepentingan bangsanya dengan membawa serta 800.000 dollar, 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru serta peralatan lain. Ia kembali menemui teman-
11
teman seperjuangannya seperti Panglima Polim, ulama di Tiro, Teuku Hasan, Teuku Mahmud dan Teuku Cut Muhammad.
Atas kejadian itu, Pemerintah Belanda yang baru belakangan menyadari telah ditipu mentah-mentah oleh Teuku Umar, segera mengerahkan kekuatan yang besar di bawah komando panglima tentara Hindia Belanda, Jenderal van Heutsz untuk menagkapnya dalam keadaan hidup atau mati.[18]
D.    Gugurnya Teuku Umar
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa pengawalan yang ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku Umar dari mata-matanya yang bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama sejumlah pasukannya datang ke Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya berhasil dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah mendengar laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, Jenderal Van Heutsz segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan kota Meulaboh untuk mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya telah berada di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui pasukan Van Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Serangan secara mendadak ke daerah Meulaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal 10 Februari 1899.[19]
Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus
12
dadanya. Seorang tangan kanannya yang sangat setia bernama Pang Laot begitu melihat Teuku Umar rebah terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah Teuku Umar agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Justru dengan gugurnya suaminya tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Untuk itu ia kemudian mengambil alih pimpinan perlawanan yang tadinya dipegang oleh suaminya.
E.     Aktifitas Keagamaan Teuku Umar
Menurut yang saya pelajari tentang seorang Teuku Umar ini, beliau tidak mempunyai aktifitas agama seperti ulama-ulama terkemuka pada umunya. Akan tetapi semangat beliau dalam melawan Belanda merupakan semangat perjuangan Islam yang dilakukan beserta para ulama-ulama di wilayah Aceh pada waktu itu untuk mengusir penjajahan Belanda (kafir) dari bumi Aceh. Hal ini menurut saya adalah aktifitas sosial yang sangat kental dengan nilai-nilai agama karena dilakukan semata-mata untuk mempertahankan Indonesia, khusunya wilayah Aceh dari kaum Belanda (kafir).
Semangat Teuku Umar dalam melawan Belanda ditandai dengan perang mempertahankan wilayahnya dari Belanda (kafir), merupakan semangat mempertahankan agama Islam karena perang Aceh pada waktu itu tidak lain adalah semangat perang sabil (perang fii sabilillah) dengan para ulama-ulama Aceh lainnya pada masa itu.


13
F.      Pemikiran dan Karyanya
Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.[20]
Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.[21]
G.    Peninggalan dari Teuku Umar
Atas pengabdian dan perjuangan serta semangat juang rela berkorban melawan
14
penjajah Belanda dan berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Tidak hanya itu,  namanya pun juga diabadikan sebagai nama sebuah Universitas yaitu Universitas Teuku Umar serta diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat. Ada pula salah satu kapal perang TNI AL yang dinamakan KRI Teuku Umar.[22]
Semangat melawan Belanda yang ditunjukkan oleh Teuku Umar pada masa itu merupakan salah saatu peninggalan sejarah yang perlu kita teladani. Peran ulama dan sikap fanatic pada agama, ikatan spiritual guru-santri, dan kehancuran kehidupan karena perang yang berkepanjangan dan tidak jelas pihak yang akan keluar sebagai pemenang, menyebabkan orang nekad memilih jalan jalan syahid bagi penyelesaian penderitaan di dunia dan memilih imbalan surge di alam sana,[23] dan hal ituah yang juga dilakukan oleh seorang Teuku Umar.







15
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Teuku Umar merupakan salah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Aceh, tepatnya daerah Meulaboh. Ia merupakan putra dari Achmad Mahmud, beliau ini merupakan keturunan dari Datuk Nachudum Sakti dari Minangkabau. Sejak kecil Teuku Umar memiliki kepribadian yang sangat kuat, berani dan nakal. Akan tetapi beliau merupakan bocah yang cerdas. Saat kecil ia sering berkelahi dan bertengkar dengan teman-teman sebayanya. Dia tidak pernah takut dengan siapapun, meskipun dia sering dikeroyok oleh kelompok-kelompok lain. Keberanian dan kekuatan yang dimilikinya saat itu membuatnya diangkat sebagai kepala kelompok anak-anak dikampungnya.
Saat masih kecil Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan formal seperti para pemimpin-pemimpin lainnya. Dia sering berkelana atau merantau keluar dari kampung halamnnya untuk berguru kepada siapapun yang dia anggap cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya tersebut.
Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”.
16
Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.
Dalam perang Aceh ini, ulama menjadi tokoh kunci dalam menggerakkan perang sabil. Maka wajarlah Snouck Hurgronjre memandang para ulama sebagai musuh utama yang harus dibasmi oleh pasukan tempur Belanda, termasuk Hikayat Perang Sabil buah tangan mereka yang terus memompa semangat perlawanan rakyat.
Dia seorang bangswan besar yang dihormati menurut caranya, dia bisa setaraf dengan para gubernur-gubernur dan jenderal-jenderal (Belanda). Dia pula yang begitu lekas perasa sebagai terkesan dari surat-menyuratnya dengan Deijkerhoff, dikala dia dibuat malu. Dia sosok pribadi yang rumit.[24]
B.     Saran
Tokoh-tokoh di Indonesia sebenarnya banyak yang harus kita pelajari sejarah dan perjuangnnya untuk bangsa ini. Salah satu tokoh yang patut untuk dipelajari dan bisa kita jadikan teladan adalah Teuku Umar ini. Beliau merupakan salah seorang pahlawan nasional di daerah Aceh. Untuk itu kita sebagai anak-anak bangsa calon penerus harus banyak mempelajari kisah-kisah hidup dan perjalanan para tokoh-tokoh terdahulu untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme kita. Karena dengan mempelajari itu nantinya kita akan mengetahui apa saja sih yang telah diberikan para tokoh-tokoh terdahulu untuk Negara Indonesia dan akhirnya kita bisa mencontoh perjuangan beliau-beliau itu.
Dalam buku Aceh Sepanjang Abad karya H. Mohammad Said banyak diceritakan peristiwa mengenai perang di Aceh. Salah satu tokoh yang terlibat dalam perjalanan
17
perang Aceh adalah Teuku Umar. Maka dari itu kita sebagai pelajar juga harus mempelajari sejarah para tokoh yang berpengaruh di Indonesia dan salah satunya Teuku Umar ini yang merupakan pahlawan Nasional. Semangat yang ditunjukkan oleh Teuku Umar dan para ulama pada masa itu dalam memeranngi Belanda perlu kita teladani dan kita warisi semangat tersebut. Bara semangat tersebut mudah-mudahan belum padam dan dapat mengilhami rakyat Indonesia dan Aceh secara khusus dengan dorongan spiritual kegamaan yang kuat pula.
Semoga apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini bisa menambah wawasan pembaca untuk lebih mengenal seorang tokoh pahlawan nasional dari Aceh yang bernama Teuku Umar. Dalam menyampaikan makalah ini pastinya banyak kekurangan dari penulis, untuk itu mohon koreksi dan masukan dari pembaca supaya kedepannya bisa lebih baik.











18
DAFTAR REFERENSI

·         Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. 2007. Medan: Harian WASPADA
·         http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2577_pp110600018.pdf, HIKAYAT PERANG SABI SATU BENTUK KARYA SASTRA PERLAWANAN















19



[1] Dikutip dari Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di FIB UGM 14 Februari 2008/HIKAYAT PERANG SABI SATU BENTUK KARYA SASTRA PERLAWANAN/hal.6
[2] Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. Hal.256
[8] Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. Hal.257
[11] Dikutip dari tulisan Fuad A Saad di www.faceebook.com/SPII 098/ pada 11 Maret 2013 pukul 6:57
[12] Dikutip dari Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di FIB UGM 14 Februari 2008/HIKAYAT PERANG SABI SATU BENTUK KARYA SASTRA PERLAWANAN/hal.3
[13] Dikutip dari Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di FIB UGM 14 Februari 2008/HIKAYAT PERANG SABI SATU BENTUK KARYA SASTRA PERLAWANAN/hal.5
[15] Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. Hal.303
[16] Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. Hal.275
[17] http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/949-panglima-perang-aceh
[23] Dikutip dari Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di FIB UGM 14 Februari 2008/HIKAYAT PERANG SABI SATU BENTUK KARYA SASTRA PERLAWANAN/hal.16
[24] Said, H. Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, jilid II. Hal.257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar